Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (11)

“Tunggu dulu….pak dukun kok menghilang” kata Ihsan. Semua terkejut. Mereka baru sadar bahwa pak dukun saat itu tak muncul-muncul setelah menyelam tadi. Namun demikian sebagian dari mereka tidak begitu peduli dan langsung saja beranjak pulang.
“Sudah hampir magrib nih” ujarnya seraya berjalan pulang. Beberapa orang di antara mereka terlihat saling berbisik-bisik. Entah apa yang dibisikinya tak ada yang peduli juga.
Sementara itu sebagian yang lainnya ikut berusaha mencari pak dukun. Jumlah mereka kini sekitar 20 orang. Mereka melihat-lihat sepanjang sungai, tapi pak dukun tak nongol-nongol. Para pemain dan suporter KAMBER kemudian mencoba berjalan mencari-cari ke arah hilir, siapa tahu pak dukun hanyut. Pinggiran-pinggiran sungai yang lebat ditumbuhi pohon waru itu mereka telusuri. Tiap ada tumpukan sampah di pinggir sungai, mereka obok-obok. Siapa tahu pak dukun nyangkut di sana. Begitu pula kalau ada tumpukan sampah di tengah sungai, segera saja dilempari oleh Bakos dengan batu-bata. “Siapa tahu pak dukun nyangkut di sana” ujarnya.
Lama kelamaan hari mulai gelap. Matahari sedikit sedikit mulai tenggelam. Tempat pinggiran sungai itu terlihat mulai remang-remang menyeramkan. Mereka nampak putus asa. Mereka mengira bahwa pak dukun telah tenggelam dan hilang dibawa oleh makhluk angker di sungai tersebut. Akhirnya Gafan cs mengajak teman-temannya untuk pulang.
“Nanti kita beritahu orang kampung” ujarnya yang disetujui oleh teman-temannya. Mereka pun mulai bergegas untuk pulang. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba terdengar seperti suara air sungai diobok-obok. Mereka terhenti sejenak sambil melihat kearah datangnya suara. Ternyata suara tersebut datang dari arah bagian sungai yang paling seram, di bawah rumpun bambu. Di pinggiran sungai agak ke tengah terlihat sosok tubuh menggapai-gapai. Gafan dan teman-temannya segera berlarian ke pinggiran sungai di dekat rumpun bambu.
“Tolooong……..” ucap pak dukun dengan lemas.
“Ayo cepat tolong sana !” perintah Gafan kepada Ihsan. Namun Ihsan rupanya takut untuk terjun karena hari sudah gelap apalagi daerah itu adalah daerah paling serem. Bakos pun demikian, takut juga, apalagi Gafan. Begitu pula dengan hampir seratusan suporter tersebut tak ada yang berani terjun. Masing-masing saling memaksa temannya untuk terjun membantu pak dukun, tapi tetap tak ada yang berani.
“Byuurrrrr……..” tiba-tiba terdengar suara orang terjun. Orang yang terjun ini terlihat celingukan sejenak di air dan kemudian langsung mendekati tubuh pak dukun.
“Siapa yang terjun itu ?” tanya Gafan.
“Alie…..” jawab temannya yang lain.
Betapa lega hati Gafan. Begitu pula teman-temannya yang lain. Mereka terlihat begitu bangga kepada Alie yang menunjukkan ke-heroikannya. Apalagi saat itu terlihat Alie dengan tenang berenang seraya menggeret tubuh pak dukun yang lagi ngos-ngosan.
Begitu sampai di pinggir langsung saja semua teman-temannya membantu mengangkat tubuh pak dukun. Beberapa orang terlihat menarik tangan Alie untuk naik. Pak dukun langsung tidur tengadah di pinggir sungai dikelilingi oleh Gafan, Bakos dan yang lainnya. Nafas pak dukun terdengar tersengal-sengal. Beberapa kali terdengar ia terbatuk-batuk seraya memuntahkan air dari mulutnya.
“Wah…benar-benar zial zaya” gerutunya sambil mencoba bangkit. “Terima kazikh,” lanjut pak dukun seraya menyalami Alie yang tadi menyelamatkanya. Sambil sedikit tersenyum kecut Alie menyambut uluran tangan pak dukun. Teman-temannya yang lain pun terlihat ikutan menyalaminya, tapi segera ditolak oleh Alie. Setiap tangan yang diulurkan langsung ia tepis dengan agak kesal.
“Selamat ya” kata seorang temannya seraya mengulurkan tangan kanannya.
“Selamat batok kepalamu. Siapa yang ngedorong saya tadi, hah?!!” ketus Alie sambil berjalan ngeloyor seraya menggerundel. Semua teman-temannya jadi heran. Selidik punya selidik, ternyata Alie jadi jengkel karena harus nyebur untuk menyelamatkan pak dukun. Sebenarnya Alie sama sekali tidak berniat menyelamatkan pak dukun karena ia sendiri takut nyebur di sekitar situ. Lalu, kenapa ia sampai rela terjun ke sungai ? Itu karena terpaksa saja. Sebab tadi itu tubuhnya di………dorong. Entah siapa yang melakukannya, tak seorang pun mau mengaku. Nah, inilah yang membuat Alie kesal tapi tak tahu harus kesal kepada siapa.
Perjalanan pulang menuju kampung Gafan kembali mereka tempuh melalui jalan setapak di kebun-kebun yang masih cukup lebat. Pohon-pohon kayu besar yang lebat membuat suasana di sekitar tempat itu lebih cepat gelap daripada tempat lainnya. Apalagi rumah-rumah penduduk masih agak jauh dari tempat itu. Makin lama makin gelap saja kebun-kebun yang mereka lalui karena memang saat itu sudah lewat magrib. Di kejauhan terdengar suara orang berzikir melalui louds speaker masjid. Ini pertanda bahwa shalat magrib baru saja usai.
Gafan cs berjalan dengan ekstra hati-hati karena takut terbentur akar kayu yang menonjol ke tengah jalan setapak. Beberapa orang terdengar menghentak-hentakkan kakinya berulang-ulang dengan keras. “Untuk menakut-nakuti ular” dalihnya.
Bermacam-macam polah tingkat mereka. Ada yang sambil bernyanyi, ada yang sambil bicara keras-keras dan lain sebagainya. Pokoknya suasana dibikin seramai mungkin. Gafan tersenyum kecil melihat ulah tingkat teman-temannya itu. Ia tahu betul, teman-temannya bikin keramaian di sekitar tempat itu tak lain untuk menghilangkan rasa takut. Lho, kok takut ? Bagaimana ndak takut. Lha, orang-orang kampung Gafan sangat percaya bahwa di sekitar tempat itu banyak makhluk halusnya. Dari makhluk halus yang paling halus sampai yang paling kasar. Dari lelembut yang paling lembut sampai yang lelembut yang sama tidak punya kelembutan.
“Katanya di sekitar sini bapak saya dulu pernah ketemu orang tanpa kepala” kata Alie menakut-nakuti, padahal ia sendiri sedang ketakutan.
Mendengar hal itu kontan saja teman-temannya yang berada di belakang bergegas jalan ingin di tengah rombongan. Semua berebutan ingin di tengah sampai-sampai pak dukun yang berada di tengah jadi sesak nafas. Meski jumlah mereka 20 orang lebih tapi kalau sudah lewat di tempat itu ciut juga nyali mereka. Karena memang, sejak kecil orang tua mereka selalu memperdengarkan cerita yang serem-serem tentang kawasan perkebunan itu. Ada cerita wanita yang selalu menangis di bawah pohon, ada cerita tentang pocong, ada sapi putih, ada cerita manusia setinggi pohon kelapa yang selalu menghadang dan sebagainya. Pokoknya bermacam-macam dah.
Tak heran bila Gafan cs benar-benar tegang lewat di tempat itu. Apalagi saat itu gelapnya bukan main. Yang terlihat hanya jalan setapak saja. Praktis mata mereka hanya tertuju ke bawah, ke jalan setapak. Tak ada yang berani celingak-celinguk kiri kanan karena kiri kanan mereka adalah semak-semak menyeramkan. Beberapa kali terdengar suara burung hantu dan satwa lain yang aneh-aneh. Ini menambah kemerindingan mereka. Suasana perjalanan Gafan cs benar-benar jadi sunyi. Tak ada lagi yang bernyanyi-nyanyi. Termasuk Alie, tidak lagi memperdengarkan ceritanya yang serem-serem, karena ia juga ketakutan membayangkan ceritanya sendiri. Ia terus memepetkan tubuhnya di dekat teman-temannya. Begitu pula sebaliknya dengan teman-temannya termasuk Gafan, pak dukun, Bakos dan sebelas orang pesilat anak buah Mohdan. Mereka berjalan dengan agak tergesa-gesa tanpa basa-basi. Beberapa kali terdengar suara mendesis yang keluar dari mulut teman-teman Gafan. Suara itu terdengar agak gemetar. Rupanya mereka membaca-baca mantera dan doa-doa yang didapat dari kakeknya.
Tiba-tiba langkah mereka tertahan. Mohdan yang berjalan paling depan mendadak berhenti. Temannya yang lain juga begitu. Beberapa orang terdengar mengaduh karena kepalanya terantuk dengan kepala temannya yang di depan. Lalu, apa yang terjadi ? Belum sempat mereka bertanya tiba-tiba Mohdan yang jago silat itu menjerit ketakutan seraya melompat lari ke belakang.
“Pocooooongg…..” teriaknya histeris seraya berlari terus ke arah semak-semak.
Teman-temannya yang lain pada kaget. Dan memang, nampak di depan mereka sesuatu berwarna putih melintang terbujur di tengah jalan setapak. Ukurannya sepanjang badan manusia dan dibungkus kain warna putih. Melihat hal itu sontak mereka pada berlarian ke belakang ke berbagai penjuru. Mereka terpencar ke berbagai arah. Ada yang ke utara, selatan dan timur. Bahkan Alie berlari ke arah sungai. Niatnya mau kembali ke Kampung Seberang Sungai dan nginap di rumah pacarnya. Pendeknya semua berhamburan termasuk para pesilat anak buah Mohdan. Hanya pak dukun saja yang terlihat diam di tempat. Rupanya ia tidak takut sama sekali.
Tak lama setelah mereka pada berhamburan kesana kemari, akhirnya mereka terlihat berhamburan juga kembali ke tempat pocong tadi. Rupanya ketika mereka berlari tadi, arah yang mereka tuju tidak jelas. Mereka malah menuju ke semak-semak yang menyeramkan. Itu sebabnya mereka sontak pada kembali sambil tetap menjerit-jerit. Tak lama kemudian mereka pun kumpul seperti sediakala. Pak dukun memerintahkan mereka untuk tidak menjerit-jerit.
“Jangan gaduh ! Biar zaya yang khadapi focong ini !” ucapnya penuh percaya diri. Gafan dan teman-temannya langsung terdiam. Mereka berdiri berhimpit-himpitan satu sama lain sekitar lima meter dari pak dukun. Sementara pak dukun sendiri saat itu berdiri sekitar 3 meter dari pocong tersebut.
Terlihat dengan jelas pak dukun duduk bersila. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Kemudian tangan kirinya diturunkan perlahan lalu didorongkan ke depan. Setelah itu giliran tangan kanannya diturunkan lalu didorongkan ke depan. Begitu terjadi berulang-ulang. Namun tak menunjukkan hasil sedikitpun. Pocong itu tetap tak bergeming. Lama kelamaan pak dukun agak kelelahan juga turun naikkan tangannya. Beberapa kali desah nafas tuanya terdengar. Bahkan kali ini bukan nafasnya saja yang terdengar melainkan suara mantera-manteranya.
“Zinar bumi zinar langit zinar bulan zinar zeminar berzinar-zinar” ucapnya bermantera. “ZZZZZaahhh… huh… huh …” lanjutnya kelelahan. Pocong itu tetap tak bergeming. Pak dukun jadi heran. Padahal untuk ukuran pocong begini ia cukup berpengalaman mengatasinya.
Kembali pak dukun mengucapkan mantera serupa, tetap juga tak bergeming. Dengan mantera yang lain juga tak bergeming sedikitpun. Pak dukun jadi frustasi. Beberapa kali mulutnya mengeluarkan suara mendesah seperti mengeluarkan tenaga dalam, namun tetap tak mempan. “Wah, khalah nikh, ilmu zaya. Namfaknya ini adalakh mbahnya focong” katanya dalam hati seraya terus mencoba ilmunya dari tingkat yang rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Setelah yang paling tinggi tidak bisa, kembali lagi ke yang paling rendah. Begitu seterusnya. Lama-lama ilmu yang dipakai tidak beraturan lagi tingkat-tingkatannya. Dari tingkat satu lompat ke tingkat tujuh, kemudian turun ke tingkat tiga lalu naik lagi ke tingkat sembilan. Setelah itu turun lagi ke tingkat enam. Pokoknya kacau dah.
Pak dukun benar-benar frustasi. Keringat dalamnya keluar. Ia mulai menggigil. Nampaknya ia mulai ketakutan juga. Mau terus melawan pocong itu, ia sudah mengaku kalah dalam hati. Tapi mau lari, tentu tidak mungkin. Sebab itu nantinya akan membuat kredibilitasnya di mata Gafan cs akan anjlok.
Akhirnya di tengah kefrustasiannya itu muncullah kenekadannya. Dengan serta merta pocong yang melintang itu didekatinya dan seketika itu juga ditendang sekeras-kerasnya. Dan apa yang terjadi ? Pak dukun berteriak-teriak kesakitan seraya bersimpuh terduduk di dekat pocong itu. Gafan dan teman-temannya terkejut mendengar jerit melengking pak dukun. Iba juga hati mereka. Mendadak keberanian mereka muncul. Lebih-lebih sebelas orang pesilat itu, tiba-tiba saja jadi geram. Tanpa basa-basi para pesilat itu maju serentak seraya berteriak geram mirip di film laga India. Detik itu juga dari semua penjuru mereka menerjang si pocong. Dan dengan sekuat tenaga mereka membantainya. Ada yang memakai teknik tendangan, ada yang jambakan dan ada pula yang menggunakan pukulan.
Tapi apa lagi yang terjadi ? Mendadak mereka juga kesakitan dan mengaduh-aduh seperti pak dukun sebelumnya. Hanya yang menggunakan teknik jambakan saja yang tidak mengaduh-aduh. Ia terlihat terus menjambak kain putih tersebut hingga robek. Dan begitu robek, betapa terkejutnya mereka karena ternyata isi kain putih itu bukan mayat, melainkan……kayu balok. Kontan saja mereka pada tertawa terbahak-bahak melihat kekonyolan yang mereka lakukan itu. Mereka tertawa sambil menggerutu kesal kepada si pembuat ulah tersebut. Mereka semua tahu siapa yang punya perbuatan usil, ya, itu tadi, rombongan suporter yang sudah jalan terdahulu.
“Pantas mereka tadi berbisik-bisik,” ujar Alie dengan nada malu-malu plus kesal.
Akhirnya perjalanan pun mereka lanjutkan kembali. Kampung mereka sudah tak jauh lagi. Lampu-lampu rumah penduduk nampak sudah kelihatan dari tempat mereka. Mereka-terus berjalan dengan senda gurau kembali. Pada perasaan mereka sebenarnya ada rasa malu juga bila ketemu orang di kampung, karena kesebelasan mereka gagal bertanding. Apalagi kalau ketemu Abah Halil, tentu akan lebih malu lagi. Karena sudah pasti berita ini akan dijadikannya laporan utama gosip di setiap acara kumpul-kumpul kaum tua.
Dan memang, begitu sampai di kampung, yang pertama kali terlihat adalah rumah Abah Halil yang nampak ramai. Ternyata malam itu juga Abah Halil langsung mengadakan syukuran besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukur atas kekalahan yang diderita Gafan cs. Lagi-lagi Siaaall.
Read More......

PEMAIN KAMPUNG (10)

Perjalanan menuju lapangan di Kampung Seberang Sungai dilewati melalui kebun-kebun di kampung Gafan. Kampung Seberang Sungai jaraknya hanya 1 km dari kampung Gafan. Kedua kampung tersebut bertetangga dan hanya dibatasi oleh sebuah sungai yang –lumayan- lebar. Lebarnya sekitar 40 meter.
Air sungai tersebut di saat-saat hari biasa musim kemarau hanya setinggi satu setengah meter atau setinggi dagu orang dewasa. Namun demikian arusnya sangat pelan. Tapi ketika datang musim hujan tingginya bisa mencapai tiga meter dan arusnya deras.
Dulunya sungai tersebut tidak begitu dalam, malah tingginya hanya sampai lutut. Itu pun airnya mengalir bersih dan bening. Tapi kini sungai tersebut sudah agak keruh, kotor dan airnya tidak mengalir seperti dulu lagi. Penyebabnya adalah karena ulah para kuli pasir yang setiap hari menggali dan terus menggali pasir di dasar sungai. Kalau sudah habis pasir di tempat itu mereka berbondong-bondong mencari pasir ke hulu. Dulunya mereka cukup mengambil pasir ke tengah sungai tanpa bantuan sampan. Tapi karena makin lama sungai makin dalam karena mereka keruk, akhinya mau tak mau kalau akan beroperasi ke tengah sungai mereka harus menggunakan sampan kecil berbentuk persegi empat, mirip bak penampungan pasir.
Awalnya hanya satu-dua bak yang ada di sungai itu. Tapi kini jumlahnya lebih dari dua puluh. Semua bak dijejer di kedua sisi pinggir sungai dan ditambat pada kayu-kayu yang ada di sekitar situ. Sebagai kompensasi dari makin dalamnya sungai tersebut, para pemilik bak-bak ini mengijinkan orang-orang yang hendak menyeberang sungai untuk menggunakan bak-bak itu tanpa bayar. Syaratnya, harus dayung sendiri. Nah, ini yang repot.
Dayung yang digunakan tidak seperti dayung nelayan di pantai, melainkan dengan menggunakan sebuah bambu sepanjang 4 meter yang ditolakkan ke dasar sungai. Begitu bambu menyentuh dasar sungai, si pendayung ini mendorongnya kuat-kuat sehingga bak itu pun melaju. Tidak sembarang orang bisa mendayung dengan cara ini. Meskipun ia berpengalaman jadi nelayan, tapi untuk mendayung dengan cara seperti itu nampaknya mereka harus belajar lagi. Tak jarang karena tidak tahu metode mendayung, akhirnya bak jadi berputar-putar hingga ke seberang sungai. Ini tentu jadi bahan tertawaan orang yang ada di pinggir sungai. Dan bukan itu saja, tak jarang karena berputar-putar itu, penumpang bak jadi mabuk dan akhirnya muntah begitu sampai di seberang. Malah tidak sedikit penumpang yang bak-nya berputar-putar di tengah, akhirnya memilih untuk terjun saja dan berenang sampai ke seberang.
Para pemain KAMBER dan suporternya yang berjumlah seratusan itu baru saja tiba di pinggir sungai. Mereka terlihat gembira manakala menyaksikan bak-bak yang ada di sungai itu cukup banyak. Ini berarti semua pemain dan suporter nampaknya akan dapat terangkut sekali jalan.
Tanpa basa-basi lagi semua yang ada di pinggir sungai itu langsung menyerbu naik ke bak-bak tersebut. Masing-masing bak berisi 8 hingga 10 orang. Semua penumpang hanya bisa berdiri karena tidak ada tempat duduk. Begitu penuh langsung mereka ambil bambu yang tersedia lalu salah seorang mendorongnya dengan penuh semangat. Beberapa bak sudah berangkat. Terlihat di situ hanya ada satu bak yang melaju lurus yakni bak yang ditumpangi Gafan. Sedangkan beberapa bak lainnya terlihat mulai berputar-putar. Bak yang berputar-putar ini beberapa kali terlihat bertubrukan dengan bak lain yang berputar juga. Walau bertubrukannya pelan, tapi karena penuh oleh penumpang, maka beberapa penumpang yang pada berdiri jadi nyaris nyemplung ke sungai. Adegan-adegan inilah yang membuat suasana sungai jadi ramai. Suara tertawa terdengar hingar bingar. Terlebih lagi ketika bak mereka saling bertubrukan, penumpang masing-masing bak langsung serentak mendorong bak musuhnya dengan kaki. Akibatnya bak tersebut terdorong lagi sambil berputar ke arah berlawanan. Bahkan tak jarang begitu akan berbenturan, mereka saling berusaha menenggelamkan bak lawannya itu. Mereka semua terlihat begitu gembira meski khawatir juga kalau nanti kecebur dan basah.
Sementara itu bak yang ditumpangi Gafan meski berjalan lancar, tapi jadi terganggu juga oleh bak-bak yang berputar itu. Beberapa kali bak Gafan tertabrak. Namun demikian sedikit demi sedikit bak tersebut berjalan juga dengan lurus. Nah ini yang kembali jadi masalah. Karena melihat bak tersebut berjalan lancar, maka penumpang-penumpang bak lain berebutan mendekati bak Gafan. Lalu ketika bak mereka sudah bisa mendekati bak Gafan, langsung saja mereka berebutan naik ke bak tersebut. Alhasil bak Gafan yang sudah kepenuhan itu tambah kepenuhan oleh penumpang-penumpang pindahan tadi. Akibatnya, penumpang asli jadi berteriak-teriak marah karena bak akan karam. Dan memang, tak berapa lama bak tersebut langsung karam. Praktis para penumpang termasuk Gafan pada mencebur ke sungai dan berenang ke seberang.
“Setaaaaaan……..!!”gerutu salah seorang suporter yang basah kuyup. Suporter tersebut adalah suporter yang tadinya berpenampilan paling keren. Suporter itu sejak dari rumah sampai di atas bak tidak pernah mau buka kaca mata hitamnya. Namun karena kecebur itu maka kaca mata hitamnya pun langsung tenggelam. Beberapa kali ia coba menyelam mencari tapi tak ketemu-ketemu. Sedangkan penumpang lainnya baik yang sedang berenang maupun yang masih di atas bak terdengar tertawa kegirangan meski basah kuyup.
Yang lebih jahil lagi, sebagian suporter yang kecebur tadi langsung pada berenang mengerubuti bak-bak yang belum tenggelam. Tujuannya bukan untuk menumpang, melainkan menggoyang-goyang bak tersebut dari bawah agar bisa sama-sama tercebur dan basah. Dan memang, semua penumpangnya harus rela tercebur. Bahkan ada beberapa bak yang langsung saja dibalik tanpa digoyang-goyang dulu. Akibatnya semua nyungsep dan basah kuyup.
Tapi nun jauh di seberang, di tempat start, ternyata ada satu bak yang belum berangkat. Di bak tersebut nampak Ihsan, Bakos dan pak dukun. Tampak ketiganya sedang bersitegang. Bakos kelihatan diomeli oleh Ihsan dan pak dukun. Ihsan memerintahkan Bakos untuk tidak ikut numpang di bak itu, karena bak tersebut adalah bak khusus untuk pak dukun. Jadi, tidak boleh campur dengan orang lain.
“Ini bak kelas vip. Jadi tolong cari bak lain saja !” bentak Ihsan.
“Mau pakai bak mana ? Semua sudah karam. Pokoknya saya numpang di sini saja !” ketus Bakos seraya langsung berdiri di tengah bak.
“Koz, zangan numfang di zini, nanti biza zial zihir zaya” ujar pak dukun yang duduk di moncong bak. Tapi Bakos tidak peduli, langsung saja ia ambil inisiatip mendayung dengan bambu panjang. Bambu itu ditolakkan di dasar sungai dengan sekuat tenaga. Bak itu pun kemudian berjalan perlahan. Tapi baru tiga meter melaju, bak tersebut mulai berputar kekiri. Bakos berusaha memutar haluan, tapi bak tersebut mutar lagi ke kanan. Jadi, kiri kanan oke, mirip jalannya ular kekenyangan. Beberapa kali pak dukun akan terjungkal karena perubahan perputaran mendadak itu, termasuk juga Ihsan ia hampir kecebur. Akhirnya Ihsan tak dapat menahan rasa jengkelnya. Dan tanpa basa-basi lagi seketika itu juga Bakos didorongnya kuat-kuat hingga kecebur ke sungai. Dayung bambu panjang yang ada di tangan Bakos ikut kecebur juga dan terlihat mulai hanyut. Ihsan jadi tambah bingung.
“Wadduh, tolong Kos, ambilkan bambu itu” pinta Ihsan. Tentu saja hal itu ditolak Bakos. Malah Bakos mulai menggoyang-goyang bak tersebut yang membuat pak dukun ketakutan. Melihat ancaman itu, Ihsan langsung menendang Bakos, namun tidak kena. Bakos segera menghindar dan berenang ke seberang menyusul kawan-kawannya. Kini tinggallah bak pak dukun dan Ihsan yang berada tepat di tengah sungai tanpa dayung. Maju tak bisa, mundur tak bisa. Ihsan dan pak dukun terlihat kebingungan. Beberapa kali ia minta bantuan teman-temannya yang ada di seberang namun tak ada yang menggubris. Terdengar suara Ihsan mengumpat-umpat.
“Dayung fakai tangan zaja Zan” kata pak dukun. Ihsan menurutinya. Ia coba mendayung dengan tangan tapi tak membuahkan hasil. “Ayo, lebih berzemangat lagi !” kata pak dukun tanpa mau membantu mendayung.
“Pak dukun juga tolong dong mendayung”
“Zaya tidak bolekh khena air. Ilmu zaya biza ruzak” jawabnya berkelit. Ihsan jadi kelihatan jengkel.
Sementara itu sedikit demi sedikit bak tersebut mulai terbawa arus sungai. Walaupun arusnya perlahan, tapi terus saja menyeret bak tersebut. Ihsan dan pak dukun tambah kebingungan, sedangkan teman-temannya di seberang tertawa terbahak-bahak. Malah kini berangsur-angsur mereka mulai terlihat meninggalkan tempat itu untuk segera menuju ke Kampung Seberang Sungai.
Ihsan tambah bingung, begitu juga pak dukun. “Ayo dayung, zomfret” bentaknya pada Ihsan. Tentu saja Ihsan tambah jengkel. Apalagi kini bak tersebut mulai menuju ke bagian sungai yang lebih dalam dan menyeramkan. Konon di bagian itu sering minta korban nyawa karena ada jinnya. Akhirnya tanpa basa-basi lagi langsung saja Ihsan nyebur ke sungai dan berenang ke seberang meninggalkan pak dukun seorang diri. Tak terkira takutnya pak dukun. Terdengar teriakannya minta tolong dan mencaci-maki Ihsan maupun semua suporter yang telah meninggalkannya. Ihsan terus saja berenang hingga akhirnya ia sampai di seberang. Setelah naik ke darat, Ihsan lansung melambaikan tangan kepada pak dukun.
“Dag…. Good bye” ucapnya seraya langsung ngeloyor hendak mengejar teman-temannya.
Melihat hal itu maka tak ada cara lain bagi pak dukun. Baknya makin lama makin ke hilir dan ke bagian sungai yang sering menelan korban. Akhirnya karena ketakutan, ia pun nyebur juga ke sungai dan dengan tertatih-tatih ia berenang. Nafasnya terdengar ngos-ngosan, lidahnya kelihatan terjulur. Beberapa kali air sungai masuk ke mulutnya. Dan malah beberapa daun-daunan yang hanyut terlihat nyangkut di ikat kepalanya. Namun ia tidak peduli, terus saja ia berenang dengan kepala penuh dedaunan mirip tentara di-kamuflase.
Entah sudah berapa macam gaya renang yang dipakai oleh pak dukun. Mulai dari gaya katak, gaya kecebong, gaya kupu-kupu sampai dengan gaya buaya. Mulai dari gaya tengadah, tengkurep, gaya menyelam sampai dengan gaya yang benar-benar membuat dia tenggelam. Terakhir kali ia coba menggunakan gaya tengadah sambil kaki tangan digerakkan perlahan. Dari mulutnya sesekali muncrat air yang sengaja disemprotkan tinggi-tinggi ke atas. Ini menurut pak dukun adalah renang gaya baru, yakni gaya ikan paus. Beberapa kali ia terlihat menyemprotkan air mirip ikan paus. Namun lama-kelamaan ia terlihat tidak bisa nyemprot-nyemprot lagi karena memang mulutnya penuh kemasukan air.
Akhirnya dengan perjuangan yang teramat berat, sampai juga pak dukun ke pinggir sungai. Di pinggir sungai pak dukun langsung menghempaskan badan dan tidur tengadah mengatur nafas. Zimat-zimat dan “zamfi-zamfi” yang ada di kantong bajunya habis basah kuyup semua. “Baru fertama khali ini akhu zial” gerutunya sambil meraba perutnya yang kembung karena banyak kemasukan air.
Sementara itu para pemain KAMBER saat itu sudah jauh meninggalkan sungai. Hampir semua pemain berjalan tanpa baju. Mereka terlihat berjalan sambil memelintir kostumnya untuk memeras airnya. Tak satu pun yang terlihat menyesali kejadian di sungai tadi. Malah mereka terlihat gembira sambil cekikikan bila mengingat-ingat saat mereka tadi nyemplung di sungai. Tampak di belakang Ihsan berlari-lari kecil mengejar teman-temannya.
“Mana pak dukun” tanya Gafan ketika Ihsan sudah bergabung dengan teman-temannya.
“Hanyut barangkali. Soalnya tadi saya tinggalkan di atas sampan” jawab Ihsan sambil membuka kaosnya kemudian memelintirnya.
Gafan terkesima sejenak. Semula ia hendak mengajak teman-temannya untuk membantu pak dukun. Gafan khawatir dengan nasib pak dukun karena sungai yang dilaluinya bukan sembarang sungai. Sungai tersebut meski tidak dalam dan ganas tapi pernah juga makan korban. “Kamu yang bener dong, ini menyangkut nyawa orang” kata Gafan sembari hendak kembali ke sungai.
“Ah, sudahlah. Pak dukun kan orang sakti. Masak sama air sungai saja kalah” jawab Ihsan sambil segera menarik tangan Gafan. Begitu pula dengan teman-teman yang lain nampaknya tidak begitu tertarik untuk mengetahui nasib terakhir pak dukun.
Mereka terus saja berjalan melalui pematang-pematang sawah. Sesekali tangan mereka jahil memetik kacang panjang yang kebetulan sedang berbuah lebat. Kacang panjang itu pun dimakan sambil jalan. Mula-mula satu dua orang yang memetik. Namun lama kelamaan semua pemain ikut-ikutan memetik kacang panjang di sepanjang pematang. Tidak terkecuali Gafan, ternyata ikutan juga. Begitu juga Bakos tidak ketinggalan. Malah ia kini terlihat berjalan ke bagian tengah sawah. Dia melihat kacang panjang di bagian tengah sawah lebih ranum dan hijau. Begitu melihat Bakos berjalan ke tengah sawah, teman yang lain pun ikutan ke tengah. Mereka menginjak-injak tanaman kacang panjang yang dilaluinya. Akibatnya ramailah sawah tersebut dengan para pemain KAMBER dan suporternya. Entah berapa besar kerugian pemilik sawah akibat kacang panjangnya dijarah dan diinjak-injak.
Tidak sampai di situ, malah kini mereka ekspansi ke sawah sebelahnya yang berisikan tanaman jagung. Terdengar beberapa kali suara jagung yang dipatahkan. “Ini untuk dibakar nanti malam guna merayakan kemenangan” ucap seorang suporter dengan lantang. Teman-temannya yang lain pun kemudian ikutan pula memetik jagung, mirip panen raya. Namun tiba-tiba dari kejauhan terdengar orang berteriak dengan marahnya. Kelihatan ia berlari mengejar para “penjarah” itu dengan parang terhunus.
“Setaaaaaaaan…….maliiing…..awaas !!” teriaknya marah.
Melihat hal itu tak terkira kaget Gafan dan teman-temannya. Seketika itu juga mereka berhamburan berlarian sekencang-kencangnya. Dan tentu saja karena kacau balaunya mereka berlari maka makin kacau balau pula tanaman jagung maupun kacang panjang yang ada di situ. Ada pohon yang terinjak, tertabrak maupun tertindih oleh tubuh-tubuh yang jatuh. Mereka terus berlari melalui sawah-sawah yang lainnya. Tak ada yang berlari melalui pematang karena bisa-bisa terjatuh. Dan hampir semua pemain dan suporter KAMBER yang berjumlah seratusan itu berlari ke arah yang sama. Sehingga nampaknya mereka dari kejauhan seperti sedang lomba lari marathon di tengah sawah. Akibatnya semua sawah yang dilewati kacau balau seketika. Tanaman jagung, kacang, kedelai dan kacang panjang penduduk jadi habis terinjak-injak. Belasan petak sawah yang mereka lalui kacau balau semua.
Makin lama yang mengejar mereka makin banyak. Para pengejar berasal dari pemilik tanah yang berbeda yang tentunya tanah mereka terinjak-injak. Jumlahnya kini lebih sebelas orang. Semua bawa parang. Para pemain dan suporter KAMBER makin ketakutan. Tiap mereka lari melewati sawah lain, maka pemilik sawah tersebut dengan serta merta ikut-ikutan mengejar. Tak terkira kencangnya lari rombongan KAMBER. Bahkan sebelas orang pesilat berpakaian hitam-hitam itupun terlihat lari ketakutan juga. Malah larinya paling kencang.
“Hey pesilat, kamu balik sana ! Hadapi mereka, koq ikutan lari?!” teriak Bakos sambil terengah-engah dan terus berlari.
“Sorry Kos, ilmu silat kami belum sampai bab main parang” jawab salah seorang pesilat itu sambil terus meningkatkan kecepatan larinya.
Akhirnya saat itu juga Gafan memerintahkan teman-temannya untuk lari lewat jalan desa yang ada di pinggir sawah. Ajakan ini pun langsung dituruti. Semua “peserta lari” belok kiri menuju jalan kecil yang ada di situ. Mereka terus berlari. Dan memang setelah berlari lewat jalan itu para pengejar tidak makin bertambah seperti sebelumnya. Malah kini pengejar terdahulu kelihatan berkurang karena keburu ngos-ngosan. Maklum para pemilik sawah tersebut semuanya manusia usia lanjut.
Setelah agak jauh dan dirasa tak ada lagi yang mengejar mereka, maka rombongan KAMBER itupun berjalan biasa lagi seperti sediakala. Dan seperti biasa pula mereka cekikikan lagi meskipun tadi telah diliputi ketegangan. Beberapa suporter dan pemain KAMBER malah kini tampak mengeluarkan hasil “jarahannya” dari dalam bajunya. Mereka terlihat tertawa-tawa sambil membandingkan hasil jarahannya dengan jarahan temannya yang lain. Sambil terus berjalan mereka memakan jarahan tersebut. Yang dimakan mentah hanya kacang panjang dan kacang tanah saja. Sedangkan jagung tetap disimpan untuk nanti malam.
Perjalanan mereka tinggal seratus meter lagi. Kampung Seberang Sungai yang berada di kejauhan sudah mulai kelihatan. Apalagi lapangan bolanya, meski letaknya berada agak di dalam, namun terlihat sangat jelas. Para pemain KAMBER dan suporternya makin mempercepat langkahnya. Mata mereka semua tertuju pada lapangan itu saja. Para pemain KAMBER sudah tidak sabar lagi ingin menunjukkan kebolehan mereka bermain. Mereka tidak sabar lagi untuk menghabisi lawan-lawannya. Mereka betul-betul optimis akan menang, bila perlu menang telak. Apalagi lawan yang akan mereka hadapi adalah lawan yang enteng dan boleh dipandang sebelah mata.
“Pokoknya pasti kita menang” ujar Alie dengan lantang. Kemudian sambil terus berjalan ia pun kembali mengingatkan berbagai taktik dan strategi bermain yang harus dilakukan. Kata-katanya sama dengan waktu memberikan penjelasan di rumah Gafan tadi.
“Kan itu sudah dijelaskan semua” ujar Bakos dengan nada bosan.
“Ini namanya penyegaran, tahu ! Harus disegarkan lagi supaya tidak lupa !” ucap Alie jengkel seraya memelototi Bakos. Sedangkan Bakos sendiri langsung tidak bereaksi. Bukannya karena tidak berani, namun karena tidak ingin bersengketa dengan Alie saat itu. Ia tidak mau hanya karena gara-gara bersengketa dengan Alie lalu tidak diturunkan jadi pemain inti. Dan memang hampir semua pemain KAMBER tidak ada yang berani protes pada Alie. “Sekali lagi kamu protes, bersiaplah jadi pemain cadangan !” ancamnya. Dan memang ancaman ini manjur juga.
Makin lama makin dekat juga lapangan yang dituju. Penonton yang ada di situ juga makin jelas kelihatan. Hanya saja yang mengherankan sejumlah penonton terlihat hilir mudik, datang ke lapangan, lihat-lihat sebentar, lalu balik dan pulang lagi. Hampir semua yang datang ke lapangan itu hanya mampir sebentar, lalu balik lagi, pulang. Nah, ini yang membuat para pemain dan suporter KAMBER penasaran.
Jangan-jangan ada masalah lagi kata Gafan dalam hati. Bakos dan Alie juga nampaknya berperasaan serupa. Mereka bertiga hanya bisa diam dan saling pandang. Namun rombongan KAMBER ini terus saja berjalan. Saat itu mereka berpapasan dengan seorang penonton yang rupanya baru balik dari lapangan.
“Kenapa kembali pak ?” tanya Gafan.
“Kamu lihat saja sana di lapangan” ujar bapak tersebut seraya terus ngeloyor.
Para pemain dan suporter KAMBER jadi tambah penasaran. Mereka terus saja berjalan dengan cepatnya. Untuk memperpendek jarak, mereka ambil jalan pintas melalui rumah-rumah penduduk. Mereka sudah tahu betul jalan di kampung itu. Nantinya mereka akan tiba di sebuah gang, kemudian di ujung gang ada tikungan. Nah, di tikungan itulah letak lapangannya.
Gafan cs terus saja berjalan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, sepi. Beberapa penduduk kampung Seberang Sungai yang mereka temui di jalan terlihat menertawakan mereka. Para penduduk tersebut sepertinya tertawa sambil mengolok-olok. Bahkan ada yang sampai tertawa terbahak-bahak, sepertinya ada hal yang lucu. Gafan cs tidak menghiraukannya. Mereka terus saja berjalan. Begitu pula para suporternya. Dan begitu tiba di ujung gang, Gafan cs langsung belok kiri dan……………………..tak terkira terkejut hatinya.
Lapangan bola berupa sawah tersebut mendadak penuh dengan air setinggi betis, mirip ketika musim tanam padi. Padahal saat itu musim kemarau panjang. Entah dari mana air itu datang. Malah di beberapa bagian tengah lapangan terlihat pohon-pohon pisang tertancap.
“Kok bisa jadi begini ?” kata Gafan kesal.
“Kami mau tanam padi” ujar seseorang tinggi besar dengan nada ketus. Rupanya ia kepala dusun setempat.
“Tapi, ini kan musim kemarau. Dan lagi, sawah ini sekarang kan dipakai untuk lapangan bola” protes Gafan.
“Ini adalah kebijakan saya selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dusun ini” ujarnya dengan nada sombong. “Dan kebijakan ini sudah disetujui oleh semua penduduk di sini, ya kan ?!” lanjutnya seraya minta persetujuan penduduk yang mengelilinginya. Kontan saja semua penduduk berteriak menyetujuinya. Mereka berteriak setuju sambil tertawa-tawa. Akibatnya Gafan tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa tunggu lebih lama lagi langsung saja ia mengajak teman-temannya untuk pulang. Betapa kesal hati mereka. Rupanya penduduk Kampung Seberang Sungai sengaja melakukan hal itu. Mereka rupanya menginginkan kompetisi Sapi Cup itu bubar saja karena kedua tim tuan rumah yakni macan kuning dan macan kumbang sudah kalah duluan.
Tak terkira dongkol hati Gafan cs. Terus saja mereka berjalan pulang. Terdengar suara penduduk setempat menertawakan mereka. Malah tiba-tiba seorang ibu judes memegang sapu ijuk terlihat mengejar rombongan Gafan cs. Ibu judes tersebut langsung menyeruak ke dalam rombongan itu. Semua pemain dan suporter KAMBER terkesima. Dan detik itu juga gagang sapu dari bambu itu langsung mendarat ke kepala Bakos dengan telaknya. Kepala Bakos yang botak itu benjol seketika. Bakos jadi terheran-heran. Belum sempat ia bertanya, si ibu kembali melayangkan gagang sapu ke punggungnya.
“Kamu ‘kan kemarin yang habisi buah jambu saya” ucap si ibu sambil kembali menghadiahkan Bakos pukulan.
Detik itu juga Bakos langsung melejit berlari sekuat tenaga. Akibatnya pukulan si ibu judes meleset mengenai kening Alie. Tidak sampai di situ, pemain yang lain pun ikut jadi sasaran. Dan akhirnya semuanya pada berlarian. Mereka berlari sambil menyoraki si ibu maupun penduduk setempat. Para penduduk pun menyoraki mereka pula. Maka terjadilah saling sorak menyoraki. Dan sudah barang tentu sambil saling sumpah menyumpah. Hampir seluruh satwa isi kebun binatang disebut-sebut untuk saling menyumpahi.
Lama kelamaan kedua belah pihak terlihat mulai saling lempar. Mula-mula dengan batu kerikil kecil, tapi lama kelamaan batu yang dipakai melempar semakin besar. Bahkan para pesilat yang berpakaian serba hitam itu berkali-kali melempar penduduk dengan potongan bata. Bukan itu saja, mereka tidak hanya melempar penduduk tapi juga atap rumah penduduk. Akibatnya beberapa kali terdengar suara atap pecah dan isi rumah berantakan. Tidak sampai di situ, para pesilat ini juga menantang para penduduk yang ada di situ. Dan memang tanpa diduga-duga, tiba-tiba saja penduduk melakukan pengejaran. Ternyata jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang terlihat sebelumnya. Hampir seisi kampung keluar.
Melihat gelagat tidak baik itu kontan saja rombongan KAMBER melarikan diri, tak terkecuali para pesilat tersebut.
“Kenapa lari, hadapi sana ! Masak pesilat lari” kata Bakos jengkel sambil masih terus berlari.
“Sorry Kos, ilmu silat kami belum sampai bab dikeroyok orang sekampung” jawab salah seorang dari mereka berdalih dan seperti sebelumnya sambil meningkatkan kecepatan larinya.
Dari kejauhan rombongan “pelari” itu nampak mirip peserta lomba lari marathon 10 K. Lari mereka tidak terpencar-pencar. Entah siapa yang mengkoordinirnya. Yang jelas mereka saat itu berlari tidak melalui jalan kampung melainkan melalui sawah-sawah yang penuh tanaman palawija. Dan tentu saja palawija penduduk itu langsung kacau balau begitu dilewati oleh “peserta lari” tersebut. Ratusan tanaman jagung yang tadinya berdiri tegak, langsung roboh seketika begitu dilewati rombongan KAMBER. Bila diperhatikan dari jauh, tanaman tersebut mirip sedang di-buldozer.
Melihat tanamannya dirusak oleh “peserta lari” tersebut, tak terkira marah para pemilik sawah. Mereka akhirnya bergabung bersama para penduduk Kampung Seberang Sungai untuk melakukan pengejaran. Jumlah mereka lebih dua ratusan. Hanya saja mereka melakukan pengejaran tidak lewat tengah sawah, melainkan jalan kampung. Terlihat asap mengepul di sepanjang jalan tanah tersebut. Antara pihak yang dikejar dengan pengejarnya hanya berselang jarak 200 meter.
Sementara itu begitu melihat dirinya dikejar, para pemain KAMBER dan suporternya makin mempercepat larinya. Tampak sebelas orang berbaju hitam-hitam berlari dengan kecangnya di deretan paling depan. Mereka rupanya para pesilat anak buah Mohdan. Sedangkan pemain KAMBER dan suporter lainnya mengikuti di belakang. Begitu pula dengan salah seorang suporter yang paling keren terlihat tertatih-tatih berlari. Apalagi tiap meloncati parit kecil, dia yang paling kerepotan. Lha, bagaimana ndak repot, karena celana jeans yang dipakainya sangat ketat. Ditambah lagi saat itu ia pakai sepatu vantopel, maka makin sempurnalah kerepotannya. Di antara “peserta lari” dialah yang paling belakang.
Makin lama makin kencang saja lari kedua belah pihak. Para pengejar terus saja mengejar. Rupanya mereka teramat marah karena suporter dan pemain KAMBER telah merusak-rusak sawah penduduk yang berada di daerah teritorial Kampung Seberang Sungai. Sementara itu pihak yang dikejar terus saja berlari. Mereka berlari menuju ke arah sungai yang tadi mereka seberangi. Dan begitu sampai di sungai, tapa basa-basi langsung mereka nyebur dan berenang sekuat tenaga. Tak terkira cepat mereka berenang, mungkin karena pengaruh ketakutan. Hampir tak terdengar suara tawa ataupun celoteh mereka saat itu. Semua berusaha menyelamatkan diri. Walhasil sungai tersebut terlihat ramai karena lebih seratus orang yang balapan berenang.
Pak dukun yang saat itu masih tidur tengadah kelelahan di pinggir sungai jadi terheran-heran melihat adegan tersebut. Baru saja ia hendak bangkit tiba-tiba seseorang suporter KAMBER yang sedang berlari hampir menginjak dadanya. Rupanya remaja keren bercelana jeans yang masih ketinggalan sendiri. “Sorry, saya kira kayu balok” ujarnya terengah-engah. Si remaja keren ini langsung nyebur ke sungai dan berenang sekuat tenaga. Pak dukun makin heran. Ia bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi. Tampak di seberang sungai Gafan yang baru saja mendarat melambai-lambaikan tangannya memanggil pak dukun.”Cepet berenang” teriak Gafan.
“Ada apa ?” tanya pak dukun dengan suara sayup-sayup.
“Pokoknya cepet berenang kemari” kata Gafan sambil melambaikan tangannya. Semua pemain dan suporter KAMBER terlihat ikut melambaikan tangan menyuruh pak dukun berenang. Hanya Bakos saja yang terlihat melambaikan tangan menyuruh pak dukun diam di tempat. Pak dukun jadi bingung, apalagi saat itu ia baru saja pulih dari kelelahannya berenang. Di saat kebingungan itu mendadak sekitar lima puluh meter di belakangnya ratusan orang terlihat mengejar-ngejar dengan garang. Melihat hal itu barulah pak dukun mengerti apa yang terjadi. Pak dukun rupanya tak mau ambil resiko diamuk massa. Ia pun dengan terpaksa kembali nyebur ke sungai langsung menyelam dan ……hilang.
Para pengejar tiba di pinggir sungai ketika baru saja pak dukun hilang dari pandangan. Mereka rupanya hanya mau mengejar sampai di situ. Entah karena enggan mengarungi sungai atau karena merasa bahwa seberang sungai bukan merupakan daerah mereka lagi. Mereka hanya berdiri di pinggir sungai seraya mengucapkan kata-kata caci-maki dan sumpah serapah. Para suporter KAMBER pun demikian juga. Mereka saling caci. Dan kembali, hampir semua satwa isi kebun binatang disebut-sebut untuk saling mencaci.
Lama kelamaan para pengejar tersebut bosan juga saling caci. Akhirnya atas instruksi kepala dusunnya mereka kembali ke kampungnya. Namun sebelum itu salah seorang dari mereka sempat juga menebar ancaman, khususnya kepada Alie, sang menejer.
“Awas kamu ! Jangan harap bisa ngapel lagi ke rumah si Juleha” ancamnya dari kejauhan.
Alie hanya garuk-garuk kepala. Rupanya di Kampung Seberang Sungai ia punya pacar bernama Juleha. Dan dengan peristiwa Kamis kelabu itu, nampaknya hubungannya pun bakal terganggu. “Sial…..,” gumannya seraya memandangi para penduduk Seberang Sungai yang sudah mulai pergi. Alie pun kemudian mengajak teman-temannya untuk pulang, namun segera dicegah oleh Ihsan.
Read More......

PEMAIN KAMPUNG (9)

Gafan cs sedang “briefing” dengan anak buahnya di dalam kamarnya yang sempit dan rada pengap. Semua duduk bersila sangat rapat, mirip pengajian pak Ustads. Antara satu dengan lainnya duduk berjejalan.
Gafan menurunkan papan whiteboard untuk menulis posisi-posisi pemain dalam pertandingan nanti. Teman-temannya yang lain hanya melongo melihat Gafan menjelaskan taktik dan strategi. Apalagi tatkala Alie yang menjelaskan tentang berbagai taktik dengan menggunakan bahasa ilmiah populer, makin berkernyit-kernyitlah dahi teman-temannya. Namun saat seru-serunya briefing, tiba-tiba datang Ihsan. Ia langsung saja masuk nyelonong menyeruak seenaknya. Terdengar umpatan Bakos yang terinjak pahanya. Ikhsan terus saja menyeruak teman-temannya yang duduk. Langkahnya sempat tertahan oleh Mohdan yang lagi duduk tepekur.
“Minggir !!” bentaknya seraya dengkulnya menohok kepala Mohdan. Beberapa temannya yang lain juga ikutan terkena dengkul Ikhsan yang rada-rada tajam.
Sementara itu Gafan hanya bisa melongo, menanti apa yang akan diperbuat Ikhsan selanjutnya. Ternyata Ikhsan saat itu mendekatinya. Rupanya ada sesuatu hal penting yang akan disampaikan. Begitu sampai di dekat Gafan, langsung saja Ikhsan membisikkan sesuatu sambil nunjuk-nunjuk keluar. Gafan kemudian melongokkan kepala ke arah halaman rumahnya. Teman-temannya yang lain pada ikutan menoleh mengikuti arah pandangan Gafan. Tampak di halaman rumah Gafan berdiri lelaki berusia sekitar 50 tahun menggunakan pakaian serba hitam-hitam, mirip tokoh aliran kebathinan. Baju hitam, celana hitam dan ikat kepala berwarna hitam dari kain batik yang dililit. Pendeknya semuanya hitam, termasuk kulitnya juga hitam. Hanya giginya yang agak coklat. Kedua tangan “orang hitam” itu bersedekap di dada. Orang itu juga kebetulan sedang melihat aktifitas Gafan dan kawan-kawannya. Begitu tahu dirinya diperhatikan, langsung saja ia menghadap ke arah lain. Kepalanya tengadah menghadap ke atas pohon kelapa sambil matanya terpejam. Beberapa kali mulutnya terlihat komat-kamit.
“Siapa itu ?” tanya Bakos pada Ikhsan.
“Dia dukun kita yang baru” jawab Ikhsan. “Pokoknya dijamin top. Dijamin gawang akan tetap aman” lanjutnya sembari menoleh ke arah Gafan. Gafan hanya diam saja, tak berkomentar. Ikhsan terus saja berceloteh menjelaskan keahlian dukun pilihannya itu. Katanya, dukun tersebut sudah berpengalaman “menangani” tim-tim yang bertanding di even-even besar.
“Lalu, berapa bayarannya ?” tanya Mohdan.
“Jangan khawatir, tarifnya bisa miring. Cuma syaratnya sekarang harus sediakan kemenyan Arab, beras, sirih, kapas dan jarum.”
“Jarum ? Maksudnya rokok jarum ?” tanya Bakos.
“Jarum jahit, goblok !!” bentak Ikhsan.
“Untuk apa ?”
“Yaa…, untuk syarat-syarat !! Udah, jangan banyak tanya, carikan saja,” ucap Ikhsan jengkel.
“Suruh masuk dong, dukunnya,” pinta Gafan.
Ikhsan pun kemudian memanggil dukun tersebut dan mengajaknya masuk. Dengan malu-malu pak dukun masuk ke kamar Gafan.
Pak dukun menganggukkan kepala kepada Gafan dan teman-temannya. Gafan balas menganggukkan kepala, begitu pula yang lain. Hanya Bakos saja yang menganggukkan dengkul karena kepalanya masih kesakitan ditonjok dengkul Ihsan tadi.
“Mari masuk pak” kata Gafan. “Duduk di sini” ajak Gafan sambil menyediakan tempat di dekatnya.
“Terima kazikh ” jawabnya.
Bahasa wak dukun terbilang aneh. Ia tidak fasih menyebut huruf s, k dan p. Huruf s diucapkan dengan z, huruf k diucapkan dengan kh, dan p dengan f. Konon menurut Ihsan, semua itu karena pak dukun kelewat sering baca jampi-jampi yang berasal dari berbagai bahasa, baik bahasa Arab maupun Sansekerta.
“Rufanya kekhadiran zaya mengganggu khalian” ujarnya basa-basi.
“Tidakh afa-afa fak dukhun” celetuk Bakos meniru lafaz pak dukun yang membuat seisi ruangan cekikikan, termasuk pak dukun sendiri.
“Kafan khalian akhan bertanding ?”
“Mungkhin nanti zore di zeberang zungai” jawab Bakos lagi. Kembali seisi ruangan pada tertawa termasuk pak dukun sendiri. Tertawa pak dukun terdengar aneh.
“Khi…khi…khi….khalian memang lucu. Zama zeferti khefonakhan zaya. Bezarnya fun zama zeferti khalian. Wazahnya mirif zama khamu” ujarnya sambil menunjuk Bakos.
“Ziafa nama khamu ?” tanyanya pada Bakos.
“Bakooozzz…” jawab Bakos dengan nada mengolok.
“Ooo… Bakoz. Kefalamu botakh mirif fonakhan zaya. Ferutnya juga gemukh zeferti khamu. Wajahnya tamfan zeferti khamu”
Dikatakan tampan begitu hidung Bakos kembang kempis. Diusap-usapnya kepala botaknya. Ia celingak-celinguk kiri kanan minta persetujuan teman-temannya mengenai prihal ketampanan tersebut.
“Hanya zaja…” lanjut pak dukun yang membuat Bakos kaget. “Zekarang dia zudah mati. Dia mati kharena ferutnya khegemukhan”
Kontan saja Bakos jadi jengkel mendengar hal itu. “Zudahlah, zangan bizara zaja. Nanti zaya tuzuk ferut fak dukhun dengan fizau lifat” ujar Bakos geram.
Melihat suasana agak memanas, langsung Gafan menengahi, meski sambil tertawa. “Sekarang Pak Dukun perlu apa saja untuk syarat-syaratnya”
“Zaya ferlu kafur baruz, beraz, kain futih, khemenyan araf, zirih dan jarum fentul” jawab pak dukun.
Gafan melongo sesaat. Dia menoleh pada Ihsan. Rupanya Ihsan mengerti maksud Gafan. Segera saja ia beranjak meninggalkan teman-temannya untuk mencari keperluan pak dukun.
Sementara menunggu Ihsan, Gafan kembali mengajak teman-temannya memperhatikan papan whiteboard yang berisi posisi-posisi para pemain. Semua pemain memperhatikan dengan serius, entah mengerti entah tidak.
“Ada pertanyaan ?” tanya Gafan ketika hendak mengakhiri “presentasinya”. Tak satupun temannya yang menjawab. Semua diam membisu. Gafan jadi bingung, karena ini bisa berarti mereka sudah mengerti, atau bisa juga sebaliknya sama sekali tidak ngerti. “Yang bego’ saya atau mereka ?” kata Gafan dalam hati.
“Zaya ada uzul dan zaran” kata pak dukun tiba-tiba. Semua mata menoleh kepadanya.
“Silahkan !” jawab Gafan.
“Khalau nanti khalian mazuk lafangan, haruz lewat zelatan. Lalu filih gawang di zebelah timur. Khemudian zalan berfutar khelilingi gawang zembilan khali.”
“Wah, kayak mau tawaf saja, pakai berputar-putar segala” jawab Bakos.
“Khamu zangan banyakh bazot, nanti zaya temfiling” jawab pak dukun geram. “Dan khalau biza, Bakoz zangan ikhut main, dia fembawa zial” lanjutnya.
Mendengar hal itu tentu saja Bakos jadi jengkel bukan kepalang. Hampir saja Bakos mendekati pak dukun untuk mencekiknya. Tapi segera tangannya ditarik oleh Mohdan. Begitu pula Gafan merasa tidak enak dengan ulah Bakos. Akhirnya Gafan menyuruh Bakos untuk keluar saja.
“Mandi dulu sana, kamu kan habis cukur !” kata Gafan. Bakos pun menurutinya. Tapi sambil berjalan keluar terdengar beberapa kali ia menggerundel. “Dazar…dukhun falzu. Dukhun Zetan”.
Tak lama berselang datanglah Ihsan membawa sebuah baskom kecil ditutupi kain putih. “Mari Pak dukun, di kamar sini saja” kata Ihsan mengajak pak dukun menuju kamar sebelah.
Pak dukun beranjak dari tempat duduknya. “Zaya finjam khamarnya zebentar. Untukh zamfi-zamfi” ujarnya kepada Gafan. Gafan pun mempersilahkannya. Setelah itu tak diketahui lagi apa aktifitas selanjutnya antara pak dukun dengan Ihsan di dalam kamar. Hanya saja yang mulai terasa adalah aroma dupa yang dibakar.

Usai Shalat Ashar……………
Semua pemain saat itu sudah berkumpul di posko kesebelasan, di rumah Gafan. Sebentar lagi mereka segera berangkat. Segala sesuatu sudah dipersiapkan dengan matang. Bakos terlihat membagi-bagikan kostum kepada para pemainnya yang kemudian langsung mereka pakai. Kostum dari kaos golkar yang di-wantex itu kelihatan sudah mulai memudar warna wantex-nya. Malah ada yang sudah terlihat jelas lambang Golkarnya. Namun hal itu disiasati oleh Bakos dengan mengganti lambang golkar dengan gambar rumah lumbung, ciri NTB. Hampir tiga buah spidol besar dihabiskan hanya untuk menutupi lambang tersebut.
Sementara itu Mohdan tampak terlihat sedang menyiapkan air minum. Sebuah galon Aqua besar terlihat di dekat kakinya. Ia tampak juga terlihat memberi penjelasan kepada beberapa anak buahnya. Para anak buah Mohdan ini jumlahnya sebelas orang, semuanya berpakaian silat, hitam-hitam dengan ikat kepala hitam juga. Mereka rupanya diinstruksikan untuk “berjaga-jaga” di lapangan, siapa tahu ada keributan. “Bila perlu kalau tidak ada keributan, silahkan kalian yang bikin ribut” ujar Mohdan. “Tapi ingat, kalau kita kalah, baru kalian boleh bikin keributan” lanjutnya yang disetujui oleh jawara-jawara tersebut.
Di sebelah jawara-jawara itu nampak si Gedah, calon kiper baru kesebelasan KAMBER. Si Gedah ini dulunya sebenarnya adalah pemain penyerang sayap kiri. Larinya terbilang kenceng, betisnya pun kuat pula. Hampir setara dengan kekuatan betis Bakos. Hanya saja kelemahannya kalau sedang lari kenceng membawa bola, maka larinya benar-benar kenceng dan lurus. Dia juga punya hoby nunggu bola tepat di garis pinggir lapangan. Kemudian bila bola datang, maka bola itu akan digiring dengan kecepatan tinggi mengikuti garis pinggir itu tanpa bengkok-bengkok dan tanpa mau ngover. Si Gedah ini kalau giring bola sering sambil menunduk memperhatikan bola. Akibatnya seringkali ia hampir menabrak hakim garis. Dan ujung-ujungnya ia baru sadar ketika bola sudah sampai di sudut korner. Saat itulah ia biasanya mulai berinisiatif ngover bola. Tapi sayangnya bola keburu out.
Hal itulah yang membuat teman-temannya yang lain jadi jengkel, terutama sekali teman-temannya yang jadi penyerang. Akhirnya mereka beramai-ramai mengusulkan agar Gedah jangan dijadikan penyerang lagi, melainkan sebagai kiper saja. Sebab dulunya si Gedah adalah mantan kiper juga, tapi karena ia suka urak-urakan saat bertugas, maka diberhentikan jadi kiper. Model urak-urakannya begini, saat ia dapat menangkap bola maka seketika ia menjatuhkan dirinya berguling-guling bagai kiper piala dunia. Padahal bola yang ditangkapnya tidak begitu sulit. Pokoknya setiap menangkap bola pasti dilanjutkan dengan adegan berguling-guling. Setelah itu dengan serta merta ia melemparkan bola ke depan. Pokoknya, lagaknya seperti kiper piala dunia.
Pernah suatu ketika saat menangkap bola ia langsung berguling-guling lima kali sampai-sampai gulingannya tidak tentu arah. Dan seperti biasa dengan serta merta ia melemparkan bola keras-keras ke depan. Si Gedah tidak sadar bahwa akibat berguling-gulingnya tadi posisinya jadi terbalik sehingga begitu bangun maka yang di hadapannya adalah gawang sendiri. Seketika itu juga ia melemparkan bola keras-keras dan tentu saja langsung masuk ke gawang sendiri. Si Gedah sendiri sebenarnya heran dengan hal tersebut. “Kok bisa gawangku ada di sebelah sini” ujarnya saat itu. Rupanya akibat berguling-guling itu Gedah sempat pusing sehingga pandangannya berputar-putar. Namun yang jelas ia akhirnya jadi sasaran sumpah serapah teman-temannya maupun suporter lainnya. Ia pun dipecat dengan tidak hormat menjadi kiper KAMBER.
Namun demikian karena makin lama di tim KAMBER terjadi kelangkaan kiper plus Ihsan mengundurkan diri, maka Gedah pun akhirnya dipanggil lagi oleh Alie untuk mengikuti TC. Dan hari itu, beberapa jam menjelang pertandingan dengan kesebelasan Kampung Seberang Sungai si Gedah kelihatan benar-benar siap. Pakaian kiper kebesarannya (yang memang kebesaran) sejak tadi siang sudah dipakainya. Begitu pula sarung tangannya sudah dipakai pula. Beberapa temannya bertanya prihal asal muasal sarung tangan tersebut yang dijawab oleh Gedah bahwa sarung tangan tersebut kiriman salah seorang kiper AC Milan. Selidik punya selidik, ternyata sarung tangan itu adalah sarung tangan milik ibu Gafan yang dipakai saat naik haji dua tahun lalu.
Di antara kerumunan belasan pemain KAMBER itu tampak terlihat Alie berada di tengah-tengah. Ia terlihat menggunakan jaket biru bertuliskan Honda. Di tangannya tergenggam sebuah map kuning kumal tergulung. Beberapa kali ia terlihat bersitegang dengan para pemainnya. Bahkan terlihat pula ia menjitak kepala salah seorang pemainnya. Gafan jadi penasaran, kemudian ia mendekati Alie dan memperhatikan saja ulah tingkat sang menejer. Ternyata menejer Alie saat itu sedang menagih tunggakan uang iuran pendaftaran kepada beberapa pemain. Beberapa di antara pemain yang nunggak tersebut tidak bersedia melunasi tunggakannya dengan alasan tidak punya uang. Sedangkan beberapa orang lagi berjanji akan melunasi tunggakan itu apabila dalam pertandingan nanti tidak dijadikan sebagai pemain cadangan. Pendeknya, para penunggak yang jumlahnya lebih dari separoh pemain itu minta dijadikan pemain inti. Hal inilah yang membuat Alie jadi jengkel hingga sampai bersitegang.
“Iuran apa lagi ? Kok banyak sekali. Apa saja sih yang mau dibayar ?” tanya salah seorang pemain.
Dengan nada jengkel Alie langsung merincikan semua pengeluarannya dari biaya pendaftaran, beli air minum dan segala tetek bengek. “Itu belum termasuk uang untuk bayar dukun” ucap Alie dengan lantang. Semua pandangan mengarah kepada Pak dukun. Pak dukun sendiri kelihatan malu dan kesal, lalu ia pun terdengar berdehem-dehem. Alie jadi tersipu-sipu.
“Ayo kita berangkat !” ajak Bakos.
“Tunggu dulu !” sergah pak dukun. “Zebelum berangkhat, khalian haruz minum air zamfi-zamfi ini dulu” lanjutnya seraya mengeluarkan sebuah botol aqua penuh air.
“Supaya kenapa ?”
“Zufaya khalian tidakh khena fengaruh zihir dan zantet dukhun muzuh khalian” ujarnya.
Akhirnya satu persatu para pemain KAMBER meminum air “zamfi-zamfi” dari pak dukun tersebut, termasuk Gafan juga. Rupanya ia terpengaruh juga oleh kata-kata pak dukun yang menakut-nakuti itu.
Read More......

PEMAIN KAMPUNG (8)

Hari Kamis…………..
Matahari baru naik sepenggalahan. Kesibukan di kampung Gafan sudah mulai nampak. Yang jadi pedangang sudah membuka warungnya. Yang petani sudah nyangkul di sawah. Sedangkan yang remaja………sibuk juga. Mereka terlihat kumpul-kumpul di rumah Gafan membicarakan pertandingan nanti sore.

Bermacam-macam isi pembicaraan mereka, mulai dari taktik, strategi dan bebadong. Nampak di sana Bakos, Odi, Ichan, Gafan, Mohdan dan yang lainnya saling berbincang dengan asyiknya.
Tak lama kemudian Bakos keluar dari situ dengan menarik tangan Gafan. Nampaknya ada suatu hal yang akan dilakukannya. Gafan jadi penasaran.
“Mau apa ?” tanya Gafan heran.
“Saya mau cukur rambut nih. Kamu bisa ‘kan ?” jawab Bakos sembari mengeluarkan gunting hitam yang sudah dipersiapkannya.
Gafan tertegun sejenak. Sebenarnya ia sama sekali hendak menolak permintaan Bakos tersebut. Gafan belum pernah sama sekali berkenalan dengan profesi yang bernama tukang cukur. Namun karena dipaksa, Gafan akhirnya mau juga.
Segera ia mengambil gunting yang disodorkan Bakos. Kemudian Bakos duduk di emper rumah Gafan. “tolong dicukur model Michael Platini, ya !” perintahnya.
Gafan hanya diam saja. Ia mulai mencukur rambut Bakos. Ia sama sekali tidak tahu etika cukur mencukur, apalagi cukuran model Platini. Gafan mulai mencukur dari samping kanan di atas telinga. Sambil nyukur ia berusaha membayangkan bentuk dan potongan rambut Michael Platini. Tatapan Gafan menerawang ke atas, namun tangannya tetap mencukur. “Adooh sompret !!” teriak Bakos tiba-tiba. Ternyata ujung gunting sempat menjepit daun telinganya. Tapi untung saja gunting tersebut tidak terlalu tajam sehingga daun telinga Bakos tidak sampai terluka, hanya memerah sedikit saja.
“Yang bener dong !” bentak Bakos dengan mata melotot kepada Gafan sembari mengusap-usap daun telinganya.
“Sorry, ndak sengaja” jawab Gafan nyengir sambil segera membalikkan kepala Bakos ke depan.
Gafan kembali mencukur. Kali ini bagian kepala sebelah kanan Bakos yang digarapnya. Hati Gafan sebenarnya udah mulai deg-degan. Soalnya, tuh kepala sudah nampak amburadul. Di sana-sini cukurannya tidak rata, mirip ilalang kebakaran. Untungnya Bakos sama sekali tidak bawa cermin untuk mengontrol bentuk cukurannya. Makin lama Gafan makin deg-degan. Sedangkan untuk menghentikan cukuran itu seketika tentu tidak mungkin karena nantinya Bakos akan tahu kalau hasil cukurannya tidak bener.
Pikir punya pikir, akhirnya Gafan dapat akal. Dengan bahasa isyarat, dipanggilnya Mohdan yang duduk tak jauh di belakangnya. Begitu Mohdan mendekat, Gafan sengaja memegang perutnya seraya membisiki Mohdan bahwa ia mau buang air. “Tolong ganti saya cukur rambut si Bakos,” bisiknya sambil langsung menggenggamkan gunting tersebut di tangan Mohdan. Mohdan sebenarnya mau menolak, tapi karena gunting sudah berada di tangannya dan Gafan sudah beranjak, akhirnya mau tak mau Mohdan mulai melanjutkan mencukur rambut Bakos. Dari kejauhan Gafan memberi isyarat telunjuk di bibir. Maksudnya supaya diam, begitu. Mohdan mengangguk.
Sementara itu Bakos belum menyadari kalau baru saja sudah terjadi pergantian tukang cukur. Bakos tampak asyik melamun mengkhayalkan pertandingan nanti sore. “Betapa gagahnya aku nanti dengan rambut model Platini,” gumannya dalam hati.
Sedangkan Mohdan saat itu tak ubahnya seperti Gafan juga, tidak bisa mencukur. Namun dengan keberanian dan modal sok tahu, ia terus saja. Rambut belakang bagian bawah Bakos di-gres dalam-dalam dengan gunting. Gunting terus menuju ke atas dan dicukur lagi, begitu seterusnya bertingkat-tingkat. Akhirnya rambut Bakos benar-benar nampak bertingkat-tingkat dari belakang. Mohdan jadi deg-degan. Ia khawatir hal itu nanti diketahui oleh Bakos. Bakos sendiri sebenarnya sudah mulai punya firasat tidak enak. Ia hendak nengok kebelakang, namun dengan serta merta tangan kiri Mohdan memutar batok kepala Bakos sehingga menghadap kedepan lagi. Jadinya, hingga detik itu Bakos sama sekali tidak tahu bahwa yang mencukurnya adalah Mohdan.
Makin lama degup jantung Mohdan makin keras. Ini bukan main-main, katanya dalam hati. Mohdan sudah membayangkan betapa murkanya Bakos kalau tahu kepalanya dijadikan ajang untuk praktik mencukur. Bakos adalah tipe orang yang paling tidak suka dipegang kepalanya oleh sembarangan orang. Ia tidak mau sembarangan dicukur oleh siapa saja. Itu sebabnya ia menyuruh Gafan mencukurnya meski ia sendiri tahu Gafan tidak bisa mencukur. Di antara teman-temannya, hanya Gafan saja yang ia perbolehkan untuk memegang kepalanya. Prinsipnya, lebih baik rambut jadi acak-acakan daripada harus disentuh oleh orang-orang sembarangan.
Mohdan berfikir keras bagaimana agar bisa meninggalkan rambut Bakos. Matanya jelalatan mencari-cari siapa yang pantas menggantikan posisinya. Sambil matanya melirik kesana-kemari tangannya terus saja mencukur. “Addooww…sompreet ! Yang bener dong,“ teriak Bakos tiba-tiba rupanya gunting kembali mengenai telinganya. Bahkan ujung gunting tersebut hampir masuk ke lubang telinganya. Mohdan gelagapan. Namun tetap ia tak bersuara. Tangan kirinya dengan sekuat tenaga menahan kepala Bakos yang hendak nengok ke belakang. Karena ditahan dengan kuat, maka Bakos pun urung menoleh. “Hati-hati dong ! Kamu mau cukur rambut apa daun telinga ?!” gerutunya. Namun Mohdan diam saja.
Kembali Mohdan melanjutkan mencukur. Kini dengan ekstra hati-hati sambil tentunya terus mencari “calon penggantinya”. Tiba-tiba dilihatnya sang Menejer Alie lagi ngelamun juga tak jauh di belakangnya. Mohdan memanggil Alie dengan isyarat. Alie pun kemudian mendekat.
“Ada apa ?” tanya Alie.
“Ssssstttt……” ujar Mohdan berdesis dengan memberi isyarat telunjuk di bibirnya. Alie jadi kebingungan. Detik itu juga Mohdan menggenggamkan gunting ke tangan kanan Alie seraya berbisik bahwa ia mau buang air sebentar.
“Tolong gantiin saya,” bisik Mohdan seraya langsung beranjak dengan cepat.
Alie kebingungan. Semula hendak ditolaknya tugas tersebut namun tiba-tiba Bakos terdengar ngomel. “Ayo dong cepetan ! Saya mau segera mandi, nih,” ujarnya tanpa menoleh ke belakang.
Alie pun segera mencukur rambut Bakos. Bagian atas kepala Bakos dibabatnya pendek-pendek hingga cepak mirip tentara. Hanya bagian depan saja yang dibiarkan tetap agak gondrong sehingga mirip jambul. Begitu pula dengan rambut bagian kanan di atas telinga juga dibabat. Rambut yang tadinya sudah rusak oleh dua pencukur sebelumnya, kini tambah kacau balau. Mirip cukuran narapidana yang dicukur dengan pecahan botol. Namun demikian Alie tetap cuek. Terus saja ia praktik mencukur. “Kalau tidak sekarang, kapan lagi bisa latihan jadi tukang cukur,” katanya dalam hati.
Cukuran demi cukuran terus dilakukan. Begitu satu tahap cukuran selesai, Alie memandangi kepala Bakos. “Ah, belum pas,” gumannya seraya kembali mencukur rambut Bakos. Setelah tahap berikutnya dirasa selesai, kembali lagi Alie memandangi batok kepala bakos. “Ah, tinggal sedikit lagi baru mantap,” katanya dalam hati. Alie pun terus mencukur Bakos hingga benar-benar pendek.
Sementara itu Bakos sudah mulai gundah gulana. Ia merasakan kepalanya agak dingin tertiup angin. Ketika ia coba memalingkan wajahnya ke belakang, tangan kiri Alie segera membelokkannya dengan keras sehingga kepalanya menghadap ke depan lagi. Bakos makin curiga. Kok tumben tangan Gafan begitu keras pikirnya. Kemudian Bakos mencoba lagi menoleh ke belakang, tapi langsung di sergah oleh Alie dengan nada jengkel. “Jangan bergerak…monyet !” bentak Alie seraya memutar kepala Bakos dengan agak keras sehingga nyaris berputar 180 derajat.
Demi mendengar suara di belakangnya bukan suara Gafan, seketika Bakos balikkan badan. Dan, tak terkira murka Bakos. Apalagi yang dilihatnya saat itu adalah Alie, sang menejer yang kerap membuatnya jengkel. Dengan serta merta perut Alie ditendangnya. Alie mengaduh kesakitan seraya menyumpah-nyumpah menganggap Bakos tak tahu terima kasih. Sementara Bakos segera beranjak menuju kaca jendela rumah Gafan untuk ngaca. Demi melihat kondisi terakhir rambutnya yang memilukan plus memalukan, Bakos semakin tak dapat menahan amarah. Dan yang pertama kali dicarinya adalah Alie. Langsung saja gunting di tangan Alie direbutnya. Teman-teman yang lain pada terkejut. Mereka mengira Bakos akan menusuk Alie. Sebagian mereka berhamburan untuk melerai. Tapi kiranya tidak demikian. Bakos kelihatan memelintir leher Alie dari belakang dan berusaha untuk mencukur rambut Alie. Rupanya Bakos akan membalas dendan. “Hutang emas bayar emas, hutang rambut bayar rambut,” katanya berpantun.
Alie tak mau kalah. Ia meronta sekuat tenaga. Ia juga mengeluarkan pantun. “Sepandai-pandai tupai melompat….. uhk..,” ujarnya sambil meronta.
“Apa artinya?” tanya Bakos sambil terus memelintir leher Alie.
“Artinya… ukh… mukamu kayak tupai… ukh….” jawab Alie sambil terus meronta-ronta. Namun apa daya tenaganya kalah kuat dibanding tenaga Bakos yang memang bertubuh tambun gendut. Alie dibuat tidak berkutik. Lehernya diplintir, kakinya dililit kaki Bakos. Begitu pula kedua tangan Alie terlihat terlilit. Entah di mana Bakos belajar ilmu melilit model begitu, yang jelas Alie yang memang hidupnya sudah terlilit hutang, jadi tambah terlilit. Detik itu juga Bakos akan memulai aksinya.
“Awas, kalau kamu berani sentuhkan gunting itu ke rambut saya, jangan harap kamu akan saya turunkan dalam pertandingan,” ujar Alie megap-megap. “Bersiaplah jadi cadangan seu…murrr hiddd…up,” sambungnya lagi dengan lebih megap-megap dan mata melotot kecekik.
Mendengar ancaman itu, Bakos rupanya ciut juga. Ia tahu kalau Alie adalah penentu siapa yang boleh main dan siapa yang cadangan. Dan Bakos tahu bahwa pemain yang coba-coba menentang perintah Alie pasti bakal jadi pemain cadangan. Akhirnya karena pertimbangan “politis” itulah kemudian Bakos urung untuk mencukur rambut Alie. Namun demikian Bakos minta kompensasi kepada Alie agar ia diturunkan dalam semua pertandingan selama 2 babak penuh. Permintaan ini pun disetujui. Dan setelah terjadi kesepakatan barulah Bakos melepaskan cekikannya di leher Alie. Alie terbatuk-batuk sebentar. Sedangkan Bakos masih meraba-raba rambut kebanggaannya yang kini sudah tidak bisa ia banggakan lagi.
Bakos terlihat kesal bukan main. Mau marah ke Gafan, jelas tak berani. Rupanya bakos takut nanti Gafan juga tidak menurunkan dirinya di lapangan. Mau marah ke Alie, juga tak berani. Akhirnya Bakos benar-benar hanya bisa pasrah. Beberapa orang temannya terlihat menertawakan. Ditertawakan begitu Bakos hanya bisa melirik sinis.
“Dibotakin saja sekalian,” usul Alie yang disetujui oleh teman-teman yang lain.
Akhirnya Bakos pun menyetujui usul tersebut. Ia benar-benar pasrah. Rambut “Platini-nya” harus berubah jadi rambut Ronaldo. Alie pun kemudian mengambil gunting dan mencukur habis rambut Bakos hingga benar-benar plontos. Sementara di kejauhan nampak Gafan mengintip dari balik tembok. Rupanya ia merasa bersalah juga telah membuat rambut Bakos jadi kacau balau.
Read More......

PEMAIN KAMPUNG (7)

Lapangan tempat pertandingan kali ini tidak beda jauh dengan lapangan pada Kambing Cup yang lalu. Mulai dari garis tengahnya yang dari pematang sawah, lapangannya yang bergelombang, hingga kiri kanan gawangnya yang lebar sebelah. Hanya saja pada lapangan ini tidak ada kubangan kerbau.
Tampak di tengah lapangan pemain kedua kesebelasan bertanding dengan serunya. Terutama sekali pemain Macan Kuning terlihat bersemangat betul. Maklum, tim tuan rumah. Tiap mereka dapat bola, langsung mendapat tepuk tangan penonton, padahal tendangan bolanya melenceng. Tapi meski begitu tetap dapat tepuk tangan juga. Konon, itu merupakan salah satu instruksi pak Kepala dusun.
Berbeda dengan pemain lawannya, karena suporternya sangat sedikit maka tak ada terdengar tepuk tangan mereka. Malah sebaliknya mereka mendapatkan sorak-sorai dan caci makian. Setiap pemain musuh ini mendapat bola, kontan saja sorak-sorai dan cacian kotor keluar dari para penonton. Jadi, meskipun tendangan mereka bagus, overan mereka indah dan kerjasama mereka memukau tetap saja disoraki. Konon ini instruksi pak Kepala dusun juga. Dan yang lebih menyedihkan lagi, yakni para suporter tim musuh yang jumlahnya hanya puluhan orang itu dilarang memberikan semangat ataupun tepuk tangan kepada para pemainnya. Kalau tidak, fatal akibatnya. Bisa-bisa mereka dilempari dengan berbagai benda, mulai yang ringan seperti botol aqua hingga yang berat seperti potongan batu bata. Mulai dari yang padat seperti tanah pematang sawah hingga yang lembek seperti tahi sapi basah. Dan konon, ini juga instruksi pak Kepala Dusun. Walhasil suporter ini hanya bisa menganga saja.
Namun demikian para pemain musuh ini tidak gentar sedikitpun. Mereka terus saja berupaya menunjukkan permainan terbaiknya. Beberapa kali serangannya nyaris membobolkan gawang Macan Kuning. Begitu pula dengan kesebelasan Macan Kuning, sering terlihat gantian menyerang dengan sengitnya. Begitulah terus berlangsung hingga akhirnya babak kedua berakhir. Kedudukan masih imbang 0 – 0. Dan seperti biasa kalau kedudukan imbang seperti itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali adu pinalti. Perpanjangan waktu 2 x 15 menit dianggap tidak memungkinkan karena waktunya hampir magrib. Adu pinalti pun kemudian dimulai.
Masing-masing kesebelasan mengeluarkan 5 orang algojonya. Setelah basa-basi sebentar antara wasit, kapten kedua tim dan hakim garis, maka adu pinalti pun dimulai. Para penonton yang tadinya berada di luar garis lapangan kini semua masuk ke lapangan, ingin melihat dari sedekat mungkin. Wasit mengisyaratkan kepada penonton untuk tidak masuk kotak pinalti. Namun hal tersebut tidak digubris. Para penonton memadati hampir seluruh kotak pinalti. Akibatnya para algojo hampir tidak punya ruang gerak untuk menendang, sebab 1 meter di kiri-kanan dan belakang mereka adalah jubelan penonton.
Gafan yang berada di kandang sapi terlihat kesal karena pandangannya terhalang oleh kerumunan para penonton itu. Jadinya ia tidak bisa melihat sama sekali bagaimana aksi dari para algojo tersebut. Gafan pasrah, segera saja ia keluar dari kandang kumpul itu. Ia memutuskan untuk tidak menyaksikan adu pinalti. Biarlah nanti kita dengar beritanya dari teman-teman gumannya dalam hati.
Sambil berjalan Gafan beberapa kali mendengar suara gegap gempita para penonton. Entah siapa yang mencetak gol. Tapi yang jelas yang lebih banyak terdengar adalah suara sumpah serapah. Setidaknya suara sumpah serapah dan cacian terdengar sebanyak 5 kali, sedangkan suara gegap gempita dan tepuk tangan terdengar 4 kali. Gafan memperkirakan bahwa suara gegap gempita dan tepuk tangan itu adalah suara suporter Macan Kuning yang gembira karena pemainnya bisa mencetak gol. Dan suara sumpah serapah tersebut adalah suara suporter Macan Kuning juga yang nampaknya jengkel karena pemain musuh juga bisa mencetak gol.
“Lho, berarti macan kuning kalah dong !” guman Gafan dalam hati, seraya berusaha melongok ke lapangan mencari tahu. Dan benar saja, ternyata macan kuning kalah adu pinalti dengan skor 4 – 5. Kontan saja terjadi kegaduhan. Para penonton nampak mencari gara-gara. Mereka mencoba mendekati pemain musuhnya untuk dipukuli. Namun pemain musuhnya tersebut segera lari menyelamatkan diri pontang panting.
Melihat gelagat tidak baik itu, segera Gafan beranjak dari situ. Ia khawatir dirinya nanti jadi sasaran kemarahan para suporter macan kuning. Segera ia mencari Bakos dan teman yang lainnya. Nampak di kejauhan Bakos cs juga sedang berlarian menyelamatkan diri. Pendeknya suasana jadi kacau. Semua orang asing yang ada di situ dilempari dan dikejar-kejar karena disangka pemain musuh. Konon, itu juga merupakan instruksi pak Kepala dusun. Dan karena Gafan sudah jauh berlari, ia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di lapangan itu. Yang penting besok giliran kita yang main kata Gafan dalam hati.
Gafan terus berjalan dengan tergesa-gesa sambil sesekali melihat ke belakang. Begitu tiba di pinggir sungai yang merupakan batas kampungnya dengan Kampung Seberang Sungai, Gafan bertemu dengan Bakos dan teman-teman lainnya. Mereka nampak berdiri di pinggir sungai sembari celingak-celinguk seolah-olah ada yang dicari. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres nih. Dan memang benar, Gafan cs tidak bisa nyeberang sungai karena sampan-sampan mendadak hilang. Padahal tadi sewaktu berangkat cukup banyak yang masih tertambat di situ. Sampan kecil-kecil berukuran 2 x 1 meter itu biasanya dipakai untuk angkut pasir yang dikeruk di tengah sungai. Tapi bila sore tiba aktifitas ngeruk pasir terhenti dan sampan itupun di-parkir di pinggiran sungai. Jumlahnya mencapai belasan. Tapi aneh, sekarang sampan-sampan itu pada lenyap, padahal tak ada banjir. “Setan ! Pelit amat si pemilik sampan!” ucap Bakos berang.
“Kita berenang saja,” ajak Bakos yang diiyakan oleh temannya yang lain. Namun secepat kilat Gafan mencegahnya. Sang kapten khawatir kalau semua temannya berenang ke seberang, berarti ia akan tinggal sendirian, karena ia tidak pandai berenang. Apalagi terpikir olehnya bahwa sungai itu kini sudah cukup dalam, tak kurang dari 3 meter. Padahal dulu sungai tersebut tidak begitu dalam, tapi karena tiap hari orang mengeruk pasirnya dengan menggunakan sampan, maka bertambahlah kedalamannya. Sudah dalam dan keruh, airnya tenang pula. Kan kelihatan ngeri, seperti sarang buaya.
“Coba saja cari sampannya, siapa tahu disembunyikan di semak-semak” ujar Gafan seraya memandang ke beberapa bagian pinggiran sungai yang rimbun dipenuhi semak-semak.
Beberapa temannya mencoba mencari sampan di semak belukar. Ada yang ke hulu dan ada pula yang ke hilir. Sementara itu beberapa orang mulai berdatangan. Nampaknya mereka orang-orang kampung Gafan yang juga ikutan nonton bola di Kampung Seberang Sungai.
Cukup lama mereka mencari sampan-sampan tersebut. Saat itu waktu magrib telah tiba. Suasana di sekitar tempat itu tentu jadi menakutkan. Namun demikian pencarian sampan terus dilakukan. Dan akhirnya beberapa sampan berhasil ditemukan. Sampan itu sengaja disembunyikan rapi disemak-semak, ditindih dahan-dahan berat, diberi duri-duri pandan dan diikat satu sama lain. Tak terkira dongkolnya Gafan cs. “Ini perbuatan orang yang dengki” ketusnya seraya berusaha membersihkan berbagai penghalang di atas sampan itu. Kini tinggal tali pengikat itu saja yang masih belum bisa dibuka. Bakos celingak celinguk cari pisau, namun tak ketemu. Tapi untung mereka bertemu dengan seorang yang lagi mancing ikan, nampaknya ia bawa korek api karena sedang merokok. Bakos mendekati orang tersebut yang nampaknya tetap cuek melihat “penderitaannya”.
“Pak, pinjam korek apinya dong” pinta Bakos.
“Wah, isinya tinggal sedikit, nih. Ntar saya ndak bisa bakar rokok dong” jawab si tukang pancing seraya memandangi kailnya.
Bakos jadi jengkel, hampir saja orang itu diceburkannya. Namun ia kemudian putar otak. Dirogohnya kantong celananya dan kemudian mengeluarkan bungkusan rokok yang isinya tinggal dua batang.
“Sudahlah pak, ini saya kasih rokok, pinjam koreknya dong” ujar Bakos seraya menyodorkan rokok tersebut ke tangan si tukang pancing. Ia pun kemudian memberikan koreknya.
Setelah mendapatkan korek tersebut, Bakos dan Gafan menuju ke tempat sampan tadi. Tali yang mengikat sampan-sampan itupun diputus oleh Bakos dengan korek api.
“Siapa sih pak, yang usil begini” tanya Gafan kepada pemilik korek.
“Ya, pemilik-pemilik sampannya dong” jawab si pemilik korek.
“Yang punya sampan siapa, sih ?”
“Orang-orang Kampung Seberang Sungai”
“Kok mereka sembunyikan sampannya begini ?”
“Ya, jelas dong, karena kesebelasan mereka kalah”
“Apa hubungannya dengan sampan-sampan ini” ujar Bakos menimpali.
“Mau berhubungan, mau ndak, terserah. Suka-suka kita dong. Eh…suka-suka mereka dong”
Mendengar kata “kita” tadi, Gafan, Bakos dan teman-temannya saling pandang. Pada pikiran mereka, si tukang pancing ini adalah salah satu dari warga Kampung Seberang Sungai, dan bisa jadi ia ikutserta menyembunyikan sampan-sampan itu.
“Bapak dari mana ?”
“Dari sini”
“Sini mana ?!” tanya Bakos agak keras.
“Ya, dari sini ! Koq ngurus sih, kamu petugas sensus ya, nanya terus” jawab si pemilik korek menjengkelkan. Bakos terdiam sambil kacak pinggang.
Sementara itu sampannya sudah siap. Gafan mengajak Bakos naik sampan. “Kamu saja duluan. Nanti saya pakai yang ini saja” ujar Bakos seraya menarik sebuah sampan. Kemudian Bakos memilih 4 orang yang agak besar-besar ikut dengannya di sampan itu, sedangkan yang lain disuruhnya naik sampan yang satunya lagi.
Jumlah sampan yang dipakai 3 buah. Idealnya masing-masing sampan bisa nampung 5 orang. Tapi hanya sampan Bakos saja yang berisi lima orang, sedangkan yang lain ditumpangi hingga 10 orang. Akibatnya para penumpang yang sampannya kepenuhan ini harus ekstra hati-hati dan tak banyak gerak, sebab bisa-bisa sampan jadi tenggelam. Saat itu pun sebenarnya air sungai mulai masuk sedikit-sedikit karena saat mendayung sampan selalu bergoyang. Dayung yang digunakan adalah potongan bambu sepanjang 5 meter. Cara mendayungnya tidak seperti di laut, melainkan dengan cara menusukkan bambu ke dasar sungai lalu didorong-kuat-kuat. Dengan cara ini sampan pun berjalan. Namun Ini sebenarnya merepotkan Gafan cs. Meskipun teman-teman Gafan adalah nelayan, tapi mereka tidak pernah mendayung sampan dengan menggunakan potongan bambu tersebut.
Akibatnya sampan yang digunakan Gafan cs jadi berputar-putar. Didayung lewat kiri, mutar ke kanan, di dayung lewat kanan mutar kekiri. Di dayung bergiliran lewat kiri dan kanan, tidak bisa jalan. Walhasil, dari awal penyeberangan, sampan tersebut hanya berputar-putar saja hingga mencapai ke seberang.
Melihat hal tersebut, Bakos dan 4 orang temannya yang masih berada di seberang tertawa terbahak-bahak. Mereka nampaknya belum mulai menyeberang. Entah apa penyebabnya, yang jelas kelima remaja tersebut nampak nampak tertawa sambil berbisik-bisik. Si tukang pancing ikan yang ada di dekat Bakos juga terdengar tertawa. Bahagia benar nampaknya ia melihat penderitaan Gafan cs. Bahkan ketika salah seorang kawan Gafan terdengar muntah-muntah karena pusing muter, si tukang pancing ini tambah terpingkal-pingkal sehingga kailnya pun terpingkal-pingkal pula.
Namun tak lama kemudian mendadak tawa si tukang pancing terhenti ketika Bakos dan 4 temannya mendekatinya. Dan tanpa basa basi lagi si tukang pancing itu diangkat beramai-ramai lalu masing-masing memegang tangan dan kakinya, kemudian digoyang-goyang dan setelah aba-aba ketiga dari Bakos, orang tersebut dilemparkan keras-keras sungai. Orang itupun terhempas ke sungai. Kedengarannya seperti papan yang dihempaskan. Nampaknya dadanya yang pertama kali terhempas di air.
Bakos dan ke 4 temannya segera berlarian menuju sampan. Dan dengan segera mereka mendorong sampan ke tengah kemudian menaikinya. Bakos langsung memegang bambu dan mendayungnya sekuat tenaga. Sementara itu orang yang dihempaskan tadi terdengar berteriak-teriak menyumpah-nyumpah sambil mengeluarkan ancaman. Ia berusaha mengejar Bakos dengan cara berenang, tapi begitu akan mendekat, ujung bambu yang dipegang Bakos diayunkan ke arah orang tersebut. Orang itu pun menghindar dengan cara menyelam. Saat muncul lagi ke permukaan air, kepalanya jadi sasaran ujung bambu.
“Adduuuhh…..setan. Awas kalian,” ucapnya seraya balik berenang ke pinggir di tempat kailnya.
Bakos dan teman-temannya yang masih di tengah sungai tak dapat menahan tawanya. Begitu pula dengan Gafan yang berada di seberang.
“Ayo, sini kalau berani !!” tantang Bakos sambil kacak pinggang dan tertawa. Orang yang ditantang tidak memberi respon. Nampak ia memegangi kepalanya yang benjol.
Melihat tak ada reaksi dari lawannya, Bakos kemudian mendayung lagi. Tapi apa yang terjadi, sama seperti sampan-sampan terdahulu, muter-muter. Di dayung dari kiri, muter ke kanan. Di dayung dari kanan muter kekiri. Ke 4 temannya bergiliran unjuk kebolehan mendayung, tapi tetap saja sampan itu muter-muter. Malah muternya lebih parah, muter di tempat. Padahal saat itu mereka tepat berada di tengah sungai. Adegan tersebut tentu saja membuat Gafan cs tak bisa menahan tawa. Kini giliran ia yang mengejek Bakos. Begitu pula dengan si tukang pancing terdengar tertawa terpingkal-pingkal di seberang sungai. Melihat si tukang pancing tertawa, Bakos jadi jengkel.
“Hay setan…ngapain tertawa ?! Pingin dibogem ya ?” gertak Bakos seraya mengacungan tangannya.
Yang ditantang jadi jengkel juga. Mau mengejar bakos dengan cara berenang, takut kena pentung lagi. Akhirnya, setelah merenung sejenak, si tukang pancing ini kelihatan membalikkan badan dan berlalu. Bakos mengira orang tersebut akan pulang.
“Mau pulang ya ?! Atau mau panggil orang sekampung ?! Panggil sana !! Saya ndak akan mundur,” ujar Bakos dengan lantangnya.
Orang tersebut terus saja berjalan lalu hilang di rerimbunan. Namun tak lama kemudian orang tersebut balik lagi. Kali ini langkahnya lebih cepat dan sepertinya ia membawa buntelan kain. Begitu ia tiba di pinggir sungai, buntelan kain dibukanya….dan, Masya Allah, isinya pecahan batu bata.
Detik itu juga pecahan batu bata tersebut melayang bertubi-tubi ke arah sampan Bakos dan empat temannya yang masih di tengah sungai. Tentu saja Bakos jadi kaget. Mendapat serangan seperti itu Bakos tak bisa berbuat banyak, hanya mengelak saja. Sekali mengelak, sekali kena. Masing-masing berusaha mengelak di sampan kecil itu. Akibatnya beberapa kali kepala Bakos dan temannya saling berbenturan karena elak-mengelak tadi. Mau tak mau akhirnya Bakos cs tiarap di lantai sampan. Melihat musuhnya tiarap, si tukang pancing tak kalah akal. Ia melempar batu tidak lagi dengan cara keras-keras, tapi dilempar ala pemain basket yang masukkan bola ke ring. Hanya saja si tukang pancing melempar batunya tinggi-tinggi sehingga saat jatuh di atas sampan bisa lebih keras.
Akibat lemparan ini beberapa kali terdengar suara gedebuk punggung Bakos cs. Dan beberapa kali pula terdengar suara mengaduh-aduh.
Melihat hal tersebut, Gafan cs bereaksi. Segera mereka membalas melempar si tukang pancing dari seberang. Lemparan mereka rupanya bisa menjangkau si tukang pancing. Beberapa kali lemparan tersebut nyaris mengenainya. Akibatnya si tukang pancing segera lari terbirit-birit. Setelah suasana agak aman, Bakos cs yang ada di dalam sampan kembali bergiliran mendayung sampannya sambil meringis-ringis. Perlahan tapi pasti, sampan itupun tiba di pinggiran. Begitu turun, tanpa banyak cakap Bakos langsung mendorong sampan yang telah kosong itu ke tengah sungai. “Biar hanyut ke laut” gerutunya.
Gelap malam mulai menyelimuti kebun-kebun pinggiran sungai. Suara azan di kejauhan mulai terdengar. Dengan langkah gontai para remaja pecandu bola itu berjalan pulang menuju kampungnya.
Read More......

PEMAIN KAMPUNG (6)

Meski kompetisi berakhir tragis, namun tak menyurutkan semangat latihan anak-anak Kamber. Mereka tetap berlatih dengan menggunakan lapangan yang kebetulan ada di kampungnya. Di saat itu, karena kebetulan musim kemarau, maka lapangan jadi banyak karena banyak sawah yang tidak bisa ditanami.
Hampir semua generasi ikut main bola tiap sore. Dari anak balita yang masih bergigi empat sampai dengan manula yang giginya tinggal empat. Masing-masing punya lapangan sendiri yang letaknya bersebelahan.
Sementara itu lapangan yang dipakai oleh Gafan tentu paling besar, karena mereka menganggap bahwa tim mereka adalah tim inti. Sedangkan yang agak uzur terpaksa main di sawah yang agak kecil dan tanahnya bergelombang.
Sebenarnya hal ini sempat diprotes oleh bapak-bapak tersebut. Mereka menuntut agar kaum tua dan kaum “agak tua” diberi juga main di “lapangan utama” itu. Protes ini sempat mereka sampaikan kepada Pak kepala dusun. Dan memang Pak Kepala Dusun rupanya tanggap pada protes tersebut karena memang, ia seangkatan dengan kaum tua-tua itu, dan pak Kepala dusun sendiri juga suka ikutan main bola. Oleh karenanya sesegera mungkin pak kepala dusun membuat SK yang berisi izin penggunaan lapangan.
Atas dasar SK tersebut dengan agak terpaksa Gafan cs menampung aspirasi mereka. Yang bapak-bapak diikutkan main di lapangan. Permainan pun praktis terganggu karena setiap latih tanding, beliau-beliau yang tua-tua sering duduk di tengah lapangan karena kelelahan, padahal permainan sedang berlangsung. Ini membuat “para pemain inti” jadi gregetan. Tapi itu hanya berlangsung hanya beberapa hari, setelah itu beliau-beliau dengan sendirinya kembali ke lapangan bergelombangnya. Selidik punya selidik, ternyata itu adalah ulah Alie.
Ali mengistruksikan pemain-pemainnya agar sesering mungkin menembakkan bola ke arah para pemain uzur tersebut, lebih-lebih yang suka duduk di tengah lapangan kalau kelelahan. Memang instruksi sang menejer ini dijalankan. Setiap latihan, Gafan cs memisahkan diri dengan para pemain tua itu. Akhirnya tiap hari terjadi pertandingan antara remaja dengan generasi tua. Dan setiap hari pula ada saja pemain uzur yang dibuat keblinger karena kepalanya terkena bola yang sengaja ditendang keras-keras ke arahnya. Ini yang ternyata membuat bapak-bapak tersebut enggan lagi main bersama dengan Gafan cs. Mereka terpaksa pindah ke lapangan lama, lapangan bergelombangnya. Di lapangan tersebut mereka bisa sesuka hati untuk duduk semau gue di tengah lapangan tatkala kelelahan.
Sebulan setelah berakhirnya kompetisi Kambing Cup sial itu, kembali kesebelasan Kamber mendapat undangan untuk ikut kompetisi. Kompetisi tersebut diadakan di Kampung Seberang Sungai. Hadiahnya tak tanggung-tanggung, seekor sapi untuk juara pertama. Juara kedua mendapat kambing, dan juara ketiga mendapat hadiah seekor………….bebek. Hanya saja dalam kompetisi kali dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 50 ribu.
“Wah, ini nih yang bikin repot” ujar Gafan sambil garuk kepala saat membaca prihal jumlah uang pendaftaran tersebut. Sebab selama ini di kampungnya untuk nagih urunan beli bola atau untuk uang pendaftaran semacam ini sulitnya minta ampun. Ada saja alasan yang dibuat-buat agar tidak keluar uang. Tapi giliran akan bertanding, hampir semua pemain menuntut harus diturunkan.
“Tapi bertandingnya ‘kan masih dua minggu lagi” ujar Ali. “Berarti masih ada waktu untuk kumpulkan urunan” lanjutnya.
Gafan menganggukkan kepala. “Kalau begitu kita bentuk saja seksi-seksi” ujarnya.
“Boleh” jawab Ali.
“Kamu di seksi penagihan. Bakos kita serahkan untuk urus kostum. Mohdan di seksi air minum dan pengerahan suporter. Itu saja cukup kan ?” tanya Gafan.
“Masih kurang satu lagi. Seksi bebadong (magic). Ini perlu lho. Soalnya tim lain pasti pakai bebadong juga.”
Kembali Gafan terdiam. Dalam hatinya ia antara percaya dan tidak dengan hal yang satu ini. Tapi demi menampung aspirasi teman-temannya ia setuju juga.
“Siapa yang kita tunjuk di seksi bebadong ?”
“Si Ichan saja. Dia punya banyak kenalan tukang santet. Tapi dalam pertandingan nanti dia tidak mau jadi kiper lagi.”
“Lantas, siapa dong yang jadi kiper ?”
“Si Gedah”
“Boleh”
Akhirnya sejak saat itu Gafan dan Ali memulai aktifitasnya untuk mempersiapkan timnya. Anak buah mereka makin bersemangat latihan. Demikian juga dengan uang urunan, tumben saat itu bisa agak lancar. Dalam tempo seminggu uang terkumpul semua walaupun ada beberapa pemain yang nunggak dan membayarnya dengan cara mencicil.
Pertandingan tinggal seminggu lagi. Semua persiapan sudah hampir kelar, termasuk ‘bebadong’ segala. Segala taktik sudah pula dipersiapkan. Pokoknya, kesebelasan Kamber optimis bakal menang. Dan hari bertanding mereka adalah hari kamis. “Ini hari baik bagi kita, begitu kata mbah dukun” ujar Ichan yang katanya baru pulang menjalankan tugas me-loby dukun.
“Dukun yang mana ? Yang dulu lagi ya ?!” tanya Ali dengan nada khawatir.
“Bukan. Ada dukun yang lain lagi, lebih paten. Dia bisa bikin bola jadi melenceng. Pokoknya dijamin dah. Asal saja bebadong yang dia tanam di gawang kita nanti tidak sampai dikencingi”
Kembali Gafan mengangguk. Lagi-lagi antara percaya dan tidak.
Sehari menjelang pertandingan, tepatnya hari rabu, Gafan meliburkan anak buahnya untuk latihan.
“Kita harus refresing karena besok akan bertanding” pesannya. “Dan kalau bisa sore ini kita nonton pertandingan, hitung-hitung melihat kondisi lapangan” lanjutnya.
Saran tersebut dituruti. Dan sore itu hampir semua pemain Kamber pergi ke Kampung Seberang Sungai untuk melihat pertandingan yang sedang berlangsung. Lokasi pertandinganya adalah di sebuah tanah sawah pecatu kampung setempat. Lapangannya cukup luas namun agak bergelombang.
Yang bertanding sore itu adalah kesebelasan tuan rumah. Nama kesebelasannya cukup menyeramkan, PS. Macan Kuning. Penontonnya benar-benar berjubel. Ya, namanya juga tuan rumah. Dari jarak 100 meter saja sudah terdengar suara gegap gempita sorak-sorai. Hampir seisi kampung keluar untuk memberi dukungan pada tim kesayangannya. Bahkan konon kepala kampungnya menginstrukskan agar semua aktifitas dihentikan dulu pada sore hari itu demi mendukung tim mereka. Luar biasa.
Gafan dan teman-temannya tiba di lapangan tersebut pada pertengahan babak kedua. Kedudukan sementara masih 0-0. Rupanya lawan tim tuan rumah tanguh juga. Gafan tidak bisa melihat dengan jelas pertandingan tersebut karena berjubelnya penonton. Beberapa kali ia coba menyeruak, tapi selalu terpental kembali ke belakang. Tampak di kejauhan Bakos mencoba menyeruak di kumpulan cewek-cewek suporter. Rupanya keusilan Bakos kumat lagi. Tangan dan sikut kiri-kanannya benar-benar dimainkan saat itu. Bagian-bagian “tertentu” tubuh si cewek jadi sasaran. Tentu saja hal tersebut membuat cewek-cewek suporter ini pada marah. Langsung saja Bakos dijambak bertubi-tubi bergiliran. Dan akhirnya Bakos terpental ke belakang.
Gagal nonton lewat bawah, Bakos tidak kehabisan akal. Segera ia mengajak Gafan dan teman-teman lainnya untuk memanjat pohon jambu coklat yang ada di dekat situ. Kebetulan jambu tersebut sedang berbuah lebat.
“Kita naik di sini saja. Ini tempat yang strategis. Apalagi buah jambunya lebat, hehehe” ajak Bakos.
Bakos dan beberapa temannya langsung saja memanjat pohon jambu tersebut. Hanya Gafan saja yang tidak mengikuti jejak langkah Bakos itu. Dari atas pohon jambu itu mereka nonton pertandingan. Dan tentu saja sambil nonton, tak henti-hentinya mulut mereka mengunyah jambu yang ranum-ranum. Akibatnya, sisa-sisa sampah jambu berserakan di bawah.
“Bodoh sekali orang-orang itu. Koq ndak mau nonton lewat sini. Kan bisa sambil makan jambu” ujar Bakos seraya menunjuk ke arah penonton lainnya yang naik di pepohonan yang tak berbuah. Bahkan ada penonton lain yang naik di pohon pisang, sebentar-sebentar melorot ke bawah, setelah itu naik lagi.
Sebenarnya hati Gafan agak kurang enak melihat aksi Bakos itu. Apalagi setelah ia melihat sejumlah penonton memberi “kode” kepada bakos cs untuk turun dari jambu itu. Tapi dasar Bakos, dia cuek saja. Beberapa kali Gafan minta Bakos cs untuk turun, tapi ditolak mentah-mentah, bahkan dilempar dengan jambu mentah. Akhirnya Gafan segera menjauh dari tempat itu. Ia tak mau kena getah dari perbuatan Bakos. Gafan berjalan menuju arah timur lapangan. Di situ ada kandang kumpul yang letaknya agak tinggi. Anehnya kandang tersebut tak tersentuh sedikitpun oleh penonton, dengan kata lain tak seorangpun penonton yang nonton lewat situ, padahal kalau mau berdiri di bawah kandang tersebut, kita bisa melihat lapangan dengan leluasa. Selidik punya selidik ternyata si pengelola kandang kumpul itu tidak mengijinkan siapa pun masuk kesitu. Alasannya, dikhawatirkan nantinya orang yang masuk tersebut adalah mata-mata maling yang mau men-survey keadaan kandang itu. Maklum saat itu musim maling ternak.
Namun demikian Gafan langsung saja nyelonong masuk. Ia pura-pura melihat-lihat sapi-sapi yang ada. Si penjaga kandang terlihat mulai pasang wajah sangar. Ia terlihat beberapa kali melirik-lirik. Malah parangnya yang mengkilap beberapa kali digosok-gosokkan ke batu. Melihat gejalan tidak enak itu langsung saja Gafan putar otak. Sengaja ia berdecak kagum melihat sapi-sapi yang ada di situ yang gemuk-gemuk.
“Sapi bapak montok-montok ya ?! pasti harganya mahal” ujar Gafan. “Apalagi yang belang ini” lanjutnya seraya mengelus-elus punggung sapi tersebut. Rupanya sapi belang itu adalah sapi milik si penjaga kandang itu. Dipuji begitu, si penjaga kandang terpedaya juga. Segera wajah sangarnya dirubah sedemikian rupa. Dan iapun kemudian menerangkan berbagai hal tentang sapi yang dimilikinya, mulai dari makanan, sampai dengan kiat-kiat memandikan sapi. Pokoknya komplit, dah. Gafan pura-pura berdecak kagum lagi, tapi matanya mulai mengikuti pertandingan yang sedang berlangsung di lapangan. Si penjaga kandang terus saja memberi “penyuluhan terpadu”. Dan Gafan sesekali menengok juga ke arah panjaga kandang itu. Lama-lama si “penyuluh” kelelahan sendiri sehingga menghentikan penyuluhannya. Hal ini tentunya membuat Gafan bisa berkonsentrasi penuh mengikuti jalannya pertandingan.
Read More......

PEMAIN KAMPUNG (5)

Meski gagal pada kompetisi kambing cup, namun para pemain Kamber tetap penuh harap. Ya, mereka berharap agar kompetisi bisa berakhir seperti “lazimnya”. Maksudnya, begitu baru sampai perempat final, kompetisi langsung bubar. Dari waktu ke waktu memang begitu adanya. Pasti ada saja kesebelasan dan suporternya yang bikin kekacauan. Biasanya adalah tim yang kalah.
Meski gagal pada kompetisi kambing cup, namun para pemain Kamber tetap penuh harap. Ya, mereka berharap agar kompetisi bisa berakhir seperti “lazimnya”. Maksudnya, begitu baru sampai perempat final, kompetisi langsung bubar. Dari waktu ke waktu memang begitu adanya. Pasti ada saja kesebelasan dan suporternya yang bikin kekacauan. Biasanya adalah tim yang kalah.
Saat tim mereka kalah, selalu ada saja yang akan dijadikan kambing hitam. Entah itu wasit yang dikatakan berat sebelah atau juga faktor tim musuh yang banyak ‘ngebon’ pemain bayaran.
Kalau kambing hitam tidak ada, maka jalan satu-satunya yakni bikin “keramaian” alias keributan. Saling tantang. Akibatnya, usai pertandingan suasana benar-benar ramai. Malah penontonnya lebih ramai dari yang nonton pertandingan. Soalnya saat keributan terjadi para penduduk kampung pada berduyun-duyun keluar menyaksikan even langka tersebut. Dari bapak-bapak hingga kakek-kakek keluar nonton orang baku hantam. Bahkan kadang ibu-ibupun tumpah ruah juga sambil menyusui anaknya yang dalam gendongan.
Dan pada kompetisi kambing cup LKMD tersebut, harapan kesebelasan KAMBER benar-benar jadi kenyataan. Pada babak perempat final, tiga hari setelah kekalahan Gafan cs, salah satu kesebelasan yang konon di sana banyak jago silatnya, kalah telak. Alhasil terjadilah perkelahian. Pemain baku hantam lawan pemain. Penonton dengan penonton. Penonton gebuk pemain. Pemain gebuk wasit. Wasit terbirit-birit. Panitia pertandingan pun tak ketinggalan berjibakutai. Maklum satu sama lain berasal dari kampung berbeda. Mereka ikutan menggebuk pemain musuhnya. Panitia yang lain pun begitu juga. Menggebuk musuhnya juga. Lama kelamaan antar panitia saling gebuk. Kertas-kertas catatan, time table dan meja panitia diobrak-abrik. Bahkan speaker pun dibanting. Padahal speaker tersebut dapat minjam di masjid. Pokoknya kacau, dah.
Sementara itu beberapa orang hansip desa tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menonton saja. Antara satu hansip dengan hansip lainnya sebenarnya berasal dari kampung berbeda. Beberapa kali mereka nyaris juga baku hantam antar sesama hansip, tapi segera mereka sadarkan diri karena dilerai oleh beberapa pemain, padahal pemain yang melerai tersebut sedang saling gebuk.
Di sisi lain, para pemain KAMBER yang saat itu nonton bersorak-sorak gembira sambil saling menyalami.
“Alhamdulillah kompetisi bubar. Supaya sekalian tidak ada yang juara” ujar Bakos seraya mencabuti tiang gawang beramai-ramai bersama teman-temannya.
“Hay setan, jangan dicabuti tiang gawang itu !” bentak seorang hansip.
Mendengar bentakan tersebut Bakos cs bukannya menghentikan aksinya, malah makin semangat mencabut gawang dari pohon pinang itu. Dan begitu tercabut, langsung mereka lemparkan ke arah hansip yang membentak mereka tadi. Lemparan pertama tidak kena, si hansip jadi garang, bersiap pasang kuda-kuda hendak mengejar Bakos cs. Tapi begitu hansip agak dekat, kembali sebuah tiang gawang sebesar paha itu dilemparkan ke arahnya beramai-ramai. Hasilnya, tulang kering si hansip tersenggol ujung tiang gawang. Si hansip terduduk mengaduh-aduh sambil menyumpah-nyumpah. Mendengar sumpah serapah si hansip, Bakos cs tambah murka. Sekali lagi dilemparkannya tiang gawang yang tersisa ke arah hansip dengan keras. Melihat bahaya yang mengancamnya, maka tanpa basa-basi lagi si hansip segera lari pontang-panting dengan kaki terpincang-pincang.
Situasi tersebut benar-benar kacau. Nyaris saja terjadi tawuran antar kampung. Konon kedua kesebelasan masing-masing mempunyai suporter dalam jumlah besar. Tapi untung saja aparat keamanan datang melerai. Sejumlah petugas dari polsek terdengar menembak-nembakkan pistolnya ke udara. Kedua kubu pada berlarian meski masih terdengar ucapan saling sumpah serapah dari jauh.
Menjelang azan magrib suasana agak reda karena terdengar suara azan. Rupanya meski mereka suka tawuran, tapi kalau sudah mendengar azan, mereka pulang juga. Dan yang terlebih dahulu pulang adalah kesebelasan yang tadinya memang kalah. Sedangkan kesebelasan yang menang sebagian sudah pulang dan sebagiannya lagi menuju kantor desa. Mereka ke kantor desa untuk protes.
“Kami protes pak ! Kami yang menang dan akan jadi calon juara” kata mereka.
“Tapi ‘kan masih tersisa 2 pertandingan lagi.” Jawab pak Kades.
“Gimana mau bertanding, lapangannya sudah dirusak !”
“Ya, sudah. Kalau lapangannya rusak, berarti kompetisi bubar. Titik. Sampai jumpa di kompetisi lain, tahun depan” ujar pak Kades sembari ngeloyor.
Mendengar hal itu para pemain dan suporternya merasa jengkel. Mereka mengurung pak Kades. “Kalau begitu hadiahnya diberikan kepada kami !” bentak mereka.
“Lho, tidak bisa dong. Yang masuk perempat final ‘kan 4 kesebelasan. Masak kalian sendiri yang diberi hadiah. Tidak bisa begitu dong !!” jawabnya.
“Pokoknya kami minta hadiahnya” bentak mereka. Suara mereka terdengar riuh rendah. Bahkan di antara kerumunan itu terlihat Gafan, Bakos dan para pemain Kamber lainnya. Mereka juga membela tim yang menang itu. Terutama sekali Bakos, dia yang paling keras menuntut. Lebih keras dari pemain yang menang itu. Rupanya Bakos dijanjikan oleh para pemain yang menang itu akan diundang dalam pesta makan kambing. Syaratnya, Bakos dan Gafan harus ikut menuntut diberikannya hadiah kambing tersebut.
Akhirnya berkat perjuangan yang gigih disertai sedikit tindakan anarkis berupa pemecahan kaca jendela kantor, kambing itupun diserahkan juga.
“Silahkan ambil di belakang kantor” ujar Pak Kades yang langsung disambut sorak gegap gempita oleh para pemain tersebut. Pak Kades langsung pulang. Sementara para pemain dan puluhan suporternya berlarian menuju ke belakang kantor desa. Di situ tampak seekor kambing lagi tiduran karena hari sudah agak gelap.
Tanpa basa-basi lagi mereka mengangkat kambing tersebut tinggi-tinggi. “Kita pesta sekarang…..” teriak mereka. Dan kambing itupun mereka arak beramai-ramai pulang kampung dengan penuh bangga. Bermacam-lagu mereka nyanyikan sepanjang jalan, mulai dari Halo-halo Bandung sampai dengan ole-ole Bandung.
Sekitar 1 km dari kantor desa, mereka berhenti di perempatan desa. Semua kendaraan dari 4 arah dihentikan hanya untuk menyaksikan bahwa mereka dapat “piala” berupa kambing. Kebetulan di perempatan itu ada lampu penerangan jalan. Dan……….mendadak sorak-sorai mereka tiba-tiba terhenti. Pasalnya, setelah diamat-amati……ternyata “kambing piala” tersebut terkena …………..ANTHRAX.
“Setaaaaaannnnnn……..!” teriak mereka kesal seraya membanting kambing malang itu. Kambing itu pun terbirit-birit masuk semak belukar di pinggir jalan. Terdengar di kejauhan ia mengembek dengan suara melengking memilukan.
Read More......