tag:blogger.com,1999:blog-36654860078033669332023-11-15T09:14:29.096-08:00KUMPULAN CERPEN LUCUAfganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.comBlogger13125tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-86822456419230089442009-03-26T03:30:00.000-07:002009-03-26T03:31:32.296-07:00PEMAIN KAMPUNG (11)<span style="font-weight:bold;">“Tunggu dulu….pak dukun kok menghilang” kata Ihsan. Semua terkejut. Mereka baru sadar bahwa pak dukun saat itu tak muncul-muncul setelah menyelam tadi. Namun demikian sebagian dari mereka tidak begitu peduli dan langsung saja beranjak pulang.</span><span class="fullpost"><br /> “Sudah hampir magrib nih” ujarnya seraya berjalan pulang. Beberapa orang di antara mereka terlihat saling berbisik-bisik. Entah apa yang dibisikinya tak ada yang peduli juga. <br />Sementara itu sebagian yang lainnya ikut berusaha mencari pak dukun. Jumlah mereka kini sekitar 20 orang. Mereka melihat-lihat sepanjang sungai, tapi pak dukun tak nongol-nongol. Para pemain dan suporter KAMBER kemudian mencoba berjalan mencari-cari ke arah hilir, siapa tahu pak dukun hanyut. Pinggiran-pinggiran sungai yang lebat ditumbuhi pohon waru itu mereka telusuri. Tiap ada tumpukan sampah di pinggir sungai, mereka obok-obok. Siapa tahu pak dukun nyangkut di sana. Begitu pula kalau ada tumpukan sampah di tengah sungai, segera saja dilempari oleh Bakos dengan batu-bata. “Siapa tahu pak dukun nyangkut di sana” ujarnya.<br />Lama kelamaan hari mulai gelap. Matahari sedikit sedikit mulai tenggelam. Tempat pinggiran sungai itu terlihat mulai remang-remang menyeramkan. Mereka nampak putus asa. Mereka mengira bahwa pak dukun telah tenggelam dan hilang dibawa oleh makhluk angker di sungai tersebut. Akhirnya Gafan cs mengajak teman-temannya untuk pulang.<br />“Nanti kita beritahu orang kampung” ujarnya yang disetujui oleh teman-temannya. Mereka pun mulai bergegas untuk pulang. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba terdengar seperti suara air sungai diobok-obok. Mereka terhenti sejenak sambil melihat kearah datangnya suara. Ternyata suara tersebut datang dari arah bagian sungai yang paling seram, di bawah rumpun bambu. Di pinggiran sungai agak ke tengah terlihat sosok tubuh menggapai-gapai. Gafan dan teman-temannya segera berlarian ke pinggiran sungai di dekat rumpun bambu.<br />“Tolooong……..” ucap pak dukun dengan lemas.<br />“Ayo cepat tolong sana !” perintah Gafan kepada Ihsan. Namun Ihsan rupanya takut untuk terjun karena hari sudah gelap apalagi daerah itu adalah daerah paling serem. Bakos pun demikian, takut juga, apalagi Gafan. Begitu pula dengan hampir seratusan suporter tersebut tak ada yang berani terjun. Masing-masing saling memaksa temannya untuk terjun membantu pak dukun, tapi tetap tak ada yang berani. <br />“Byuurrrrr……..” tiba-tiba terdengar suara orang terjun. Orang yang terjun ini terlihat celingukan sejenak di air dan kemudian langsung mendekati tubuh pak dukun. <br />“Siapa yang terjun itu ?” tanya Gafan.<br />“Alie…..” jawab temannya yang lain.<br />Betapa lega hati Gafan. Begitu pula teman-temannya yang lain. Mereka terlihat begitu bangga kepada Alie yang menunjukkan ke-heroikannya. Apalagi saat itu terlihat Alie dengan tenang berenang seraya menggeret tubuh pak dukun yang lagi ngos-ngosan. <br />Begitu sampai di pinggir langsung saja semua teman-temannya membantu mengangkat tubuh pak dukun. Beberapa orang terlihat menarik tangan Alie untuk naik. Pak dukun langsung tidur tengadah di pinggir sungai dikelilingi oleh Gafan, Bakos dan yang lainnya. Nafas pak dukun terdengar tersengal-sengal. Beberapa kali terdengar ia terbatuk-batuk seraya memuntahkan air dari mulutnya. <br />“Wah…benar-benar zial zaya” gerutunya sambil mencoba bangkit. “Terima kazikh,” lanjut pak dukun seraya menyalami Alie yang tadi menyelamatkanya. Sambil sedikit tersenyum kecut Alie menyambut uluran tangan pak dukun. Teman-temannya yang lain pun terlihat ikutan menyalaminya, tapi segera ditolak oleh Alie. Setiap tangan yang diulurkan langsung ia tepis dengan agak kesal. <br />“Selamat ya” kata seorang temannya seraya mengulurkan tangan kanannya.<br />“Selamat batok kepalamu. Siapa yang ngedorong saya tadi, hah?!!” ketus Alie sambil berjalan ngeloyor seraya menggerundel. Semua teman-temannya jadi heran. Selidik punya selidik, ternyata Alie jadi jengkel karena harus nyebur untuk menyelamatkan pak dukun. Sebenarnya Alie sama sekali tidak berniat menyelamatkan pak dukun karena ia sendiri takut nyebur di sekitar situ. Lalu, kenapa ia sampai rela terjun ke sungai ? Itu karena terpaksa saja. Sebab tadi itu tubuhnya di………dorong. Entah siapa yang melakukannya, tak seorang pun mau mengaku. Nah, inilah yang membuat Alie kesal tapi tak tahu harus kesal kepada siapa.<br />Perjalanan pulang menuju kampung Gafan kembali mereka tempuh melalui jalan setapak di kebun-kebun yang masih cukup lebat. Pohon-pohon kayu besar yang lebat membuat suasana di sekitar tempat itu lebih cepat gelap daripada tempat lainnya. Apalagi rumah-rumah penduduk masih agak jauh dari tempat itu. Makin lama makin gelap saja kebun-kebun yang mereka lalui karena memang saat itu sudah lewat magrib. Di kejauhan terdengar suara orang berzikir melalui louds speaker masjid. Ini pertanda bahwa shalat magrib baru saja usai. <br />Gafan cs berjalan dengan ekstra hati-hati karena takut terbentur akar kayu yang menonjol ke tengah jalan setapak. Beberapa orang terdengar menghentak-hentakkan kakinya berulang-ulang dengan keras. “Untuk menakut-nakuti ular” dalihnya.<br />Bermacam-macam polah tingkat mereka. Ada yang sambil bernyanyi, ada yang sambil bicara keras-keras dan lain sebagainya. Pokoknya suasana dibikin seramai mungkin. Gafan tersenyum kecil melihat ulah tingkat teman-temannya itu. Ia tahu betul, teman-temannya bikin keramaian di sekitar tempat itu tak lain untuk menghilangkan rasa takut. Lho, kok takut ? Bagaimana ndak takut. Lha, orang-orang kampung Gafan sangat percaya bahwa di sekitar tempat itu banyak makhluk halusnya. Dari makhluk halus yang paling halus sampai yang paling kasar. Dari lelembut yang paling lembut sampai yang lelembut yang sama tidak punya kelembutan.<br />“Katanya di sekitar sini bapak saya dulu pernah ketemu orang tanpa kepala” kata Alie menakut-nakuti, padahal ia sendiri sedang ketakutan.<br />Mendengar hal itu kontan saja teman-temannya yang berada di belakang bergegas jalan ingin di tengah rombongan. Semua berebutan ingin di tengah sampai-sampai pak dukun yang berada di tengah jadi sesak nafas. Meski jumlah mereka 20 orang lebih tapi kalau sudah lewat di tempat itu ciut juga nyali mereka. Karena memang, sejak kecil orang tua mereka selalu memperdengarkan cerita yang serem-serem tentang kawasan perkebunan itu. Ada cerita wanita yang selalu menangis di bawah pohon, ada cerita tentang pocong, ada sapi putih, ada cerita manusia setinggi pohon kelapa yang selalu menghadang dan sebagainya. Pokoknya bermacam-macam dah. <br />Tak heran bila Gafan cs benar-benar tegang lewat di tempat itu. Apalagi saat itu gelapnya bukan main. Yang terlihat hanya jalan setapak saja. Praktis mata mereka hanya tertuju ke bawah, ke jalan setapak. Tak ada yang berani celingak-celinguk kiri kanan karena kiri kanan mereka adalah semak-semak menyeramkan. Beberapa kali terdengar suara burung hantu dan satwa lain yang aneh-aneh. Ini menambah kemerindingan mereka. Suasana perjalanan Gafan cs benar-benar jadi sunyi. Tak ada lagi yang bernyanyi-nyanyi. Termasuk Alie, tidak lagi memperdengarkan ceritanya yang serem-serem, karena ia juga ketakutan membayangkan ceritanya sendiri. Ia terus memepetkan tubuhnya di dekat teman-temannya. Begitu pula sebaliknya dengan teman-temannya termasuk Gafan, pak dukun, Bakos dan sebelas orang pesilat anak buah Mohdan. Mereka berjalan dengan agak tergesa-gesa tanpa basa-basi. Beberapa kali terdengar suara mendesis yang keluar dari mulut teman-teman Gafan. Suara itu terdengar agak gemetar. Rupanya mereka membaca-baca mantera dan doa-doa yang didapat dari kakeknya.<br />Tiba-tiba langkah mereka tertahan. Mohdan yang berjalan paling depan mendadak berhenti. Temannya yang lain juga begitu. Beberapa orang terdengar mengaduh karena kepalanya terantuk dengan kepala temannya yang di depan. Lalu, apa yang terjadi ? Belum sempat mereka bertanya tiba-tiba Mohdan yang jago silat itu menjerit ketakutan seraya melompat lari ke belakang. <br />“Pocooooongg…..” teriaknya histeris seraya berlari terus ke arah semak-semak.<br />Teman-temannya yang lain pada kaget. Dan memang, nampak di depan mereka sesuatu berwarna putih melintang terbujur di tengah jalan setapak. Ukurannya sepanjang badan manusia dan dibungkus kain warna putih. Melihat hal itu sontak mereka pada berlarian ke belakang ke berbagai penjuru. Mereka terpencar ke berbagai arah. Ada yang ke utara, selatan dan timur. Bahkan Alie berlari ke arah sungai. Niatnya mau kembali ke Kampung Seberang Sungai dan nginap di rumah pacarnya. Pendeknya semua berhamburan termasuk para pesilat anak buah Mohdan. Hanya pak dukun saja yang terlihat diam di tempat. Rupanya ia tidak takut sama sekali.<br />Tak lama setelah mereka pada berhamburan kesana kemari, akhirnya mereka terlihat berhamburan juga kembali ke tempat pocong tadi. Rupanya ketika mereka berlari tadi, arah yang mereka tuju tidak jelas. Mereka malah menuju ke semak-semak yang menyeramkan. Itu sebabnya mereka sontak pada kembali sambil tetap menjerit-jerit. Tak lama kemudian mereka pun kumpul seperti sediakala. Pak dukun memerintahkan mereka untuk tidak menjerit-jerit. <br />“Jangan gaduh ! Biar zaya yang khadapi focong ini !” ucapnya penuh percaya diri. Gafan dan teman-temannya langsung terdiam. Mereka berdiri berhimpit-himpitan satu sama lain sekitar lima meter dari pak dukun. Sementara pak dukun sendiri saat itu berdiri sekitar 3 meter dari pocong tersebut.<br />Terlihat dengan jelas pak dukun duduk bersila. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Kemudian tangan kirinya diturunkan perlahan lalu didorongkan ke depan. Setelah itu giliran tangan kanannya diturunkan lalu didorongkan ke depan. Begitu terjadi berulang-ulang. Namun tak menunjukkan hasil sedikitpun. Pocong itu tetap tak bergeming. Lama kelamaan pak dukun agak kelelahan juga turun naikkan tangannya. Beberapa kali desah nafas tuanya terdengar. Bahkan kali ini bukan nafasnya saja yang terdengar melainkan suara mantera-manteranya.<br />“Zinar bumi zinar langit zinar bulan zinar zeminar berzinar-zinar” ucapnya bermantera. “ZZZZZaahhh… huh… huh …” lanjutnya kelelahan. Pocong itu tetap tak bergeming. Pak dukun jadi heran. Padahal untuk ukuran pocong begini ia cukup berpengalaman mengatasinya. <br />Kembali pak dukun mengucapkan mantera serupa, tetap juga tak bergeming. Dengan mantera yang lain juga tak bergeming sedikitpun. Pak dukun jadi frustasi. Beberapa kali mulutnya mengeluarkan suara mendesah seperti mengeluarkan tenaga dalam, namun tetap tak mempan. “Wah, khalah nikh, ilmu zaya. Namfaknya ini adalakh mbahnya focong” katanya dalam hati seraya terus mencoba ilmunya dari tingkat yang rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Setelah yang paling tinggi tidak bisa, kembali lagi ke yang paling rendah. Begitu seterusnya. Lama-lama ilmu yang dipakai tidak beraturan lagi tingkat-tingkatannya. Dari tingkat satu lompat ke tingkat tujuh, kemudian turun ke tingkat tiga lalu naik lagi ke tingkat sembilan. Setelah itu turun lagi ke tingkat enam. Pokoknya kacau dah.<br />Pak dukun benar-benar frustasi. Keringat dalamnya keluar. Ia mulai menggigil. Nampaknya ia mulai ketakutan juga. Mau terus melawan pocong itu, ia sudah mengaku kalah dalam hati. Tapi mau lari, tentu tidak mungkin. Sebab itu nantinya akan membuat kredibilitasnya di mata Gafan cs akan anjlok.<br />Akhirnya di tengah kefrustasiannya itu muncullah kenekadannya. Dengan serta merta pocong yang melintang itu didekatinya dan seketika itu juga ditendang sekeras-kerasnya. Dan apa yang terjadi ? Pak dukun berteriak-teriak kesakitan seraya bersimpuh terduduk di dekat pocong itu. Gafan dan teman-temannya terkejut mendengar jerit melengking pak dukun. Iba juga hati mereka. Mendadak keberanian mereka muncul. Lebih-lebih sebelas orang pesilat itu, tiba-tiba saja jadi geram. Tanpa basa-basi para pesilat itu maju serentak seraya berteriak geram mirip di film laga India. Detik itu juga dari semua penjuru mereka menerjang si pocong. Dan dengan sekuat tenaga mereka membantainya. Ada yang memakai teknik tendangan, ada yang jambakan dan ada pula yang menggunakan pukulan.<br />Tapi apa lagi yang terjadi ? Mendadak mereka juga kesakitan dan mengaduh-aduh seperti pak dukun sebelumnya. Hanya yang menggunakan teknik jambakan saja yang tidak mengaduh-aduh. Ia terlihat terus menjambak kain putih tersebut hingga robek. Dan begitu robek, betapa terkejutnya mereka karena ternyata isi kain putih itu bukan mayat, melainkan……kayu balok. Kontan saja mereka pada tertawa terbahak-bahak melihat kekonyolan yang mereka lakukan itu. Mereka tertawa sambil menggerutu kesal kepada si pembuat ulah tersebut. Mereka semua tahu siapa yang punya perbuatan usil, ya, itu tadi, rombongan suporter yang sudah jalan terdahulu.<br />“Pantas mereka tadi berbisik-bisik,” ujar Alie dengan nada malu-malu plus kesal.<br />Akhirnya perjalanan pun mereka lanjutkan kembali. Kampung mereka sudah tak jauh lagi. Lampu-lampu rumah penduduk nampak sudah kelihatan dari tempat mereka. Mereka-terus berjalan dengan senda gurau kembali. Pada perasaan mereka sebenarnya ada rasa malu juga bila ketemu orang di kampung, karena kesebelasan mereka gagal bertanding. Apalagi kalau ketemu Abah Halil, tentu akan lebih malu lagi. Karena sudah pasti berita ini akan dijadikannya laporan utama gosip di setiap acara kumpul-kumpul kaum tua. <br />Dan memang, begitu sampai di kampung, yang pertama kali terlihat adalah rumah Abah Halil yang nampak ramai. Ternyata malam itu juga Abah Halil langsung mengadakan syukuran besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukur atas kekalahan yang diderita Gafan cs. Lagi-lagi Siaaall. </span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-41828535068475120442009-03-26T03:29:00.000-07:002009-03-26T03:30:35.690-07:00PEMAIN KAMPUNG (10)<span style="font-weight:bold;">Perjalanan menuju lapangan di Kampung Seberang Sungai dilewati melalui kebun-kebun di kampung Gafan. Kampung Seberang Sungai jaraknya hanya 1 km dari kampung Gafan. Kedua kampung tersebut bertetangga dan hanya dibatasi oleh sebuah sungai yang –lumayan- lebar. Lebarnya sekitar 40 meter.</span><span class="fullpost"><br /> Air sungai tersebut di saat-saat hari biasa musim kemarau hanya setinggi satu setengah meter atau setinggi dagu orang dewasa. Namun demikian arusnya sangat pelan. Tapi ketika datang musim hujan tingginya bisa mencapai tiga meter dan arusnya deras. <br /> Dulunya sungai tersebut tidak begitu dalam, malah tingginya hanya sampai lutut. Itu pun airnya mengalir bersih dan bening. Tapi kini sungai tersebut sudah agak keruh, kotor dan airnya tidak mengalir seperti dulu lagi. Penyebabnya adalah karena ulah para kuli pasir yang setiap hari menggali dan terus menggali pasir di dasar sungai. Kalau sudah habis pasir di tempat itu mereka berbondong-bondong mencari pasir ke hulu. Dulunya mereka cukup mengambil pasir ke tengah sungai tanpa bantuan sampan. Tapi karena makin lama sungai makin dalam karena mereka keruk, akhinya mau tak mau kalau akan beroperasi ke tengah sungai mereka harus menggunakan sampan kecil berbentuk persegi empat, mirip bak penampungan pasir. <br />Awalnya hanya satu-dua bak yang ada di sungai itu. Tapi kini jumlahnya lebih dari dua puluh. Semua bak dijejer di kedua sisi pinggir sungai dan ditambat pada kayu-kayu yang ada di sekitar situ. Sebagai kompensasi dari makin dalamnya sungai tersebut, para pemilik bak-bak ini mengijinkan orang-orang yang hendak menyeberang sungai untuk menggunakan bak-bak itu tanpa bayar. Syaratnya, harus dayung sendiri. Nah, ini yang repot. <br />Dayung yang digunakan tidak seperti dayung nelayan di pantai, melainkan dengan menggunakan sebuah bambu sepanjang 4 meter yang ditolakkan ke dasar sungai. Begitu bambu menyentuh dasar sungai, si pendayung ini mendorongnya kuat-kuat sehingga bak itu pun melaju. Tidak sembarang orang bisa mendayung dengan cara ini. Meskipun ia berpengalaman jadi nelayan, tapi untuk mendayung dengan cara seperti itu nampaknya mereka harus belajar lagi. Tak jarang karena tidak tahu metode mendayung, akhirnya bak jadi berputar-putar hingga ke seberang sungai. Ini tentu jadi bahan tertawaan orang yang ada di pinggir sungai. Dan bukan itu saja, tak jarang karena berputar-putar itu, penumpang bak jadi mabuk dan akhirnya muntah begitu sampai di seberang. Malah tidak sedikit penumpang yang bak-nya berputar-putar di tengah, akhirnya memilih untuk terjun saja dan berenang sampai ke seberang. <br /> Para pemain KAMBER dan suporternya yang berjumlah seratusan itu baru saja tiba di pinggir sungai. Mereka terlihat gembira manakala menyaksikan bak-bak yang ada di sungai itu cukup banyak. Ini berarti semua pemain dan suporter nampaknya akan dapat terangkut sekali jalan.<br /> Tanpa basa-basi lagi semua yang ada di pinggir sungai itu langsung menyerbu naik ke bak-bak tersebut. Masing-masing bak berisi 8 hingga 10 orang. Semua penumpang hanya bisa berdiri karena tidak ada tempat duduk. Begitu penuh langsung mereka ambil bambu yang tersedia lalu salah seorang mendorongnya dengan penuh semangat. Beberapa bak sudah berangkat. Terlihat di situ hanya ada satu bak yang melaju lurus yakni bak yang ditumpangi Gafan. Sedangkan beberapa bak lainnya terlihat mulai berputar-putar. Bak yang berputar-putar ini beberapa kali terlihat bertubrukan dengan bak lain yang berputar juga. Walau bertubrukannya pelan, tapi karena penuh oleh penumpang, maka beberapa penumpang yang pada berdiri jadi nyaris nyemplung ke sungai. Adegan-adegan inilah yang membuat suasana sungai jadi ramai. Suara tertawa terdengar hingar bingar. Terlebih lagi ketika bak mereka saling bertubrukan, penumpang masing-masing bak langsung serentak mendorong bak musuhnya dengan kaki. Akibatnya bak tersebut terdorong lagi sambil berputar ke arah berlawanan. Bahkan tak jarang begitu akan berbenturan, mereka saling berusaha menenggelamkan bak lawannya itu. Mereka semua terlihat begitu gembira meski khawatir juga kalau nanti kecebur dan basah.<br /> Sementara itu bak yang ditumpangi Gafan meski berjalan lancar, tapi jadi terganggu juga oleh bak-bak yang berputar itu. Beberapa kali bak Gafan tertabrak. Namun demikian sedikit demi sedikit bak tersebut berjalan juga dengan lurus. Nah ini yang kembali jadi masalah. Karena melihat bak tersebut berjalan lancar, maka penumpang-penumpang bak lain berebutan mendekati bak Gafan. Lalu ketika bak mereka sudah bisa mendekati bak Gafan, langsung saja mereka berebutan naik ke bak tersebut. Alhasil bak Gafan yang sudah kepenuhan itu tambah kepenuhan oleh penumpang-penumpang pindahan tadi. Akibatnya, penumpang asli jadi berteriak-teriak marah karena bak akan karam. Dan memang, tak berapa lama bak tersebut langsung karam. Praktis para penumpang termasuk Gafan pada mencebur ke sungai dan berenang ke seberang.<br /> “Setaaaaaan……..!!”gerutu salah seorang suporter yang basah kuyup. Suporter tersebut adalah suporter yang tadinya berpenampilan paling keren. Suporter itu sejak dari rumah sampai di atas bak tidak pernah mau buka kaca mata hitamnya. Namun karena kecebur itu maka kaca mata hitamnya pun langsung tenggelam. Beberapa kali ia coba menyelam mencari tapi tak ketemu-ketemu. Sedangkan penumpang lainnya baik yang sedang berenang maupun yang masih di atas bak terdengar tertawa kegirangan meski basah kuyup.<br /> Yang lebih jahil lagi, sebagian suporter yang kecebur tadi langsung pada berenang mengerubuti bak-bak yang belum tenggelam. Tujuannya bukan untuk menumpang, melainkan menggoyang-goyang bak tersebut dari bawah agar bisa sama-sama tercebur dan basah. Dan memang, semua penumpangnya harus rela tercebur. Bahkan ada beberapa bak yang langsung saja dibalik tanpa digoyang-goyang dulu. Akibatnya semua nyungsep dan basah kuyup.<br /> Tapi nun jauh di seberang, di tempat start, ternyata ada satu bak yang belum berangkat. Di bak tersebut nampak Ihsan, Bakos dan pak dukun. Tampak ketiganya sedang bersitegang. Bakos kelihatan diomeli oleh Ihsan dan pak dukun. Ihsan memerintahkan Bakos untuk tidak ikut numpang di bak itu, karena bak tersebut adalah bak khusus untuk pak dukun. Jadi, tidak boleh campur dengan orang lain.<br /> “Ini bak kelas vip. Jadi tolong cari bak lain saja !” bentak Ihsan.<br /> “Mau pakai bak mana ? Semua sudah karam. Pokoknya saya numpang di sini saja !” ketus Bakos seraya langsung berdiri di tengah bak.<br /> “Koz, zangan numfang di zini, nanti biza zial zihir zaya” ujar pak dukun yang duduk di moncong bak. Tapi Bakos tidak peduli, langsung saja ia ambil inisiatip mendayung dengan bambu panjang. Bambu itu ditolakkan di dasar sungai dengan sekuat tenaga. Bak itu pun kemudian berjalan perlahan. Tapi baru tiga meter melaju, bak tersebut mulai berputar kekiri. Bakos berusaha memutar haluan, tapi bak tersebut mutar lagi ke kanan. Jadi, kiri kanan oke, mirip jalannya ular kekenyangan. Beberapa kali pak dukun akan terjungkal karena perubahan perputaran mendadak itu, termasuk juga Ihsan ia hampir kecebur. Akhirnya Ihsan tak dapat menahan rasa jengkelnya. Dan tanpa basa-basi lagi seketika itu juga Bakos didorongnya kuat-kuat hingga kecebur ke sungai. Dayung bambu panjang yang ada di tangan Bakos ikut kecebur juga dan terlihat mulai hanyut. Ihsan jadi tambah bingung.<br /> “Wadduh, tolong Kos, ambilkan bambu itu” pinta Ihsan. Tentu saja hal itu ditolak Bakos. Malah Bakos mulai menggoyang-goyang bak tersebut yang membuat pak dukun ketakutan. Melihat ancaman itu, Ihsan langsung menendang Bakos, namun tidak kena. Bakos segera menghindar dan berenang ke seberang menyusul kawan-kawannya. Kini tinggallah bak pak dukun dan Ihsan yang berada tepat di tengah sungai tanpa dayung. Maju tak bisa, mundur tak bisa. Ihsan dan pak dukun terlihat kebingungan. Beberapa kali ia minta bantuan teman-temannya yang ada di seberang namun tak ada yang menggubris. Terdengar suara Ihsan mengumpat-umpat.<br /> “Dayung fakai tangan zaja Zan” kata pak dukun. Ihsan menurutinya. Ia coba mendayung dengan tangan tapi tak membuahkan hasil. “Ayo, lebih berzemangat lagi !” kata pak dukun tanpa mau membantu mendayung. <br /> “Pak dukun juga tolong dong mendayung”<br /> “Zaya tidak bolekh khena air. Ilmu zaya biza ruzak” jawabnya berkelit. Ihsan jadi kelihatan jengkel.<br /> Sementara itu sedikit demi sedikit bak tersebut mulai terbawa arus sungai. Walaupun arusnya perlahan, tapi terus saja menyeret bak tersebut. Ihsan dan pak dukun tambah kebingungan, sedangkan teman-temannya di seberang tertawa terbahak-bahak. Malah kini berangsur-angsur mereka mulai terlihat meninggalkan tempat itu untuk segera menuju ke Kampung Seberang Sungai.<br /> Ihsan tambah bingung, begitu juga pak dukun. “Ayo dayung, zomfret” bentaknya pada Ihsan. Tentu saja Ihsan tambah jengkel. Apalagi kini bak tersebut mulai menuju ke bagian sungai yang lebih dalam dan menyeramkan. Konon di bagian itu sering minta korban nyawa karena ada jinnya. Akhirnya tanpa basa-basi lagi langsung saja Ihsan nyebur ke sungai dan berenang ke seberang meninggalkan pak dukun seorang diri. Tak terkira takutnya pak dukun. Terdengar teriakannya minta tolong dan mencaci-maki Ihsan maupun semua suporter yang telah meninggalkannya. Ihsan terus saja berenang hingga akhirnya ia sampai di seberang. Setelah naik ke darat, Ihsan lansung melambaikan tangan kepada pak dukun.<br /> “Dag…. Good bye” ucapnya seraya langsung ngeloyor hendak mengejar teman-temannya.<br /> Melihat hal itu maka tak ada cara lain bagi pak dukun. Baknya makin lama makin ke hilir dan ke bagian sungai yang sering menelan korban. Akhirnya karena ketakutan, ia pun nyebur juga ke sungai dan dengan tertatih-tatih ia berenang. Nafasnya terdengar ngos-ngosan, lidahnya kelihatan terjulur. Beberapa kali air sungai masuk ke mulutnya. Dan malah beberapa daun-daunan yang hanyut terlihat nyangkut di ikat kepalanya. Namun ia tidak peduli, terus saja ia berenang dengan kepala penuh dedaunan mirip tentara di-kamuflase. <br />Entah sudah berapa macam gaya renang yang dipakai oleh pak dukun. Mulai dari gaya katak, gaya kecebong, gaya kupu-kupu sampai dengan gaya buaya. Mulai dari gaya tengadah, tengkurep, gaya menyelam sampai dengan gaya yang benar-benar membuat dia tenggelam. Terakhir kali ia coba menggunakan gaya tengadah sambil kaki tangan digerakkan perlahan. Dari mulutnya sesekali muncrat air yang sengaja disemprotkan tinggi-tinggi ke atas. Ini menurut pak dukun adalah renang gaya baru, yakni gaya ikan paus. Beberapa kali ia terlihat menyemprotkan air mirip ikan paus. Namun lama-kelamaan ia terlihat tidak bisa nyemprot-nyemprot lagi karena memang mulutnya penuh kemasukan air.<br />Akhirnya dengan perjuangan yang teramat berat, sampai juga pak dukun ke pinggir sungai. Di pinggir sungai pak dukun langsung menghempaskan badan dan tidur tengadah mengatur nafas. Zimat-zimat dan “zamfi-zamfi” yang ada di kantong bajunya habis basah kuyup semua. “Baru fertama khali ini akhu zial” gerutunya sambil meraba perutnya yang kembung karena banyak kemasukan air. <br /> Sementara itu para pemain KAMBER saat itu sudah jauh meninggalkan sungai. Hampir semua pemain berjalan tanpa baju. Mereka terlihat berjalan sambil memelintir kostumnya untuk memeras airnya. Tak satu pun yang terlihat menyesali kejadian di sungai tadi. Malah mereka terlihat gembira sambil cekikikan bila mengingat-ingat saat mereka tadi nyemplung di sungai. Tampak di belakang Ihsan berlari-lari kecil mengejar teman-temannya.<br /> “Mana pak dukun” tanya Gafan ketika Ihsan sudah bergabung dengan teman-temannya.<br /> “Hanyut barangkali. Soalnya tadi saya tinggalkan di atas sampan” jawab Ihsan sambil membuka kaosnya kemudian memelintirnya.<br /> Gafan terkesima sejenak. Semula ia hendak mengajak teman-temannya untuk membantu pak dukun. Gafan khawatir dengan nasib pak dukun karena sungai yang dilaluinya bukan sembarang sungai. Sungai tersebut meski tidak dalam dan ganas tapi pernah juga makan korban. “Kamu yang bener dong, ini menyangkut nyawa orang” kata Gafan sembari hendak kembali ke sungai.<br /> “Ah, sudahlah. Pak dukun kan orang sakti. Masak sama air sungai saja kalah” jawab Ihsan sambil segera menarik tangan Gafan. Begitu pula dengan teman-teman yang lain nampaknya tidak begitu tertarik untuk mengetahui nasib terakhir pak dukun.<br /> Mereka terus saja berjalan melalui pematang-pematang sawah. Sesekali tangan mereka jahil memetik kacang panjang yang kebetulan sedang berbuah lebat. Kacang panjang itu pun dimakan sambil jalan. Mula-mula satu dua orang yang memetik. Namun lama kelamaan semua pemain ikut-ikutan memetik kacang panjang di sepanjang pematang. Tidak terkecuali Gafan, ternyata ikutan juga. Begitu juga Bakos tidak ketinggalan. Malah ia kini terlihat berjalan ke bagian tengah sawah. Dia melihat kacang panjang di bagian tengah sawah lebih ranum dan hijau. Begitu melihat Bakos berjalan ke tengah sawah, teman yang lain pun ikutan ke tengah. Mereka menginjak-injak tanaman kacang panjang yang dilaluinya. Akibatnya ramailah sawah tersebut dengan para pemain KAMBER dan suporternya. Entah berapa besar kerugian pemilik sawah akibat kacang panjangnya dijarah dan diinjak-injak. <br />Tidak sampai di situ, malah kini mereka ekspansi ke sawah sebelahnya yang berisikan tanaman jagung. Terdengar beberapa kali suara jagung yang dipatahkan. “Ini untuk dibakar nanti malam guna merayakan kemenangan” ucap seorang suporter dengan lantang. Teman-temannya yang lain pun kemudian ikutan pula memetik jagung, mirip panen raya. Namun tiba-tiba dari kejauhan terdengar orang berteriak dengan marahnya. Kelihatan ia berlari mengejar para “penjarah” itu dengan parang terhunus.<br />“Setaaaaaaaan…….maliiing…..awaas !!” teriaknya marah.<br />Melihat hal itu tak terkira kaget Gafan dan teman-temannya. Seketika itu juga mereka berhamburan berlarian sekencang-kencangnya. Dan tentu saja karena kacau balaunya mereka berlari maka makin kacau balau pula tanaman jagung maupun kacang panjang yang ada di situ. Ada pohon yang terinjak, tertabrak maupun tertindih oleh tubuh-tubuh yang jatuh. Mereka terus berlari melalui sawah-sawah yang lainnya. Tak ada yang berlari melalui pematang karena bisa-bisa terjatuh. Dan hampir semua pemain dan suporter KAMBER yang berjumlah seratusan itu berlari ke arah yang sama. Sehingga nampaknya mereka dari kejauhan seperti sedang lomba lari marathon di tengah sawah. Akibatnya semua sawah yang dilewati kacau balau seketika. Tanaman jagung, kacang, kedelai dan kacang panjang penduduk jadi habis terinjak-injak. Belasan petak sawah yang mereka lalui kacau balau semua.<br /> Makin lama yang mengejar mereka makin banyak. Para pengejar berasal dari pemilik tanah yang berbeda yang tentunya tanah mereka terinjak-injak. Jumlahnya kini lebih sebelas orang. Semua bawa parang. Para pemain dan suporter KAMBER makin ketakutan. Tiap mereka lari melewati sawah lain, maka pemilik sawah tersebut dengan serta merta ikut-ikutan mengejar. Tak terkira kencangnya lari rombongan KAMBER. Bahkan sebelas orang pesilat berpakaian hitam-hitam itupun terlihat lari ketakutan juga. Malah larinya paling kencang.<br /> “Hey pesilat, kamu balik sana ! Hadapi mereka, koq ikutan lari?!” teriak Bakos sambil terengah-engah dan terus berlari.<br /> “Sorry Kos, ilmu silat kami belum sampai bab main parang” jawab salah seorang pesilat itu sambil terus meningkatkan kecepatan larinya.<br />Akhirnya saat itu juga Gafan memerintahkan teman-temannya untuk lari lewat jalan desa yang ada di pinggir sawah. Ajakan ini pun langsung dituruti. Semua “peserta lari” belok kiri menuju jalan kecil yang ada di situ. Mereka terus berlari. Dan memang setelah berlari lewat jalan itu para pengejar tidak makin bertambah seperti sebelumnya. Malah kini pengejar terdahulu kelihatan berkurang karena keburu ngos-ngosan. Maklum para pemilik sawah tersebut semuanya manusia usia lanjut.<br /> Setelah agak jauh dan dirasa tak ada lagi yang mengejar mereka, maka rombongan KAMBER itupun berjalan biasa lagi seperti sediakala. Dan seperti biasa pula mereka cekikikan lagi meskipun tadi telah diliputi ketegangan. Beberapa suporter dan pemain KAMBER malah kini tampak mengeluarkan hasil “jarahannya” dari dalam bajunya. Mereka terlihat tertawa-tawa sambil membandingkan hasil jarahannya dengan jarahan temannya yang lain. Sambil terus berjalan mereka memakan jarahan tersebut. Yang dimakan mentah hanya kacang panjang dan kacang tanah saja. Sedangkan jagung tetap disimpan untuk nanti malam.<br /> Perjalanan mereka tinggal seratus meter lagi. Kampung Seberang Sungai yang berada di kejauhan sudah mulai kelihatan. Apalagi lapangan bolanya, meski letaknya berada agak di dalam, namun terlihat sangat jelas. Para pemain KAMBER dan suporternya makin mempercepat langkahnya. Mata mereka semua tertuju pada lapangan itu saja. Para pemain KAMBER sudah tidak sabar lagi ingin menunjukkan kebolehan mereka bermain. Mereka tidak sabar lagi untuk menghabisi lawan-lawannya. Mereka betul-betul optimis akan menang, bila perlu menang telak. Apalagi lawan yang akan mereka hadapi adalah lawan yang enteng dan boleh dipandang sebelah mata. <br />“Pokoknya pasti kita menang” ujar Alie dengan lantang. Kemudian sambil terus berjalan ia pun kembali mengingatkan berbagai taktik dan strategi bermain yang harus dilakukan. Kata-katanya sama dengan waktu memberikan penjelasan di rumah Gafan tadi.<br />“Kan itu sudah dijelaskan semua” ujar Bakos dengan nada bosan.<br /> “Ini namanya penyegaran, tahu ! Harus disegarkan lagi supaya tidak lupa !” ucap Alie jengkel seraya memelototi Bakos. Sedangkan Bakos sendiri langsung tidak bereaksi. Bukannya karena tidak berani, namun karena tidak ingin bersengketa dengan Alie saat itu. Ia tidak mau hanya karena gara-gara bersengketa dengan Alie lalu tidak diturunkan jadi pemain inti. Dan memang hampir semua pemain KAMBER tidak ada yang berani protes pada Alie. “Sekali lagi kamu protes, bersiaplah jadi pemain cadangan !” ancamnya. Dan memang ancaman ini manjur juga.<br /> Makin lama makin dekat juga lapangan yang dituju. Penonton yang ada di situ juga makin jelas kelihatan. Hanya saja yang mengherankan sejumlah penonton terlihat hilir mudik, datang ke lapangan, lihat-lihat sebentar, lalu balik dan pulang lagi. Hampir semua yang datang ke lapangan itu hanya mampir sebentar, lalu balik lagi, pulang. Nah, ini yang membuat para pemain dan suporter KAMBER penasaran.<br /> Jangan-jangan ada masalah lagi kata Gafan dalam hati. Bakos dan Alie juga nampaknya berperasaan serupa. Mereka bertiga hanya bisa diam dan saling pandang. Namun rombongan KAMBER ini terus saja berjalan. Saat itu mereka berpapasan dengan seorang penonton yang rupanya baru balik dari lapangan.<br /> “Kenapa kembali pak ?” tanya Gafan.<br /> “Kamu lihat saja sana di lapangan” ujar bapak tersebut seraya terus ngeloyor.<br /> Para pemain dan suporter KAMBER jadi tambah penasaran. Mereka terus saja berjalan dengan cepatnya. Untuk memperpendek jarak, mereka ambil jalan pintas melalui rumah-rumah penduduk. Mereka sudah tahu betul jalan di kampung itu. Nantinya mereka akan tiba di sebuah gang, kemudian di ujung gang ada tikungan. Nah, di tikungan itulah letak lapangannya. <br /> Gafan cs terus saja berjalan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, sepi. Beberapa penduduk kampung Seberang Sungai yang mereka temui di jalan terlihat menertawakan mereka. Para penduduk tersebut sepertinya tertawa sambil mengolok-olok. Bahkan ada yang sampai tertawa terbahak-bahak, sepertinya ada hal yang lucu. Gafan cs tidak menghiraukannya. Mereka terus saja berjalan. Begitu pula para suporternya. Dan begitu tiba di ujung gang, Gafan cs langsung belok kiri dan……………………..tak terkira terkejut hatinya.<br /> Lapangan bola berupa sawah tersebut mendadak penuh dengan air setinggi betis, mirip ketika musim tanam padi. Padahal saat itu musim kemarau panjang. Entah dari mana air itu datang. Malah di beberapa bagian tengah lapangan terlihat pohon-pohon pisang tertancap.<br /> “Kok bisa jadi begini ?” kata Gafan kesal.<br /> “Kami mau tanam padi” ujar seseorang tinggi besar dengan nada ketus. Rupanya ia kepala dusun setempat. <br />“Tapi, ini kan musim kemarau. Dan lagi, sawah ini sekarang kan dipakai untuk lapangan bola” protes Gafan.<br /> “Ini adalah kebijakan saya selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dusun ini” ujarnya dengan nada sombong. “Dan kebijakan ini sudah disetujui oleh semua penduduk di sini, ya kan ?!” lanjutnya seraya minta persetujuan penduduk yang mengelilinginya. Kontan saja semua penduduk berteriak menyetujuinya. Mereka berteriak setuju sambil tertawa-tawa. Akibatnya Gafan tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa tunggu lebih lama lagi langsung saja ia mengajak teman-temannya untuk pulang. Betapa kesal hati mereka. Rupanya penduduk Kampung Seberang Sungai sengaja melakukan hal itu. Mereka rupanya menginginkan kompetisi Sapi Cup itu bubar saja karena kedua tim tuan rumah yakni macan kuning dan macan kumbang sudah kalah duluan. <br />Tak terkira dongkol hati Gafan cs. Terus saja mereka berjalan pulang. Terdengar suara penduduk setempat menertawakan mereka. Malah tiba-tiba seorang ibu judes memegang sapu ijuk terlihat mengejar rombongan Gafan cs. Ibu judes tersebut langsung menyeruak ke dalam rombongan itu. Semua pemain dan suporter KAMBER terkesima. Dan detik itu juga gagang sapu dari bambu itu langsung mendarat ke kepala Bakos dengan telaknya. Kepala Bakos yang botak itu benjol seketika. Bakos jadi terheran-heran. Belum sempat ia bertanya, si ibu kembali melayangkan gagang sapu ke punggungnya. <br />“Kamu ‘kan kemarin yang habisi buah jambu saya” ucap si ibu sambil kembali menghadiahkan Bakos pukulan. <br />Detik itu juga Bakos langsung melejit berlari sekuat tenaga. Akibatnya pukulan si ibu judes meleset mengenai kening Alie. Tidak sampai di situ, pemain yang lain pun ikut jadi sasaran. Dan akhirnya semuanya pada berlarian. Mereka berlari sambil menyoraki si ibu maupun penduduk setempat. Para penduduk pun menyoraki mereka pula. Maka terjadilah saling sorak menyoraki. Dan sudah barang tentu sambil saling sumpah menyumpah. Hampir seluruh satwa isi kebun binatang disebut-sebut untuk saling menyumpahi.<br />Lama kelamaan kedua belah pihak terlihat mulai saling lempar. Mula-mula dengan batu kerikil kecil, tapi lama kelamaan batu yang dipakai melempar semakin besar. Bahkan para pesilat yang berpakaian serba hitam itu berkali-kali melempar penduduk dengan potongan bata. Bukan itu saja, mereka tidak hanya melempar penduduk tapi juga atap rumah penduduk. Akibatnya beberapa kali terdengar suara atap pecah dan isi rumah berantakan. Tidak sampai di situ, para pesilat ini juga menantang para penduduk yang ada di situ. Dan memang tanpa diduga-duga, tiba-tiba saja penduduk melakukan pengejaran. Ternyata jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang terlihat sebelumnya. Hampir seisi kampung keluar. <br />Melihat gelagat tidak baik itu kontan saja rombongan KAMBER melarikan diri, tak terkecuali para pesilat tersebut. <br />“Kenapa lari, hadapi sana ! Masak pesilat lari” kata Bakos jengkel sambil masih terus berlari.<br />“Sorry Kos, ilmu silat kami belum sampai bab dikeroyok orang sekampung” jawab salah seorang dari mereka berdalih dan seperti sebelumnya sambil meningkatkan kecepatan larinya.<br /> Dari kejauhan rombongan “pelari” itu nampak mirip peserta lomba lari marathon 10 K. Lari mereka tidak terpencar-pencar. Entah siapa yang mengkoordinirnya. Yang jelas mereka saat itu berlari tidak melalui jalan kampung melainkan melalui sawah-sawah yang penuh tanaman palawija. Dan tentu saja palawija penduduk itu langsung kacau balau begitu dilewati oleh “peserta lari” tersebut. Ratusan tanaman jagung yang tadinya berdiri tegak, langsung roboh seketika begitu dilewati rombongan KAMBER. Bila diperhatikan dari jauh, tanaman tersebut mirip sedang di-buldozer.<br /> Melihat tanamannya dirusak oleh “peserta lari” tersebut, tak terkira marah para pemilik sawah. Mereka akhirnya bergabung bersama para penduduk Kampung Seberang Sungai untuk melakukan pengejaran. Jumlah mereka lebih dua ratusan. Hanya saja mereka melakukan pengejaran tidak lewat tengah sawah, melainkan jalan kampung. Terlihat asap mengepul di sepanjang jalan tanah tersebut. Antara pihak yang dikejar dengan pengejarnya hanya berselang jarak 200 meter. <br /> Sementara itu begitu melihat dirinya dikejar, para pemain KAMBER dan suporternya makin mempercepat larinya. Tampak sebelas orang berbaju hitam-hitam berlari dengan kecangnya di deretan paling depan. Mereka rupanya para pesilat anak buah Mohdan. Sedangkan pemain KAMBER dan suporter lainnya mengikuti di belakang. Begitu pula dengan salah seorang suporter yang paling keren terlihat tertatih-tatih berlari. Apalagi tiap meloncati parit kecil, dia yang paling kerepotan. Lha, bagaimana ndak repot, karena celana jeans yang dipakainya sangat ketat. Ditambah lagi saat itu ia pakai sepatu vantopel, maka makin sempurnalah kerepotannya. Di antara “peserta lari” dialah yang paling belakang.<br /> Makin lama makin kencang saja lari kedua belah pihak. Para pengejar terus saja mengejar. Rupanya mereka teramat marah karena suporter dan pemain KAMBER telah merusak-rusak sawah penduduk yang berada di daerah teritorial Kampung Seberang Sungai. Sementara itu pihak yang dikejar terus saja berlari. Mereka berlari menuju ke arah sungai yang tadi mereka seberangi. Dan begitu sampai di sungai, tapa basa-basi langsung mereka nyebur dan berenang sekuat tenaga. Tak terkira cepat mereka berenang, mungkin karena pengaruh ketakutan. Hampir tak terdengar suara tawa ataupun celoteh mereka saat itu. Semua berusaha menyelamatkan diri. Walhasil sungai tersebut terlihat ramai karena lebih seratus orang yang balapan berenang.<br /> Pak dukun yang saat itu masih tidur tengadah kelelahan di pinggir sungai jadi terheran-heran melihat adegan tersebut. Baru saja ia hendak bangkit tiba-tiba seseorang suporter KAMBER yang sedang berlari hampir menginjak dadanya. Rupanya remaja keren bercelana jeans yang masih ketinggalan sendiri. “Sorry, saya kira kayu balok” ujarnya terengah-engah. Si remaja keren ini langsung nyebur ke sungai dan berenang sekuat tenaga. Pak dukun makin heran. Ia bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi. Tampak di seberang sungai Gafan yang baru saja mendarat melambai-lambaikan tangannya memanggil pak dukun.”Cepet berenang” teriak Gafan.<br /> “Ada apa ?” tanya pak dukun dengan suara sayup-sayup.<br /> “Pokoknya cepet berenang kemari” kata Gafan sambil melambaikan tangannya. Semua pemain dan suporter KAMBER terlihat ikut melambaikan tangan menyuruh pak dukun berenang. Hanya Bakos saja yang terlihat melambaikan tangan menyuruh pak dukun diam di tempat. Pak dukun jadi bingung, apalagi saat itu ia baru saja pulih dari kelelahannya berenang. Di saat kebingungan itu mendadak sekitar lima puluh meter di belakangnya ratusan orang terlihat mengejar-ngejar dengan garang. Melihat hal itu barulah pak dukun mengerti apa yang terjadi. Pak dukun rupanya tak mau ambil resiko diamuk massa. Ia pun dengan terpaksa kembali nyebur ke sungai langsung menyelam dan ……hilang.<br /> Para pengejar tiba di pinggir sungai ketika baru saja pak dukun hilang dari pandangan. Mereka rupanya hanya mau mengejar sampai di situ. Entah karena enggan mengarungi sungai atau karena merasa bahwa seberang sungai bukan merupakan daerah mereka lagi. Mereka hanya berdiri di pinggir sungai seraya mengucapkan kata-kata caci-maki dan sumpah serapah. Para suporter KAMBER pun demikian juga. Mereka saling caci. Dan kembali, hampir semua satwa isi kebun binatang disebut-sebut untuk saling mencaci.<br /> Lama kelamaan para pengejar tersebut bosan juga saling caci. Akhirnya atas instruksi kepala dusunnya mereka kembali ke kampungnya. Namun sebelum itu salah seorang dari mereka sempat juga menebar ancaman, khususnya kepada Alie, sang menejer. <br />“Awas kamu ! Jangan harap bisa ngapel lagi ke rumah si Juleha” ancamnya dari kejauhan.<br />Alie hanya garuk-garuk kepala. Rupanya di Kampung Seberang Sungai ia punya pacar bernama Juleha. Dan dengan peristiwa Kamis kelabu itu, nampaknya hubungannya pun bakal terganggu. “Sial…..,” gumannya seraya memandangi para penduduk Seberang Sungai yang sudah mulai pergi. Alie pun kemudian mengajak teman-temannya untuk pulang, namun segera dicegah oleh Ihsan.</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-52198935472720375792009-03-26T03:28:00.000-07:002009-03-26T03:29:25.052-07:00PEMAIN KAMPUNG (9)<span style="font-weight:bold;">Gafan cs sedang “briefing” dengan anak buahnya di dalam kamarnya yang sempit dan rada pengap. Semua duduk bersila sangat rapat, mirip pengajian pak Ustads. Antara satu dengan lainnya duduk berjejalan.</span> <span class="fullpost"><br /> Gafan menurunkan papan whiteboard untuk menulis posisi-posisi pemain dalam pertandingan nanti. Teman-temannya yang lain hanya melongo melihat Gafan menjelaskan taktik dan strategi. Apalagi tatkala Alie yang menjelaskan tentang berbagai taktik dengan menggunakan bahasa ilmiah populer, makin berkernyit-kernyitlah dahi teman-temannya. Namun saat seru-serunya briefing, tiba-tiba datang Ihsan. Ia langsung saja masuk nyelonong menyeruak seenaknya. Terdengar umpatan Bakos yang terinjak pahanya. Ikhsan terus saja menyeruak teman-temannya yang duduk. Langkahnya sempat tertahan oleh Mohdan yang lagi duduk tepekur.<br /> “Minggir !!” bentaknya seraya dengkulnya menohok kepala Mohdan. Beberapa temannya yang lain juga ikutan terkena dengkul Ikhsan yang rada-rada tajam.<br /> Sementara itu Gafan hanya bisa melongo, menanti apa yang akan diperbuat Ikhsan selanjutnya. Ternyata Ikhsan saat itu mendekatinya. Rupanya ada sesuatu hal penting yang akan disampaikan. Begitu sampai di dekat Gafan, langsung saja Ikhsan membisikkan sesuatu sambil nunjuk-nunjuk keluar. Gafan kemudian melongokkan kepala ke arah halaman rumahnya. Teman-temannya yang lain pada ikutan menoleh mengikuti arah pandangan Gafan. Tampak di halaman rumah Gafan berdiri lelaki berusia sekitar 50 tahun menggunakan pakaian serba hitam-hitam, mirip tokoh aliran kebathinan. Baju hitam, celana hitam dan ikat kepala berwarna hitam dari kain batik yang dililit. Pendeknya semuanya hitam, termasuk kulitnya juga hitam. Hanya giginya yang agak coklat. Kedua tangan “orang hitam” itu bersedekap di dada. Orang itu juga kebetulan sedang melihat aktifitas Gafan dan kawan-kawannya. Begitu tahu dirinya diperhatikan, langsung saja ia menghadap ke arah lain. Kepalanya tengadah menghadap ke atas pohon kelapa sambil matanya terpejam. Beberapa kali mulutnya terlihat komat-kamit.<br /> “Siapa itu ?” tanya Bakos pada Ikhsan.<br /> “Dia dukun kita yang baru” jawab Ikhsan. “Pokoknya dijamin top. Dijamin gawang akan tetap aman” lanjutnya sembari menoleh ke arah Gafan. Gafan hanya diam saja, tak berkomentar. Ikhsan terus saja berceloteh menjelaskan keahlian dukun pilihannya itu. Katanya, dukun tersebut sudah berpengalaman “menangani” tim-tim yang bertanding di even-even besar. <br /> “Lalu, berapa bayarannya ?” tanya Mohdan.<br /> “Jangan khawatir, tarifnya bisa miring. Cuma syaratnya sekarang harus sediakan kemenyan Arab, beras, sirih, kapas dan jarum.”<br /> “Jarum ? Maksudnya rokok jarum ?” tanya Bakos.<br /> “Jarum jahit, goblok !!” bentak Ikhsan. <br /> “Untuk apa ?”<br /> “Yaa…, untuk syarat-syarat !! Udah, jangan banyak tanya, carikan saja,” ucap Ikhsan jengkel.<br /> “Suruh masuk dong, dukunnya,” pinta Gafan.<br /> Ikhsan pun kemudian memanggil dukun tersebut dan mengajaknya masuk. Dengan malu-malu pak dukun masuk ke kamar Gafan.<br /> Pak dukun menganggukkan kepala kepada Gafan dan teman-temannya. Gafan balas menganggukkan kepala, begitu pula yang lain. Hanya Bakos saja yang menganggukkan dengkul karena kepalanya masih kesakitan ditonjok dengkul Ihsan tadi.<br /> “Mari masuk pak” kata Gafan. “Duduk di sini” ajak Gafan sambil menyediakan tempat di dekatnya.<br /> “Terima kazikh ” jawabnya.<br /> Bahasa wak dukun terbilang aneh. Ia tidak fasih menyebut huruf s, k dan p. Huruf s diucapkan dengan z, huruf k diucapkan dengan kh, dan p dengan f. Konon menurut Ihsan, semua itu karena pak dukun kelewat sering baca jampi-jampi yang berasal dari berbagai bahasa, baik bahasa Arab maupun Sansekerta.<br /> “Rufanya kekhadiran zaya mengganggu khalian” ujarnya basa-basi.<br /> “Tidakh afa-afa fak dukhun” celetuk Bakos meniru lafaz pak dukun yang membuat seisi ruangan cekikikan, termasuk pak dukun sendiri.<br /> “Kafan khalian akhan bertanding ?”<br /> “Mungkhin nanti zore di zeberang zungai” jawab Bakos lagi. Kembali seisi ruangan pada tertawa termasuk pak dukun sendiri. Tertawa pak dukun terdengar aneh.<br /> “Khi…khi…khi….khalian memang lucu. Zama zeferti khefonakhan zaya. Bezarnya fun zama zeferti khalian. Wazahnya mirif zama khamu” ujarnya sambil menunjuk Bakos.<br /> “Ziafa nama khamu ?” tanyanya pada Bakos.<br /> “Bakooozzz…” jawab Bakos dengan nada mengolok.<br /> “Ooo… Bakoz. Kefalamu botakh mirif fonakhan zaya. Ferutnya juga gemukh zeferti khamu. Wajahnya tamfan zeferti khamu”<br /> Dikatakan tampan begitu hidung Bakos kembang kempis. Diusap-usapnya kepala botaknya. Ia celingak-celinguk kiri kanan minta persetujuan teman-temannya mengenai prihal ketampanan tersebut.<br /> “Hanya zaja…” lanjut pak dukun yang membuat Bakos kaget. “Zekarang dia zudah mati. Dia mati kharena ferutnya khegemukhan” <br /> Kontan saja Bakos jadi jengkel mendengar hal itu. “Zudahlah, zangan bizara zaja. Nanti zaya tuzuk ferut fak dukhun dengan fizau lifat” ujar Bakos geram.<br /> Melihat suasana agak memanas, langsung Gafan menengahi, meski sambil tertawa. “Sekarang Pak Dukun perlu apa saja untuk syarat-syaratnya”<br /> “Zaya ferlu kafur baruz, beraz, kain futih, khemenyan araf, zirih dan jarum fentul” jawab pak dukun.<br /> Gafan melongo sesaat. Dia menoleh pada Ihsan. Rupanya Ihsan mengerti maksud Gafan. Segera saja ia beranjak meninggalkan teman-temannya untuk mencari keperluan pak dukun.<br /> Sementara menunggu Ihsan, Gafan kembali mengajak teman-temannya memperhatikan papan whiteboard yang berisi posisi-posisi para pemain. Semua pemain memperhatikan dengan serius, entah mengerti entah tidak. <br /> “Ada pertanyaan ?” tanya Gafan ketika hendak mengakhiri “presentasinya”. Tak satupun temannya yang menjawab. Semua diam membisu. Gafan jadi bingung, karena ini bisa berarti mereka sudah mengerti, atau bisa juga sebaliknya sama sekali tidak ngerti. “Yang bego’ saya atau mereka ?” kata Gafan dalam hati.<br /> “Zaya ada uzul dan zaran” kata pak dukun tiba-tiba. Semua mata menoleh kepadanya.<br /> “Silahkan !” jawab Gafan.<br /> “Khalau nanti khalian mazuk lafangan, haruz lewat zelatan. Lalu filih gawang di zebelah timur. Khemudian zalan berfutar khelilingi gawang zembilan khali.”<br /> “Wah, kayak mau tawaf saja, pakai berputar-putar segala” jawab Bakos.<br /> “Khamu zangan banyakh bazot, nanti zaya temfiling” jawab pak dukun geram. “Dan khalau biza, Bakoz zangan ikhut main, dia fembawa zial” lanjutnya.<br /> Mendengar hal itu tentu saja Bakos jadi jengkel bukan kepalang. Hampir saja Bakos mendekati pak dukun untuk mencekiknya. Tapi segera tangannya ditarik oleh Mohdan. Begitu pula Gafan merasa tidak enak dengan ulah Bakos. Akhirnya Gafan menyuruh Bakos untuk keluar saja.<br /> “Mandi dulu sana, kamu kan habis cukur !” kata Gafan. Bakos pun menurutinya. Tapi sambil berjalan keluar terdengar beberapa kali ia menggerundel. “Dazar…dukhun falzu. Dukhun Zetan”. <br /> Tak lama berselang datanglah Ihsan membawa sebuah baskom kecil ditutupi kain putih. “Mari Pak dukun, di kamar sini saja” kata Ihsan mengajak pak dukun menuju kamar sebelah. <br /> Pak dukun beranjak dari tempat duduknya. “Zaya finjam khamarnya zebentar. Untukh zamfi-zamfi” ujarnya kepada Gafan. Gafan pun mempersilahkannya. Setelah itu tak diketahui lagi apa aktifitas selanjutnya antara pak dukun dengan Ihsan di dalam kamar. Hanya saja yang mulai terasa adalah aroma dupa yang dibakar.<br /><br />Usai Shalat Ashar……………<br /> Semua pemain saat itu sudah berkumpul di posko kesebelasan, di rumah Gafan. Sebentar lagi mereka segera berangkat. Segala sesuatu sudah dipersiapkan dengan matang. Bakos terlihat membagi-bagikan kostum kepada para pemainnya yang kemudian langsung mereka pakai. Kostum dari kaos golkar yang di-wantex itu kelihatan sudah mulai memudar warna wantex-nya. Malah ada yang sudah terlihat jelas lambang Golkarnya. Namun hal itu disiasati oleh Bakos dengan mengganti lambang golkar dengan gambar rumah lumbung, ciri NTB. Hampir tiga buah spidol besar dihabiskan hanya untuk menutupi lambang tersebut.<br /> Sementara itu Mohdan tampak terlihat sedang menyiapkan air minum. Sebuah galon Aqua besar terlihat di dekat kakinya. Ia tampak juga terlihat memberi penjelasan kepada beberapa anak buahnya. Para anak buah Mohdan ini jumlahnya sebelas orang, semuanya berpakaian silat, hitam-hitam dengan ikat kepala hitam juga. Mereka rupanya diinstruksikan untuk “berjaga-jaga” di lapangan, siapa tahu ada keributan. “Bila perlu kalau tidak ada keributan, silahkan kalian yang bikin ribut” ujar Mohdan. “Tapi ingat, kalau kita kalah, baru kalian boleh bikin keributan” lanjutnya yang disetujui oleh jawara-jawara tersebut.<br /> Di sebelah jawara-jawara itu nampak si Gedah, calon kiper baru kesebelasan KAMBER. Si Gedah ini dulunya sebenarnya adalah pemain penyerang sayap kiri. Larinya terbilang kenceng, betisnya pun kuat pula. Hampir setara dengan kekuatan betis Bakos. Hanya saja kelemahannya kalau sedang lari kenceng membawa bola, maka larinya benar-benar kenceng dan lurus. Dia juga punya hoby nunggu bola tepat di garis pinggir lapangan. Kemudian bila bola datang, maka bola itu akan digiring dengan kecepatan tinggi mengikuti garis pinggir itu tanpa bengkok-bengkok dan tanpa mau ngover. Si Gedah ini kalau giring bola sering sambil menunduk memperhatikan bola. Akibatnya seringkali ia hampir menabrak hakim garis. Dan ujung-ujungnya ia baru sadar ketika bola sudah sampai di sudut korner. Saat itulah ia biasanya mulai berinisiatif ngover bola. Tapi sayangnya bola keburu out.<br /> Hal itulah yang membuat teman-temannya yang lain jadi jengkel, terutama sekali teman-temannya yang jadi penyerang. Akhirnya mereka beramai-ramai mengusulkan agar Gedah jangan dijadikan penyerang lagi, melainkan sebagai kiper saja. Sebab dulunya si Gedah adalah mantan kiper juga, tapi karena ia suka urak-urakan saat bertugas, maka diberhentikan jadi kiper. Model urak-urakannya begini, saat ia dapat menangkap bola maka seketika ia menjatuhkan dirinya berguling-guling bagai kiper piala dunia. Padahal bola yang ditangkapnya tidak begitu sulit. Pokoknya setiap menangkap bola pasti dilanjutkan dengan adegan berguling-guling. Setelah itu dengan serta merta ia melemparkan bola ke depan. Pokoknya, lagaknya seperti kiper piala dunia.<br /> Pernah suatu ketika saat menangkap bola ia langsung berguling-guling lima kali sampai-sampai gulingannya tidak tentu arah. Dan seperti biasa dengan serta merta ia melemparkan bola keras-keras ke depan. Si Gedah tidak sadar bahwa akibat berguling-gulingnya tadi posisinya jadi terbalik sehingga begitu bangun maka yang di hadapannya adalah gawang sendiri. Seketika itu juga ia melemparkan bola keras-keras dan tentu saja langsung masuk ke gawang sendiri. Si Gedah sendiri sebenarnya heran dengan hal tersebut. “Kok bisa gawangku ada di sebelah sini” ujarnya saat itu. Rupanya akibat berguling-guling itu Gedah sempat pusing sehingga pandangannya berputar-putar. Namun yang jelas ia akhirnya jadi sasaran sumpah serapah teman-temannya maupun suporter lainnya. Ia pun dipecat dengan tidak hormat menjadi kiper KAMBER.<br /> Namun demikian karena makin lama di tim KAMBER terjadi kelangkaan kiper plus Ihsan mengundurkan diri, maka Gedah pun akhirnya dipanggil lagi oleh Alie untuk mengikuti TC. Dan hari itu, beberapa jam menjelang pertandingan dengan kesebelasan Kampung Seberang Sungai si Gedah kelihatan benar-benar siap. Pakaian kiper kebesarannya (yang memang kebesaran) sejak tadi siang sudah dipakainya. Begitu pula sarung tangannya sudah dipakai pula. Beberapa temannya bertanya prihal asal muasal sarung tangan tersebut yang dijawab oleh Gedah bahwa sarung tangan tersebut kiriman salah seorang kiper AC Milan. Selidik punya selidik, ternyata sarung tangan itu adalah sarung tangan milik ibu Gafan yang dipakai saat naik haji dua tahun lalu.<br /> Di antara kerumunan belasan pemain KAMBER itu tampak terlihat Alie berada di tengah-tengah. Ia terlihat menggunakan jaket biru bertuliskan Honda. Di tangannya tergenggam sebuah map kuning kumal tergulung. Beberapa kali ia terlihat bersitegang dengan para pemainnya. Bahkan terlihat pula ia menjitak kepala salah seorang pemainnya. Gafan jadi penasaran, kemudian ia mendekati Alie dan memperhatikan saja ulah tingkat sang menejer. Ternyata menejer Alie saat itu sedang menagih tunggakan uang iuran pendaftaran kepada beberapa pemain. Beberapa di antara pemain yang nunggak tersebut tidak bersedia melunasi tunggakannya dengan alasan tidak punya uang. Sedangkan beberapa orang lagi berjanji akan melunasi tunggakan itu apabila dalam pertandingan nanti tidak dijadikan sebagai pemain cadangan. Pendeknya, para penunggak yang jumlahnya lebih dari separoh pemain itu minta dijadikan pemain inti. Hal inilah yang membuat Alie jadi jengkel hingga sampai bersitegang.<br /> “Iuran apa lagi ? Kok banyak sekali. Apa saja sih yang mau dibayar ?” tanya salah seorang pemain.<br /> Dengan nada jengkel Alie langsung merincikan semua pengeluarannya dari biaya pendaftaran, beli air minum dan segala tetek bengek. “Itu belum termasuk uang untuk bayar dukun” ucap Alie dengan lantang. Semua pandangan mengarah kepada Pak dukun. Pak dukun sendiri kelihatan malu dan kesal, lalu ia pun terdengar berdehem-dehem. Alie jadi tersipu-sipu.<br /> “Ayo kita berangkat !” ajak Bakos.<br /> “Tunggu dulu !” sergah pak dukun. “Zebelum berangkhat, khalian haruz minum air zamfi-zamfi ini dulu” lanjutnya seraya mengeluarkan sebuah botol aqua penuh air.<br /> “Supaya kenapa ?”<br /> “Zufaya khalian tidakh khena fengaruh zihir dan zantet dukhun muzuh khalian” ujarnya.<br /> Akhirnya satu persatu para pemain KAMBER meminum air “zamfi-zamfi” dari pak dukun tersebut, termasuk Gafan juga. Rupanya ia terpengaruh juga oleh kata-kata pak dukun yang menakut-nakuti itu.</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-44327490230159651392009-03-26T03:27:00.000-07:002009-03-26T03:28:07.399-07:00PEMAIN KAMPUNG (8)<span style="font-weight:bold;">Hari Kamis…………..<br /> Matahari baru naik sepenggalahan. Kesibukan di kampung Gafan sudah mulai nampak. Yang jadi pedangang sudah membuka warungnya. Yang petani sudah nyangkul di sawah. Sedangkan yang remaja………sibuk juga. Mereka terlihat kumpul-kumpul di rumah Gafan membicarakan pertandingan nanti sore.</span><span class="fullpost"><br /> Bermacam-macam isi pembicaraan mereka, mulai dari taktik, strategi dan bebadong. Nampak di sana Bakos, Odi, Ichan, Gafan, Mohdan dan yang lainnya saling berbincang dengan asyiknya.<br /> Tak lama kemudian Bakos keluar dari situ dengan menarik tangan Gafan. Nampaknya ada suatu hal yang akan dilakukannya. Gafan jadi penasaran.<br /> “Mau apa ?” tanya Gafan heran.<br /> “Saya mau cukur rambut nih. Kamu bisa ‘kan ?” jawab Bakos sembari mengeluarkan gunting hitam yang sudah dipersiapkannya.<br />Gafan tertegun sejenak. Sebenarnya ia sama sekali hendak menolak permintaan Bakos tersebut. Gafan belum pernah sama sekali berkenalan dengan profesi yang bernama tukang cukur. Namun karena dipaksa, Gafan akhirnya mau juga. <br />Segera ia mengambil gunting yang disodorkan Bakos. Kemudian Bakos duduk di emper rumah Gafan. “tolong dicukur model Michael Platini, ya !” perintahnya.<br />Gafan hanya diam saja. Ia mulai mencukur rambut Bakos. Ia sama sekali tidak tahu etika cukur mencukur, apalagi cukuran model Platini. Gafan mulai mencukur dari samping kanan di atas telinga. Sambil nyukur ia berusaha membayangkan bentuk dan potongan rambut Michael Platini. Tatapan Gafan menerawang ke atas, namun tangannya tetap mencukur. “Adooh sompret !!” teriak Bakos tiba-tiba. Ternyata ujung gunting sempat menjepit daun telinganya. Tapi untung saja gunting tersebut tidak terlalu tajam sehingga daun telinga Bakos tidak sampai terluka, hanya memerah sedikit saja.<br />“Yang bener dong !” bentak Bakos dengan mata melotot kepada Gafan sembari mengusap-usap daun telinganya.<br /> “Sorry, ndak sengaja” jawab Gafan nyengir sambil segera membalikkan kepala Bakos ke depan.<br /> Gafan kembali mencukur. Kali ini bagian kepala sebelah kanan Bakos yang digarapnya. Hati Gafan sebenarnya udah mulai deg-degan. Soalnya, tuh kepala sudah nampak amburadul. Di sana-sini cukurannya tidak rata, mirip ilalang kebakaran. Untungnya Bakos sama sekali tidak bawa cermin untuk mengontrol bentuk cukurannya. Makin lama Gafan makin deg-degan. Sedangkan untuk menghentikan cukuran itu seketika tentu tidak mungkin karena nantinya Bakos akan tahu kalau hasil cukurannya tidak bener.<br /> Pikir punya pikir, akhirnya Gafan dapat akal. Dengan bahasa isyarat, dipanggilnya Mohdan yang duduk tak jauh di belakangnya. Begitu Mohdan mendekat, Gafan sengaja memegang perutnya seraya membisiki Mohdan bahwa ia mau buang air. “Tolong ganti saya cukur rambut si Bakos,” bisiknya sambil langsung menggenggamkan gunting tersebut di tangan Mohdan. Mohdan sebenarnya mau menolak, tapi karena gunting sudah berada di tangannya dan Gafan sudah beranjak, akhirnya mau tak mau Mohdan mulai melanjutkan mencukur rambut Bakos. Dari kejauhan Gafan memberi isyarat telunjuk di bibir. Maksudnya supaya diam, begitu. Mohdan mengangguk. <br /> Sementara itu Bakos belum menyadari kalau baru saja sudah terjadi pergantian tukang cukur. Bakos tampak asyik melamun mengkhayalkan pertandingan nanti sore. “Betapa gagahnya aku nanti dengan rambut model Platini,” gumannya dalam hati. <br /> Sedangkan Mohdan saat itu tak ubahnya seperti Gafan juga, tidak bisa mencukur. Namun dengan keberanian dan modal sok tahu, ia terus saja. Rambut belakang bagian bawah Bakos di-gres dalam-dalam dengan gunting. Gunting terus menuju ke atas dan dicukur lagi, begitu seterusnya bertingkat-tingkat. Akhirnya rambut Bakos benar-benar nampak bertingkat-tingkat dari belakang. Mohdan jadi deg-degan. Ia khawatir hal itu nanti diketahui oleh Bakos. Bakos sendiri sebenarnya sudah mulai punya firasat tidak enak. Ia hendak nengok kebelakang, namun dengan serta merta tangan kiri Mohdan memutar batok kepala Bakos sehingga menghadap kedepan lagi. Jadinya, hingga detik itu Bakos sama sekali tidak tahu bahwa yang mencukurnya adalah Mohdan.<br /> Makin lama degup jantung Mohdan makin keras. Ini bukan main-main, katanya dalam hati. Mohdan sudah membayangkan betapa murkanya Bakos kalau tahu kepalanya dijadikan ajang untuk praktik mencukur. Bakos adalah tipe orang yang paling tidak suka dipegang kepalanya oleh sembarangan orang. Ia tidak mau sembarangan dicukur oleh siapa saja. Itu sebabnya ia menyuruh Gafan mencukurnya meski ia sendiri tahu Gafan tidak bisa mencukur. Di antara teman-temannya, hanya Gafan saja yang ia perbolehkan untuk memegang kepalanya. Prinsipnya, lebih baik rambut jadi acak-acakan daripada harus disentuh oleh orang-orang sembarangan.<br /> Mohdan berfikir keras bagaimana agar bisa meninggalkan rambut Bakos. Matanya jelalatan mencari-cari siapa yang pantas menggantikan posisinya. Sambil matanya melirik kesana-kemari tangannya terus saja mencukur. “Addooww…sompreet ! Yang bener dong,“ teriak Bakos tiba-tiba rupanya gunting kembali mengenai telinganya. Bahkan ujung gunting tersebut hampir masuk ke lubang telinganya. Mohdan gelagapan. Namun tetap ia tak bersuara. Tangan kirinya dengan sekuat tenaga menahan kepala Bakos yang hendak nengok ke belakang. Karena ditahan dengan kuat, maka Bakos pun urung menoleh. “Hati-hati dong ! Kamu mau cukur rambut apa daun telinga ?!” gerutunya. Namun Mohdan diam saja.<br /> Kembali Mohdan melanjutkan mencukur. Kini dengan ekstra hati-hati sambil tentunya terus mencari “calon penggantinya”. Tiba-tiba dilihatnya sang Menejer Alie lagi ngelamun juga tak jauh di belakangnya. Mohdan memanggil Alie dengan isyarat. Alie pun kemudian mendekat. <br />“Ada apa ?” tanya Alie.<br />“Ssssstttt……” ujar Mohdan berdesis dengan memberi isyarat telunjuk di bibirnya. Alie jadi kebingungan. Detik itu juga Mohdan menggenggamkan gunting ke tangan kanan Alie seraya berbisik bahwa ia mau buang air sebentar.<br />“Tolong gantiin saya,” bisik Mohdan seraya langsung beranjak dengan cepat.<br />Alie kebingungan. Semula hendak ditolaknya tugas tersebut namun tiba-tiba Bakos terdengar ngomel. “Ayo dong cepetan ! Saya mau segera mandi, nih,” ujarnya tanpa menoleh ke belakang.<br />Alie pun segera mencukur rambut Bakos. Bagian atas kepala Bakos dibabatnya pendek-pendek hingga cepak mirip tentara. Hanya bagian depan saja yang dibiarkan tetap agak gondrong sehingga mirip jambul. Begitu pula dengan rambut bagian kanan di atas telinga juga dibabat. Rambut yang tadinya sudah rusak oleh dua pencukur sebelumnya, kini tambah kacau balau. Mirip cukuran narapidana yang dicukur dengan pecahan botol. Namun demikian Alie tetap cuek. Terus saja ia praktik mencukur. “Kalau tidak sekarang, kapan lagi bisa latihan jadi tukang cukur,” katanya dalam hati. <br />Cukuran demi cukuran terus dilakukan. Begitu satu tahap cukuran selesai, Alie memandangi kepala Bakos. “Ah, belum pas,” gumannya seraya kembali mencukur rambut Bakos. Setelah tahap berikutnya dirasa selesai, kembali lagi Alie memandangi batok kepala bakos. “Ah, tinggal sedikit lagi baru mantap,” katanya dalam hati. Alie pun terus mencukur Bakos hingga benar-benar pendek.<br />Sementara itu Bakos sudah mulai gundah gulana. Ia merasakan kepalanya agak dingin tertiup angin. Ketika ia coba memalingkan wajahnya ke belakang, tangan kiri Alie segera membelokkannya dengan keras sehingga kepalanya menghadap ke depan lagi. Bakos makin curiga. Kok tumben tangan Gafan begitu keras pikirnya. Kemudian Bakos mencoba lagi menoleh ke belakang, tapi langsung di sergah oleh Alie dengan nada jengkel. “Jangan bergerak…monyet !” bentak Alie seraya memutar kepala Bakos dengan agak keras sehingga nyaris berputar 180 derajat. <br />Demi mendengar suara di belakangnya bukan suara Gafan, seketika Bakos balikkan badan. Dan, tak terkira murka Bakos. Apalagi yang dilihatnya saat itu adalah Alie, sang menejer yang kerap membuatnya jengkel. Dengan serta merta perut Alie ditendangnya. Alie mengaduh kesakitan seraya menyumpah-nyumpah menganggap Bakos tak tahu terima kasih. Sementara Bakos segera beranjak menuju kaca jendela rumah Gafan untuk ngaca. Demi melihat kondisi terakhir rambutnya yang memilukan plus memalukan, Bakos semakin tak dapat menahan amarah. Dan yang pertama kali dicarinya adalah Alie. Langsung saja gunting di tangan Alie direbutnya. Teman-teman yang lain pada terkejut. Mereka mengira Bakos akan menusuk Alie. Sebagian mereka berhamburan untuk melerai. Tapi kiranya tidak demikian. Bakos kelihatan memelintir leher Alie dari belakang dan berusaha untuk mencukur rambut Alie. Rupanya Bakos akan membalas dendan. “Hutang emas bayar emas, hutang rambut bayar rambut,” katanya berpantun.<br /> Alie tak mau kalah. Ia meronta sekuat tenaga. Ia juga mengeluarkan pantun. “Sepandai-pandai tupai melompat….. uhk..,” ujarnya sambil meronta.<br /> “Apa artinya?” tanya Bakos sambil terus memelintir leher Alie.<br /> “Artinya… ukh… mukamu kayak tupai… ukh….” jawab Alie sambil terus meronta-ronta. Namun apa daya tenaganya kalah kuat dibanding tenaga Bakos yang memang bertubuh tambun gendut. Alie dibuat tidak berkutik. Lehernya diplintir, kakinya dililit kaki Bakos. Begitu pula kedua tangan Alie terlihat terlilit. Entah di mana Bakos belajar ilmu melilit model begitu, yang jelas Alie yang memang hidupnya sudah terlilit hutang, jadi tambah terlilit. Detik itu juga Bakos akan memulai aksinya.<br /> “Awas, kalau kamu berani sentuhkan gunting itu ke rambut saya, jangan harap kamu akan saya turunkan dalam pertandingan,” ujar Alie megap-megap. “Bersiaplah jadi cadangan seu…murrr hiddd…up,” sambungnya lagi dengan lebih megap-megap dan mata melotot kecekik.<br /> Mendengar ancaman itu, Bakos rupanya ciut juga. Ia tahu kalau Alie adalah penentu siapa yang boleh main dan siapa yang cadangan. Dan Bakos tahu bahwa pemain yang coba-coba menentang perintah Alie pasti bakal jadi pemain cadangan. Akhirnya karena pertimbangan “politis” itulah kemudian Bakos urung untuk mencukur rambut Alie. Namun demikian Bakos minta kompensasi kepada Alie agar ia diturunkan dalam semua pertandingan selama 2 babak penuh. Permintaan ini pun disetujui. Dan setelah terjadi kesepakatan barulah Bakos melepaskan cekikannya di leher Alie. Alie terbatuk-batuk sebentar. Sedangkan Bakos masih meraba-raba rambut kebanggaannya yang kini sudah tidak bisa ia banggakan lagi.<br /> Bakos terlihat kesal bukan main. Mau marah ke Gafan, jelas tak berani. Rupanya bakos takut nanti Gafan juga tidak menurunkan dirinya di lapangan. Mau marah ke Alie, juga tak berani. Akhirnya Bakos benar-benar hanya bisa pasrah. Beberapa orang temannya terlihat menertawakan. Ditertawakan begitu Bakos hanya bisa melirik sinis.<br /> “Dibotakin saja sekalian,” usul Alie yang disetujui oleh teman-teman yang lain.<br /> Akhirnya Bakos pun menyetujui usul tersebut. Ia benar-benar pasrah. Rambut “Platini-nya” harus berubah jadi rambut Ronaldo. Alie pun kemudian mengambil gunting dan mencukur habis rambut Bakos hingga benar-benar plontos. Sementara di kejauhan nampak Gafan mengintip dari balik tembok. Rupanya ia merasa bersalah juga telah membuat rambut Bakos jadi kacau balau.</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-60444927523135901382009-03-26T03:26:00.001-07:002009-03-26T03:26:51.477-07:00PEMAIN KAMPUNG (7)<span style="font-weight:bold;">Lapangan tempat pertandingan kali ini tidak beda jauh dengan lapangan pada Kambing Cup yang lalu. Mulai dari garis tengahnya yang dari pematang sawah, lapangannya yang bergelombang, hingga kiri kanan gawangnya yang lebar sebelah. Hanya saja pada lapangan ini tidak ada kubangan kerbau.</span> <span class="fullpost"><br />Tampak di tengah lapangan pemain kedua kesebelasan bertanding dengan serunya. Terutama sekali pemain Macan Kuning terlihat bersemangat betul. Maklum, tim tuan rumah. Tiap mereka dapat bola, langsung mendapat tepuk tangan penonton, padahal tendangan bolanya melenceng. Tapi meski begitu tetap dapat tepuk tangan juga. Konon, itu merupakan salah satu instruksi pak Kepala dusun.<br />Berbeda dengan pemain lawannya, karena suporternya sangat sedikit maka tak ada terdengar tepuk tangan mereka. Malah sebaliknya mereka mendapatkan sorak-sorai dan caci makian. Setiap pemain musuh ini mendapat bola, kontan saja sorak-sorai dan cacian kotor keluar dari para penonton. Jadi, meskipun tendangan mereka bagus, overan mereka indah dan kerjasama mereka memukau tetap saja disoraki. Konon ini instruksi pak Kepala dusun juga. Dan yang lebih menyedihkan lagi, yakni para suporter tim musuh yang jumlahnya hanya puluhan orang itu dilarang memberikan semangat ataupun tepuk tangan kepada para pemainnya. Kalau tidak, fatal akibatnya. Bisa-bisa mereka dilempari dengan berbagai benda, mulai yang ringan seperti botol aqua hingga yang berat seperti potongan batu bata. Mulai dari yang padat seperti tanah pematang sawah hingga yang lembek seperti tahi sapi basah. Dan konon, ini juga instruksi pak Kepala Dusun. Walhasil suporter ini hanya bisa menganga saja.<br />Namun demikian para pemain musuh ini tidak gentar sedikitpun. Mereka terus saja berupaya menunjukkan permainan terbaiknya. Beberapa kali serangannya nyaris membobolkan gawang Macan Kuning. Begitu pula dengan kesebelasan Macan Kuning, sering terlihat gantian menyerang dengan sengitnya. Begitulah terus berlangsung hingga akhirnya babak kedua berakhir. Kedudukan masih imbang 0 – 0. Dan seperti biasa kalau kedudukan imbang seperti itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali adu pinalti. Perpanjangan waktu 2 x 15 menit dianggap tidak memungkinkan karena waktunya hampir magrib. Adu pinalti pun kemudian dimulai.<br />Masing-masing kesebelasan mengeluarkan 5 orang algojonya. Setelah basa-basi sebentar antara wasit, kapten kedua tim dan hakim garis, maka adu pinalti pun dimulai. Para penonton yang tadinya berada di luar garis lapangan kini semua masuk ke lapangan, ingin melihat dari sedekat mungkin. Wasit mengisyaratkan kepada penonton untuk tidak masuk kotak pinalti. Namun hal tersebut tidak digubris. Para penonton memadati hampir seluruh kotak pinalti. Akibatnya para algojo hampir tidak punya ruang gerak untuk menendang, sebab 1 meter di kiri-kanan dan belakang mereka adalah jubelan penonton. <br />Gafan yang berada di kandang sapi terlihat kesal karena pandangannya terhalang oleh kerumunan para penonton itu. Jadinya ia tidak bisa melihat sama sekali bagaimana aksi dari para algojo tersebut. Gafan pasrah, segera saja ia keluar dari kandang kumpul itu. Ia memutuskan untuk tidak menyaksikan adu pinalti. Biarlah nanti kita dengar beritanya dari teman-teman gumannya dalam hati.<br />Sambil berjalan Gafan beberapa kali mendengar suara gegap gempita para penonton. Entah siapa yang mencetak gol. Tapi yang jelas yang lebih banyak terdengar adalah suara sumpah serapah. Setidaknya suara sumpah serapah dan cacian terdengar sebanyak 5 kali, sedangkan suara gegap gempita dan tepuk tangan terdengar 4 kali. Gafan memperkirakan bahwa suara gegap gempita dan tepuk tangan itu adalah suara suporter Macan Kuning yang gembira karena pemainnya bisa mencetak gol. Dan suara sumpah serapah tersebut adalah suara suporter Macan Kuning juga yang nampaknya jengkel karena pemain musuh juga bisa mencetak gol.<br />“Lho, berarti macan kuning kalah dong !” guman Gafan dalam hati, seraya berusaha melongok ke lapangan mencari tahu. Dan benar saja, ternyata macan kuning kalah adu pinalti dengan skor 4 – 5. Kontan saja terjadi kegaduhan. Para penonton nampak mencari gara-gara. Mereka mencoba mendekati pemain musuhnya untuk dipukuli. Namun pemain musuhnya tersebut segera lari menyelamatkan diri pontang panting. <br />Melihat gelagat tidak baik itu, segera Gafan beranjak dari situ. Ia khawatir dirinya nanti jadi sasaran kemarahan para suporter macan kuning. Segera ia mencari Bakos dan teman yang lainnya. Nampak di kejauhan Bakos cs juga sedang berlarian menyelamatkan diri. Pendeknya suasana jadi kacau. Semua orang asing yang ada di situ dilempari dan dikejar-kejar karena disangka pemain musuh. Konon, itu juga merupakan instruksi pak Kepala dusun. Dan karena Gafan sudah jauh berlari, ia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di lapangan itu. Yang penting besok giliran kita yang main kata Gafan dalam hati.<br />Gafan terus berjalan dengan tergesa-gesa sambil sesekali melihat ke belakang. Begitu tiba di pinggir sungai yang merupakan batas kampungnya dengan Kampung Seberang Sungai, Gafan bertemu dengan Bakos dan teman-teman lainnya. Mereka nampak berdiri di pinggir sungai sembari celingak-celinguk seolah-olah ada yang dicari. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres nih. Dan memang benar, Gafan cs tidak bisa nyeberang sungai karena sampan-sampan mendadak hilang. Padahal tadi sewaktu berangkat cukup banyak yang masih tertambat di situ. Sampan kecil-kecil berukuran 2 x 1 meter itu biasanya dipakai untuk angkut pasir yang dikeruk di tengah sungai. Tapi bila sore tiba aktifitas ngeruk pasir terhenti dan sampan itupun di-parkir di pinggiran sungai. Jumlahnya mencapai belasan. Tapi aneh, sekarang sampan-sampan itu pada lenyap, padahal tak ada banjir. “Setan ! Pelit amat si pemilik sampan!” ucap Bakos berang. <br />“Kita berenang saja,” ajak Bakos yang diiyakan oleh temannya yang lain. Namun secepat kilat Gafan mencegahnya. Sang kapten khawatir kalau semua temannya berenang ke seberang, berarti ia akan tinggal sendirian, karena ia tidak pandai berenang. Apalagi terpikir olehnya bahwa sungai itu kini sudah cukup dalam, tak kurang dari 3 meter. Padahal dulu sungai tersebut tidak begitu dalam, tapi karena tiap hari orang mengeruk pasirnya dengan menggunakan sampan, maka bertambahlah kedalamannya. Sudah dalam dan keruh, airnya tenang pula. Kan kelihatan ngeri, seperti sarang buaya.<br />“Coba saja cari sampannya, siapa tahu disembunyikan di semak-semak” ujar Gafan seraya memandang ke beberapa bagian pinggiran sungai yang rimbun dipenuhi semak-semak.<br />Beberapa temannya mencoba mencari sampan di semak belukar. Ada yang ke hulu dan ada pula yang ke hilir. Sementara itu beberapa orang mulai berdatangan. Nampaknya mereka orang-orang kampung Gafan yang juga ikutan nonton bola di Kampung Seberang Sungai.<br />Cukup lama mereka mencari sampan-sampan tersebut. Saat itu waktu magrib telah tiba. Suasana di sekitar tempat itu tentu jadi menakutkan. Namun demikian pencarian sampan terus dilakukan. Dan akhirnya beberapa sampan berhasil ditemukan. Sampan itu sengaja disembunyikan rapi disemak-semak, ditindih dahan-dahan berat, diberi duri-duri pandan dan diikat satu sama lain. Tak terkira dongkolnya Gafan cs. “Ini perbuatan orang yang dengki” ketusnya seraya berusaha membersihkan berbagai penghalang di atas sampan itu. Kini tinggal tali pengikat itu saja yang masih belum bisa dibuka. Bakos celingak celinguk cari pisau, namun tak ketemu. Tapi untung mereka bertemu dengan seorang yang lagi mancing ikan, nampaknya ia bawa korek api karena sedang merokok. Bakos mendekati orang tersebut yang nampaknya tetap cuek melihat “penderitaannya”. <br />“Pak, pinjam korek apinya dong” pinta Bakos.<br />“Wah, isinya tinggal sedikit, nih. Ntar saya ndak bisa bakar rokok dong” jawab si tukang pancing seraya memandangi kailnya.<br />Bakos jadi jengkel, hampir saja orang itu diceburkannya. Namun ia kemudian putar otak. Dirogohnya kantong celananya dan kemudian mengeluarkan bungkusan rokok yang isinya tinggal dua batang.<br />“Sudahlah pak, ini saya kasih rokok, pinjam koreknya dong” ujar Bakos seraya menyodorkan rokok tersebut ke tangan si tukang pancing. Ia pun kemudian memberikan koreknya.<br />Setelah mendapatkan korek tersebut, Bakos dan Gafan menuju ke tempat sampan tadi. Tali yang mengikat sampan-sampan itupun diputus oleh Bakos dengan korek api.<br />“Siapa sih pak, yang usil begini” tanya Gafan kepada pemilik korek.<br />“Ya, pemilik-pemilik sampannya dong” jawab si pemilik korek.<br />“Yang punya sampan siapa, sih ?”<br />“Orang-orang Kampung Seberang Sungai”<br />“Kok mereka sembunyikan sampannya begini ?”<br />“Ya, jelas dong, karena kesebelasan mereka kalah” <br />“Apa hubungannya dengan sampan-sampan ini” ujar Bakos menimpali.<br />“Mau berhubungan, mau ndak, terserah. Suka-suka kita dong. Eh…suka-suka mereka dong”<br />Mendengar kata “kita” tadi, Gafan, Bakos dan teman-temannya saling pandang. Pada pikiran mereka, si tukang pancing ini adalah salah satu dari warga Kampung Seberang Sungai, dan bisa jadi ia ikutserta menyembunyikan sampan-sampan itu.<br />“Bapak dari mana ?”<br />“Dari sini”<br />“Sini mana ?!” tanya Bakos agak keras.<br />“Ya, dari sini ! Koq ngurus sih, kamu petugas sensus ya, nanya terus” jawab si pemilik korek menjengkelkan. Bakos terdiam sambil kacak pinggang. <br />Sementara itu sampannya sudah siap. Gafan mengajak Bakos naik sampan. “Kamu saja duluan. Nanti saya pakai yang ini saja” ujar Bakos seraya menarik sebuah sampan. Kemudian Bakos memilih 4 orang yang agak besar-besar ikut dengannya di sampan itu, sedangkan yang lain disuruhnya naik sampan yang satunya lagi.<br />Jumlah sampan yang dipakai 3 buah. Idealnya masing-masing sampan bisa nampung 5 orang. Tapi hanya sampan Bakos saja yang berisi lima orang, sedangkan yang lain ditumpangi hingga 10 orang. Akibatnya para penumpang yang sampannya kepenuhan ini harus ekstra hati-hati dan tak banyak gerak, sebab bisa-bisa sampan jadi tenggelam. Saat itu pun sebenarnya air sungai mulai masuk sedikit-sedikit karena saat mendayung sampan selalu bergoyang. Dayung yang digunakan adalah potongan bambu sepanjang 5 meter. Cara mendayungnya tidak seperti di laut, melainkan dengan cara menusukkan bambu ke dasar sungai lalu didorong-kuat-kuat. Dengan cara ini sampan pun berjalan. Namun Ini sebenarnya merepotkan Gafan cs. Meskipun teman-teman Gafan adalah nelayan, tapi mereka tidak pernah mendayung sampan dengan menggunakan potongan bambu tersebut.<br />Akibatnya sampan yang digunakan Gafan cs jadi berputar-putar. Didayung lewat kiri, mutar ke kanan, di dayung lewat kanan mutar kekiri. Di dayung bergiliran lewat kiri dan kanan, tidak bisa jalan. Walhasil, dari awal penyeberangan, sampan tersebut hanya berputar-putar saja hingga mencapai ke seberang. <br />Melihat hal tersebut, Bakos dan 4 orang temannya yang masih berada di seberang tertawa terbahak-bahak. Mereka nampaknya belum mulai menyeberang. Entah apa penyebabnya, yang jelas kelima remaja tersebut nampak nampak tertawa sambil berbisik-bisik. Si tukang pancing ikan yang ada di dekat Bakos juga terdengar tertawa. Bahagia benar nampaknya ia melihat penderitaan Gafan cs. Bahkan ketika salah seorang kawan Gafan terdengar muntah-muntah karena pusing muter, si tukang pancing ini tambah terpingkal-pingkal sehingga kailnya pun terpingkal-pingkal pula.<br />Namun tak lama kemudian mendadak tawa si tukang pancing terhenti ketika Bakos dan 4 temannya mendekatinya. Dan tanpa basa basi lagi si tukang pancing itu diangkat beramai-ramai lalu masing-masing memegang tangan dan kakinya, kemudian digoyang-goyang dan setelah aba-aba ketiga dari Bakos, orang tersebut dilemparkan keras-keras sungai. Orang itupun terhempas ke sungai. Kedengarannya seperti papan yang dihempaskan. Nampaknya dadanya yang pertama kali terhempas di air.<br />Bakos dan ke 4 temannya segera berlarian menuju sampan. Dan dengan segera mereka mendorong sampan ke tengah kemudian menaikinya. Bakos langsung memegang bambu dan mendayungnya sekuat tenaga. Sementara itu orang yang dihempaskan tadi terdengar berteriak-teriak menyumpah-nyumpah sambil mengeluarkan ancaman. Ia berusaha mengejar Bakos dengan cara berenang, tapi begitu akan mendekat, ujung bambu yang dipegang Bakos diayunkan ke arah orang tersebut. Orang itu pun menghindar dengan cara menyelam. Saat muncul lagi ke permukaan air, kepalanya jadi sasaran ujung bambu.<br />“Adduuuhh…..setan. Awas kalian,” ucapnya seraya balik berenang ke pinggir di tempat kailnya.<br />Bakos dan teman-temannya yang masih di tengah sungai tak dapat menahan tawanya. Begitu pula dengan Gafan yang berada di seberang.<br />“Ayo, sini kalau berani !!” tantang Bakos sambil kacak pinggang dan tertawa. Orang yang ditantang tidak memberi respon. Nampak ia memegangi kepalanya yang benjol. <br />Melihat tak ada reaksi dari lawannya, Bakos kemudian mendayung lagi. Tapi apa yang terjadi, sama seperti sampan-sampan terdahulu, muter-muter. Di dayung dari kiri, muter ke kanan. Di dayung dari kanan muter kekiri. Ke 4 temannya bergiliran unjuk kebolehan mendayung, tapi tetap saja sampan itu muter-muter. Malah muternya lebih parah, muter di tempat. Padahal saat itu mereka tepat berada di tengah sungai. Adegan tersebut tentu saja membuat Gafan cs tak bisa menahan tawa. Kini giliran ia yang mengejek Bakos. Begitu pula dengan si tukang pancing terdengar tertawa terpingkal-pingkal di seberang sungai. Melihat si tukang pancing tertawa, Bakos jadi jengkel.<br />“Hay setan…ngapain tertawa ?! Pingin dibogem ya ?” gertak Bakos seraya mengacungan tangannya.<br />Yang ditantang jadi jengkel juga. Mau mengejar bakos dengan cara berenang, takut kena pentung lagi. Akhirnya, setelah merenung sejenak, si tukang pancing ini kelihatan membalikkan badan dan berlalu. Bakos mengira orang tersebut akan pulang.<br />“Mau pulang ya ?! Atau mau panggil orang sekampung ?! Panggil sana !! Saya ndak akan mundur,” ujar Bakos dengan lantangnya. <br />Orang tersebut terus saja berjalan lalu hilang di rerimbunan. Namun tak lama kemudian orang tersebut balik lagi. Kali ini langkahnya lebih cepat dan sepertinya ia membawa buntelan kain. Begitu ia tiba di pinggir sungai, buntelan kain dibukanya….dan, Masya Allah, isinya pecahan batu bata.<br />Detik itu juga pecahan batu bata tersebut melayang bertubi-tubi ke arah sampan Bakos dan empat temannya yang masih di tengah sungai. Tentu saja Bakos jadi kaget. Mendapat serangan seperti itu Bakos tak bisa berbuat banyak, hanya mengelak saja. Sekali mengelak, sekali kena. Masing-masing berusaha mengelak di sampan kecil itu. Akibatnya beberapa kali kepala Bakos dan temannya saling berbenturan karena elak-mengelak tadi. Mau tak mau akhirnya Bakos cs tiarap di lantai sampan. Melihat musuhnya tiarap, si tukang pancing tak kalah akal. Ia melempar batu tidak lagi dengan cara keras-keras, tapi dilempar ala pemain basket yang masukkan bola ke ring. Hanya saja si tukang pancing melempar batunya tinggi-tinggi sehingga saat jatuh di atas sampan bisa lebih keras. <br />Akibat lemparan ini beberapa kali terdengar suara gedebuk punggung Bakos cs. Dan beberapa kali pula terdengar suara mengaduh-aduh.<br />Melihat hal tersebut, Gafan cs bereaksi. Segera mereka membalas melempar si tukang pancing dari seberang. Lemparan mereka rupanya bisa menjangkau si tukang pancing. Beberapa kali lemparan tersebut nyaris mengenainya. Akibatnya si tukang pancing segera lari terbirit-birit. Setelah suasana agak aman, Bakos cs yang ada di dalam sampan kembali bergiliran mendayung sampannya sambil meringis-ringis. Perlahan tapi pasti, sampan itupun tiba di pinggiran. Begitu turun, tanpa banyak cakap Bakos langsung mendorong sampan yang telah kosong itu ke tengah sungai. “Biar hanyut ke laut” gerutunya.<br />Gelap malam mulai menyelimuti kebun-kebun pinggiran sungai. Suara azan di kejauhan mulai terdengar. Dengan langkah gontai para remaja pecandu bola itu berjalan pulang menuju kampungnya.</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-81716472227039059862009-03-26T03:24:00.001-07:002009-03-26T03:25:46.408-07:00PEMAIN KAMPUNG (6)<span style="font-weight:bold;">Meski kompetisi berakhir tragis, namun tak menyurutkan semangat latihan anak-anak Kamber. Mereka tetap berlatih dengan menggunakan lapangan yang kebetulan ada di kampungnya. Di saat itu, karena kebetulan musim kemarau, maka lapangan jadi banyak karena banyak sawah yang tidak bisa ditanami.</span><span class="fullpost"><br /> Hampir semua generasi ikut main bola tiap sore. Dari anak balita yang masih bergigi empat sampai dengan manula yang giginya tinggal empat. Masing-masing punya lapangan sendiri yang letaknya bersebelahan.<br /> Sementara itu lapangan yang dipakai oleh Gafan tentu paling besar, karena mereka menganggap bahwa tim mereka adalah tim inti. Sedangkan yang agak uzur terpaksa main di sawah yang agak kecil dan tanahnya bergelombang.<br /> Sebenarnya hal ini sempat diprotes oleh bapak-bapak tersebut. Mereka menuntut agar kaum tua dan kaum “agak tua” diberi juga main di “lapangan utama” itu. Protes ini sempat mereka sampaikan kepada Pak kepala dusun. Dan memang Pak Kepala Dusun rupanya tanggap pada protes tersebut karena memang, ia seangkatan dengan kaum tua-tua itu, dan pak Kepala dusun sendiri juga suka ikutan main bola. Oleh karenanya sesegera mungkin pak kepala dusun membuat SK yang berisi izin penggunaan lapangan. <br />Atas dasar SK tersebut dengan agak terpaksa Gafan cs menampung aspirasi mereka. Yang bapak-bapak diikutkan main di lapangan. Permainan pun praktis terganggu karena setiap latih tanding, beliau-beliau yang tua-tua sering duduk di tengah lapangan karena kelelahan, padahal permainan sedang berlangsung. Ini membuat “para pemain inti” jadi gregetan. Tapi itu hanya berlangsung hanya beberapa hari, setelah itu beliau-beliau dengan sendirinya kembali ke lapangan bergelombangnya. Selidik punya selidik, ternyata itu adalah ulah Alie.<br /> Ali mengistruksikan pemain-pemainnya agar sesering mungkin menembakkan bola ke arah para pemain uzur tersebut, lebih-lebih yang suka duduk di tengah lapangan kalau kelelahan. Memang instruksi sang menejer ini dijalankan. Setiap latihan, Gafan cs memisahkan diri dengan para pemain tua itu. Akhirnya tiap hari terjadi pertandingan antara remaja dengan generasi tua. Dan setiap hari pula ada saja pemain uzur yang dibuat keblinger karena kepalanya terkena bola yang sengaja ditendang keras-keras ke arahnya. Ini yang ternyata membuat bapak-bapak tersebut enggan lagi main bersama dengan Gafan cs. Mereka terpaksa pindah ke lapangan lama, lapangan bergelombangnya. Di lapangan tersebut mereka bisa sesuka hati untuk duduk semau gue di tengah lapangan tatkala kelelahan.<br /> Sebulan setelah berakhirnya kompetisi Kambing Cup sial itu, kembali kesebelasan Kamber mendapat undangan untuk ikut kompetisi. Kompetisi tersebut diadakan di Kampung Seberang Sungai. Hadiahnya tak tanggung-tanggung, seekor sapi untuk juara pertama. Juara kedua mendapat kambing, dan juara ketiga mendapat hadiah seekor………….bebek. Hanya saja dalam kompetisi kali dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 50 ribu.<br /> “Wah, ini nih yang bikin repot” ujar Gafan sambil garuk kepala saat membaca prihal jumlah uang pendaftaran tersebut. Sebab selama ini di kampungnya untuk nagih urunan beli bola atau untuk uang pendaftaran semacam ini sulitnya minta ampun. Ada saja alasan yang dibuat-buat agar tidak keluar uang. Tapi giliran akan bertanding, hampir semua pemain menuntut harus diturunkan.<br /> “Tapi bertandingnya ‘kan masih dua minggu lagi” ujar Ali. “Berarti masih ada waktu untuk kumpulkan urunan” lanjutnya.<br /> Gafan menganggukkan kepala. “Kalau begitu kita bentuk saja seksi-seksi” ujarnya.<br /> “Boleh” jawab Ali.<br /> “Kamu di seksi penagihan. Bakos kita serahkan untuk urus kostum. Mohdan di seksi air minum dan pengerahan suporter. Itu saja cukup kan ?” tanya Gafan.<br /> “Masih kurang satu lagi. Seksi bebadong (magic). Ini perlu lho. Soalnya tim lain pasti pakai bebadong juga.”<br /> Kembali Gafan terdiam. Dalam hatinya ia antara percaya dan tidak dengan hal yang satu ini. Tapi demi menampung aspirasi teman-temannya ia setuju juga.<br /> “Siapa yang kita tunjuk di seksi bebadong ?”<br /> “Si Ichan saja. Dia punya banyak kenalan tukang santet. Tapi dalam pertandingan nanti dia tidak mau jadi kiper lagi.”<br /> “Lantas, siapa dong yang jadi kiper ?”<br /> “Si Gedah”<br /> “Boleh”<br /> Akhirnya sejak saat itu Gafan dan Ali memulai aktifitasnya untuk mempersiapkan timnya. Anak buah mereka makin bersemangat latihan. Demikian juga dengan uang urunan, tumben saat itu bisa agak lancar. Dalam tempo seminggu uang terkumpul semua walaupun ada beberapa pemain yang nunggak dan membayarnya dengan cara mencicil. <br /> Pertandingan tinggal seminggu lagi. Semua persiapan sudah hampir kelar, termasuk ‘bebadong’ segala. Segala taktik sudah pula dipersiapkan. Pokoknya, kesebelasan Kamber optimis bakal menang. Dan hari bertanding mereka adalah hari kamis. “Ini hari baik bagi kita, begitu kata mbah dukun” ujar Ichan yang katanya baru pulang menjalankan tugas me-loby dukun.<br /> “Dukun yang mana ? Yang dulu lagi ya ?!” tanya Ali dengan nada khawatir.<br /> “Bukan. Ada dukun yang lain lagi, lebih paten. Dia bisa bikin bola jadi melenceng. Pokoknya dijamin dah. Asal saja bebadong yang dia tanam di gawang kita nanti tidak sampai dikencingi” <br /> Kembali Gafan mengangguk. Lagi-lagi antara percaya dan tidak. <br />Sehari menjelang pertandingan, tepatnya hari rabu, Gafan meliburkan anak buahnya untuk latihan. <br />“Kita harus refresing karena besok akan bertanding” pesannya. “Dan kalau bisa sore ini kita nonton pertandingan, hitung-hitung melihat kondisi lapangan” lanjutnya.<br />Saran tersebut dituruti. Dan sore itu hampir semua pemain Kamber pergi ke Kampung Seberang Sungai untuk melihat pertandingan yang sedang berlangsung. Lokasi pertandinganya adalah di sebuah tanah sawah pecatu kampung setempat. Lapangannya cukup luas namun agak bergelombang.<br />Yang bertanding sore itu adalah kesebelasan tuan rumah. Nama kesebelasannya cukup menyeramkan, PS. Macan Kuning. Penontonnya benar-benar berjubel. Ya, namanya juga tuan rumah. Dari jarak 100 meter saja sudah terdengar suara gegap gempita sorak-sorai. Hampir seisi kampung keluar untuk memberi dukungan pada tim kesayangannya. Bahkan konon kepala kampungnya menginstrukskan agar semua aktifitas dihentikan dulu pada sore hari itu demi mendukung tim mereka. Luar biasa. <br />Gafan dan teman-temannya tiba di lapangan tersebut pada pertengahan babak kedua. Kedudukan sementara masih 0-0. Rupanya lawan tim tuan rumah tanguh juga. Gafan tidak bisa melihat dengan jelas pertandingan tersebut karena berjubelnya penonton. Beberapa kali ia coba menyeruak, tapi selalu terpental kembali ke belakang. Tampak di kejauhan Bakos mencoba menyeruak di kumpulan cewek-cewek suporter. Rupanya keusilan Bakos kumat lagi. Tangan dan sikut kiri-kanannya benar-benar dimainkan saat itu. Bagian-bagian “tertentu” tubuh si cewek jadi sasaran. Tentu saja hal tersebut membuat cewek-cewek suporter ini pada marah. Langsung saja Bakos dijambak bertubi-tubi bergiliran. Dan akhirnya Bakos terpental ke belakang.<br />Gagal nonton lewat bawah, Bakos tidak kehabisan akal. Segera ia mengajak Gafan dan teman-teman lainnya untuk memanjat pohon jambu coklat yang ada di dekat situ. Kebetulan jambu tersebut sedang berbuah lebat. <br />“Kita naik di sini saja. Ini tempat yang strategis. Apalagi buah jambunya lebat, hehehe” ajak Bakos.<br />Bakos dan beberapa temannya langsung saja memanjat pohon jambu tersebut. Hanya Gafan saja yang tidak mengikuti jejak langkah Bakos itu. Dari atas pohon jambu itu mereka nonton pertandingan. Dan tentu saja sambil nonton, tak henti-hentinya mulut mereka mengunyah jambu yang ranum-ranum. Akibatnya, sisa-sisa sampah jambu berserakan di bawah.<br />“Bodoh sekali orang-orang itu. Koq ndak mau nonton lewat sini. Kan bisa sambil makan jambu” ujar Bakos seraya menunjuk ke arah penonton lainnya yang naik di pepohonan yang tak berbuah. Bahkan ada penonton lain yang naik di pohon pisang, sebentar-sebentar melorot ke bawah, setelah itu naik lagi. <br />Sebenarnya hati Gafan agak kurang enak melihat aksi Bakos itu. Apalagi setelah ia melihat sejumlah penonton memberi “kode” kepada bakos cs untuk turun dari jambu itu. Tapi dasar Bakos, dia cuek saja. Beberapa kali Gafan minta Bakos cs untuk turun, tapi ditolak mentah-mentah, bahkan dilempar dengan jambu mentah. Akhirnya Gafan segera menjauh dari tempat itu. Ia tak mau kena getah dari perbuatan Bakos. Gafan berjalan menuju arah timur lapangan. Di situ ada kandang kumpul yang letaknya agak tinggi. Anehnya kandang tersebut tak tersentuh sedikitpun oleh penonton, dengan kata lain tak seorangpun penonton yang nonton lewat situ, padahal kalau mau berdiri di bawah kandang tersebut, kita bisa melihat lapangan dengan leluasa. Selidik punya selidik ternyata si pengelola kandang kumpul itu tidak mengijinkan siapa pun masuk kesitu. Alasannya, dikhawatirkan nantinya orang yang masuk tersebut adalah mata-mata maling yang mau men-survey keadaan kandang itu. Maklum saat itu musim maling ternak.<br />Namun demikian Gafan langsung saja nyelonong masuk. Ia pura-pura melihat-lihat sapi-sapi yang ada. Si penjaga kandang terlihat mulai pasang wajah sangar. Ia terlihat beberapa kali melirik-lirik. Malah parangnya yang mengkilap beberapa kali digosok-gosokkan ke batu. Melihat gejalan tidak enak itu langsung saja Gafan putar otak. Sengaja ia berdecak kagum melihat sapi-sapi yang ada di situ yang gemuk-gemuk.<br />“Sapi bapak montok-montok ya ?! pasti harganya mahal” ujar Gafan. “Apalagi yang belang ini” lanjutnya seraya mengelus-elus punggung sapi tersebut. Rupanya sapi belang itu adalah sapi milik si penjaga kandang itu. Dipuji begitu, si penjaga kandang terpedaya juga. Segera wajah sangarnya dirubah sedemikian rupa. Dan iapun kemudian menerangkan berbagai hal tentang sapi yang dimilikinya, mulai dari makanan, sampai dengan kiat-kiat memandikan sapi. Pokoknya komplit, dah. Gafan pura-pura berdecak kagum lagi, tapi matanya mulai mengikuti pertandingan yang sedang berlangsung di lapangan. Si penjaga kandang terus saja memberi “penyuluhan terpadu”. Dan Gafan sesekali menengok juga ke arah panjaga kandang itu. Lama-lama si “penyuluh” kelelahan sendiri sehingga menghentikan penyuluhannya. Hal ini tentunya membuat Gafan bisa berkonsentrasi penuh mengikuti jalannya pertandingan.</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-8309832235010546762009-03-26T03:23:00.000-07:002009-03-26T03:24:36.615-07:00PEMAIN KAMPUNG (5)<span style="font-weight:bold;">Meski gagal pada kompetisi kambing cup, namun para pemain Kamber tetap penuh harap. Ya, mereka berharap agar kompetisi bisa berakhir seperti “lazimnya”. Maksudnya, begitu baru sampai perempat final, kompetisi langsung bubar. Dari waktu ke waktu memang begitu adanya. Pasti ada saja kesebelasan dan suporternya yang bikin kekacauan. Biasanya adalah tim yang kalah.</span><span class="fullpost"><br /> Meski gagal pada kompetisi kambing cup, namun para pemain Kamber tetap penuh harap. Ya, mereka berharap agar kompetisi bisa berakhir seperti “lazimnya”. Maksudnya, begitu baru sampai perempat final, kompetisi langsung bubar. Dari waktu ke waktu memang begitu adanya. Pasti ada saja kesebelasan dan suporternya yang bikin kekacauan. Biasanya adalah tim yang kalah. <br /> Saat tim mereka kalah, selalu ada saja yang akan dijadikan kambing hitam. Entah itu wasit yang dikatakan berat sebelah atau juga faktor tim musuh yang banyak ‘ngebon’ pemain bayaran.<br /> Kalau kambing hitam tidak ada, maka jalan satu-satunya yakni bikin “keramaian” alias keributan. Saling tantang. Akibatnya, usai pertandingan suasana benar-benar ramai. Malah penontonnya lebih ramai dari yang nonton pertandingan. Soalnya saat keributan terjadi para penduduk kampung pada berduyun-duyun keluar menyaksikan even langka tersebut. Dari bapak-bapak hingga kakek-kakek keluar nonton orang baku hantam. Bahkan kadang ibu-ibupun tumpah ruah juga sambil menyusui anaknya yang dalam gendongan.<br /> Dan pada kompetisi kambing cup LKMD tersebut, harapan kesebelasan KAMBER benar-benar jadi kenyataan. Pada babak perempat final, tiga hari setelah kekalahan Gafan cs, salah satu kesebelasan yang konon di sana banyak jago silatnya, kalah telak. Alhasil terjadilah perkelahian. Pemain baku hantam lawan pemain. Penonton dengan penonton. Penonton gebuk pemain. Pemain gebuk wasit. Wasit terbirit-birit. Panitia pertandingan pun tak ketinggalan berjibakutai. Maklum satu sama lain berasal dari kampung berbeda. Mereka ikutan menggebuk pemain musuhnya. Panitia yang lain pun begitu juga. Menggebuk musuhnya juga. Lama kelamaan antar panitia saling gebuk. Kertas-kertas catatan, time table dan meja panitia diobrak-abrik. Bahkan speaker pun dibanting. Padahal speaker tersebut dapat minjam di masjid. Pokoknya kacau, dah. <br /> Sementara itu beberapa orang hansip desa tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menonton saja. Antara satu hansip dengan hansip lainnya sebenarnya berasal dari kampung berbeda. Beberapa kali mereka nyaris juga baku hantam antar sesama hansip, tapi segera mereka sadarkan diri karena dilerai oleh beberapa pemain, padahal pemain yang melerai tersebut sedang saling gebuk.<br />Di sisi lain, para pemain KAMBER yang saat itu nonton bersorak-sorak gembira sambil saling menyalami. <br /> “Alhamdulillah kompetisi bubar. Supaya sekalian tidak ada yang juara” ujar Bakos seraya mencabuti tiang gawang beramai-ramai bersama teman-temannya. <br /> “Hay setan, jangan dicabuti tiang gawang itu !” bentak seorang hansip.<br /> Mendengar bentakan tersebut Bakos cs bukannya menghentikan aksinya, malah makin semangat mencabut gawang dari pohon pinang itu. Dan begitu tercabut, langsung mereka lemparkan ke arah hansip yang membentak mereka tadi. Lemparan pertama tidak kena, si hansip jadi garang, bersiap pasang kuda-kuda hendak mengejar Bakos cs. Tapi begitu hansip agak dekat, kembali sebuah tiang gawang sebesar paha itu dilemparkan ke arahnya beramai-ramai. Hasilnya, tulang kering si hansip tersenggol ujung tiang gawang. Si hansip terduduk mengaduh-aduh sambil menyumpah-nyumpah. Mendengar sumpah serapah si hansip, Bakos cs tambah murka. Sekali lagi dilemparkannya tiang gawang yang tersisa ke arah hansip dengan keras. Melihat bahaya yang mengancamnya, maka tanpa basa-basi lagi si hansip segera lari pontang-panting dengan kaki terpincang-pincang.<br /> Situasi tersebut benar-benar kacau. Nyaris saja terjadi tawuran antar kampung. Konon kedua kesebelasan masing-masing mempunyai suporter dalam jumlah besar. Tapi untung saja aparat keamanan datang melerai. Sejumlah petugas dari polsek terdengar menembak-nembakkan pistolnya ke udara. Kedua kubu pada berlarian meski masih terdengar ucapan saling sumpah serapah dari jauh.<br /> Menjelang azan magrib suasana agak reda karena terdengar suara azan. Rupanya meski mereka suka tawuran, tapi kalau sudah mendengar azan, mereka pulang juga. Dan yang terlebih dahulu pulang adalah kesebelasan yang tadinya memang kalah. Sedangkan kesebelasan yang menang sebagian sudah pulang dan sebagiannya lagi menuju kantor desa. Mereka ke kantor desa untuk protes. <br /> “Kami protes pak ! Kami yang menang dan akan jadi calon juara” kata mereka.<br /> “Tapi ‘kan masih tersisa 2 pertandingan lagi.” Jawab pak Kades.<br /> “Gimana mau bertanding, lapangannya sudah dirusak !”<br /> “Ya, sudah. Kalau lapangannya rusak, berarti kompetisi bubar. Titik. Sampai jumpa di kompetisi lain, tahun depan” ujar pak Kades sembari ngeloyor.<br /> Mendengar hal itu para pemain dan suporternya merasa jengkel. Mereka mengurung pak Kades. “Kalau begitu hadiahnya diberikan kepada kami !” bentak mereka.<br /> “Lho, tidak bisa dong. Yang masuk perempat final ‘kan 4 kesebelasan. Masak kalian sendiri yang diberi hadiah. Tidak bisa begitu dong !!” jawabnya.<br /> “Pokoknya kami minta hadiahnya” bentak mereka. Suara mereka terdengar riuh rendah. Bahkan di antara kerumunan itu terlihat Gafan, Bakos dan para pemain Kamber lainnya. Mereka juga membela tim yang menang itu. Terutama sekali Bakos, dia yang paling keras menuntut. Lebih keras dari pemain yang menang itu. Rupanya Bakos dijanjikan oleh para pemain yang menang itu akan diundang dalam pesta makan kambing. Syaratnya, Bakos dan Gafan harus ikut menuntut diberikannya hadiah kambing tersebut. <br /> Akhirnya berkat perjuangan yang gigih disertai sedikit tindakan anarkis berupa pemecahan kaca jendela kantor, kambing itupun diserahkan juga.<br /> “Silahkan ambil di belakang kantor” ujar Pak Kades yang langsung disambut sorak gegap gempita oleh para pemain tersebut. Pak Kades langsung pulang. Sementara para pemain dan puluhan suporternya berlarian menuju ke belakang kantor desa. Di situ tampak seekor kambing lagi tiduran karena hari sudah agak gelap.<br /> Tanpa basa-basi lagi mereka mengangkat kambing tersebut tinggi-tinggi. “Kita pesta sekarang…..” teriak mereka. Dan kambing itupun mereka arak beramai-ramai pulang kampung dengan penuh bangga. Bermacam-lagu mereka nyanyikan sepanjang jalan, mulai dari Halo-halo Bandung sampai dengan ole-ole Bandung.<br /> Sekitar 1 km dari kantor desa, mereka berhenti di perempatan desa. Semua kendaraan dari 4 arah dihentikan hanya untuk menyaksikan bahwa mereka dapat “piala” berupa kambing. Kebetulan di perempatan itu ada lampu penerangan jalan. Dan……….mendadak sorak-sorai mereka tiba-tiba terhenti. Pasalnya, setelah diamat-amati……ternyata “kambing piala” tersebut terkena …………..ANTHRAX. <br />“Setaaaaaannnnnn……..!” teriak mereka kesal seraya membanting kambing malang itu. Kambing itu pun terbirit-birit masuk semak belukar di pinggir jalan. Terdengar di kejauhan ia mengembek dengan suara melengking memilukan.</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-33342151765768495472009-03-26T03:22:00.000-07:002009-03-26T03:23:13.649-07:00PEMAIN KAMPUNG (4)<span style="font-weight:bold;">Pertandingan dilanjutkan kembali, kali ini berjalan lebih keras dari sebelumnya. Bakos ngamuknya makin menjadi-jadi. Begitu pula pemain KAPUWAS, “Jihad fi sabiilillah” kata mereka.</span><span class="fullpost"><br /> Pelanggaran-pelanggaran keras sangat sering terjadi, boleh dibilang tiap menit. Wasit hampir kehabisan nafas meniup peluitnya terus menerus. Malah kadang-kadang peluit tersebut tidak bisa bunyi karena sudah kepenuhan oleh air liur wasit.<br /> Suatu ketika wasit meniup peluitnya keras-keras karena melihat suatu pelanggaran dilakukan oleh salah seorang pemain KAMBER. Namun pemain itu terus saja menggiring bola walau peluit telah ditiup berkali-kali. Tak terkira kesalnya hati wasit, terdengar gemeletuk giginya dari jarak beberapa meter. Sambil mengepal-ngepalkan tangannya si wasit mengejar pemain tersebut. Tapi setelah dekat, wasit jadi tertegun tatkala matanya tertuju pada seonggok kapas yang menutupi lubang telinga si pemain bandel itu. Wasit menarik nafas panjang. Segera ia mengurungkan niatnya untuk ‘mensadakahkan’ tinjunya ke muka pemain tersebut.<br /> “Anda sebagai wasit harus ngerti dong, kuping saya lagi flu” ketus pemain itu. Wasit hanya bisa manggut-manggut.<br /> Bola kembali bergulir, kali ini dikuasai oleh salah seorang pemain KAPUWAS yang mengutak atik bola sendirian tanpa mau mengover pada temannya. Rupanya pemain ini ingin memamerkan kepintarannya menggoreng bola. Beberapa pemain Kesebelasan KAMBER berhasil dilewatinya dengan mudah.<br /> “Nih, rebut kalau bisa” katanya dengan nada sombong sambil melewati salah seorang pemain yang berusaha merebut bola dari kakinya.<br /> Tapi entah bagaimana pasalnya, tiba-tiba saja pemain sombong itu tersungkur seketika tatkala berusaha melewati Mohdan, salah seorang pemain KAMBER yang konon jago silat. Wasit tidak melihat dengan jelas penyebab jatuhnya pemain sombong tadi sehingga ia tidak meniup peluitnya. Dan saat itu iapun membiarkan saja Mohdan menggiring bola dengan cepatnya menuju gawang KAPUWAS. Pemain belakang KAPUWAS kelabakan, sesaat lagi Mohdan masuk kotak penalti. Mau tak mau, salah seorang dari mereka, yakni si pemain bayaran memberanikan diri menggaet kaki Mohdan yang sedang berlari kencang.<br /> Akibatnya Mohdan jatuh tersungkur dengan kerasnya sampai terguling-guling. Gedebbbukk…..byurrrrr. Begitu suara yang terdengar. Tapi anehnya, Mohdan yang terjatuh tadi tidak terlihat di tengah lapangan. “Lho, kok menghilang” tanya penonton sambil mata mereka mencari-cari di mana Mohdan. <br />Selidik punya selidik, ternyata Mohdan nyungsep masuk ke kubangan kerbau. Menurut perkiraan mbah dukun, Mohdan harus dipanggilkan ambulance. Namun dugaan mbah dukun ternyata meleset karena tiba-tiba saja Mohdan bangkit, langsung pasang kuda-kuda ngeluarin silatnya. Pemain bayaran yang menggaet kaki Mohdan tadi ternganga, detik itu juga sebuah pukulan maut dengan telak mengenai rahangnya. Akibatnya, pemain yang malang itu roboh tak bangkit-bangkit lagi sampai hitungan ke sepuluh dari wasit.<br /> Si Pemain bayaran dinyatakan kalah KO dan pemenangnya Mohdan langsung mendapat hadian ‘kartu merah’, dikeluarkan dari lapangan. Mohdan protes keras, wasit dikatakannya berat sebelah. Kartu merah itupun direbut dari tangan wasit lalu dirobek. Wasit tak mau kalah. Segera ia keluarkan lagi “kartu merah” lainnya yang ternyata adalah bungkus rokok gudang garam yang sudah rada-rada ceper di kantong celananya. Mohdan masih tetap tidak terima. Hampir saja pipi montok sang wasit dihantamnya. Untunglah pada saat yang genting itu Gafan datang melerai, kalau tidak ....sudah dapat dibayangkan, panitia pertandingan akan rugi besar karena harus menanggung biaya pengobatan wasit di rumah sakit.<br /> Setelah Gafan turun tangan, Mohdan mau juga keluar dari lapangan pertandingan. Demi menghormati sang kapten, katanya. Namun sebelum keluar dari lapangan, sempat juga ia mengeluarkan ancaman-ancaman sadis untuk wasit sehingga membuat lutut beserta bulu-bulu kaki wasit gemeteran. Nampak Mohdan keluar lapangan dengan sekujur tubuh belepotan penuh lumpur hitam pekat. Dari belakang badannya lebih mirip zombi. Bahkan seorang anak kecil bilang, Mohdan mirip godzilla yang ditontonnya di VCD. Sesampainya di luar lapangan tak seorang pun yang mau mendekatinya. Malah wak dukun menyuruhnya segera menjauh karena menurutnya magicnya akan sial bila berdekatan dengan orang penuh lumpur tahi kerbau. Sungguh malang nasibnya.<br /> Pertandingan dilanjutkan kembali, pemain kedua kesebelasan kali ini sudah sama-sama lupa diri, tepatnya lupa daratan ingat lautan. Sudah tidak mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan FIFA. Mereka bermain ala kampung, bola sudah meninggalkan lapangan, namun adu betis masih tetap berlangsung. Tentu dalam hal ini Bakos-lah yang paling banyak berperan.<br /> Suatu ketika Bakos dengan sedikit agak keras mengganjal salah seorang pemain KAPUWAS sampai jungkir balik hingga menyebabkan muka pemain itu harus mampir sejenak di tumpukan tahi kerbau setengah kering yang menghiasi lapangan. Wasit meniup peluitnya sambil berlari ke arah Bakos yang sedang tertawa melihat hasil karyanya. Tawa Bakos terhenti seketika karena wasit memberinya kartu merah dan langsung mengusirnya keluar lapangan dengan tidak hormat.<br /> Bakos protes keras, “Saya mengganjelnya ndak terlalu keras pak! Tadi yang nomor 19 ngganjelnya keras, kok cuma dikasih kartu kuning ? Ndak adil dong, pokoknya saya ndak terima” ketus Bakos.<br /> “Iya pak, ndak bisa dong sembarangan kasi orang kartu merah” Gafan ikut menimpali, takut kehilangan jagonya. Begitu pula pemain-pemain KAMBER lainnya ramai-ramai ikut protes sambil mendorong-dorong tubuh wasit hingga hampir nyungsep ke semak-semak di pinggir lapangan.<br /> “Sabar, sabar dik. Masalahnya, kartu kuning saya tadi jatuh di mana ya ?” jawab wasit agak gugup sambil mencari-cari kartu kuning tersebut ke seluruh penjuru lapangan, namun tak ketemu.<br /> “Pokoknya pak, kartu merah untuk saya harus dibatalkan!!” kata Bakos keras sambil mengacung-acungkan kepalan tangannya ke hidung wasit. <br /> “Bbbaiklah....tapi kamu mesti dapat kartu peringatan, soalnya kamu sudah keterlaluan.”<br /> “Ho...ho..., ndak apa-apa yang penting ndak di kasih kartu merah.”<br />Wasit termenung sejenak, gimana ya pikirnya. Kartu yang warna kuning hilang.<br /> “Hmh...bagaimana kalau yang ini saja ?” kata wasit sambil membuka dompetnya lalu mengambil sebuah kartu berwarna kuning (kartu berobat).<br /> Bakos meneliti kartu tersebut. Tampak di situ foto wasit lengkap dengan nama istri dan anak-anaknya. Setelah dibolak-balik sebentar akhirnya Bakos mengangguk-angguk setuju. Maka resmilah Bakos mendapat kartu kuning saat itu juga.<br /> Sumpah serapahpun dihadiahkan oleh para pendukung Kes. KAPUWAS untuk wasit yang batal memberikan kartu merah buat Bakos. Sabaaaar, kata wasit.<br /> Bola kembali bergulir. Pemain KAPUWAS tiba-tiba melakukan serangan kilat, sehingga menimbulkan kemelut di depan gawang Ihsan. Hampir seluruh pemain kedua kesebelasan bergumul di situ. Suara kaki beradu cukup ramai. Kelihatan dengan jelas kaki Bakos di tendang beramai-ramai oleh pemain KAPUWAS. Rupanya mereka ingin membalas dendam atas cederanya beberapa teman mereka. Namun demikian Bakos tidak nampak kesakitan sedikitpun, malah ia berusaha membalas dengna sekuat tenaga. <br /> Sorak sorai penonton membuat Bakos makin bersemangat mengamuk. Semua kaki yang ada di depannya di tebas, tak peduli kaki teman atau lawan (pokoknya yang ada di depan). Namun tiba-tiba saja Bakos yang lagi ngamuk itu jatuh terkapar mengaduh-aduh di depan gawang Ihsan. Semua pemain terkejut, tidak menyangka kalau Bakos bisa kesakitan. Selidik punya selidik ternyata Bakos menendang tiang gawang Ihsan. Entah disengaja atau tidak, yang jelas pemain ini kalau lagi ngamuk, nendang kaki orang tidak pandang bulu. Dan kebetulan tiang gawang dari pohon pinang yang ditendangnya itu juga kelihatan berbulu.<br /> “Tuhan menunjukkan keadilanNya” guman salah seorang pemain KAPUWAS yang kelihatan sangat bersuka cita atas musibah yang menimpa Bakos. Tiada lagi yang perlu ditakuti sekarang ini pikirnya sembari sujud syukur dua kali yang diikuti oleh teman-temannya dan puluhan penonton pendukung fanatiknya.<br /> Sementara itu Bakos menggeliat-geliat kesakitan bagai cacing kepanasan. Pemain yang lain hanya bisa melongo melihat jago mereka terkapar. Tak ada yang berniat menggotongnya keluar sehingga cukup lama pertandingan jadi terhenti.<br /> Tiba-tiba dua orang penonton tak dikenal masuk ke lapangan. Kelihatannya kedua orang yang berbadan kekar dan bertato tersebut lagi geregetan.<br /> “Hey pemain loreng busuk !! Kamu pura-pura cedera ya ?!! Sengaja saja buang-buang waktu, bisa-bisa saya kalah taruhan nih !” bentaknya garang seraya keduanya memegang kaki Bakos dan menyeretnya seperti bangkai ke luar lapangan, lalu dengan seenaknya Bakos dicampakkan begitu saja di depan seorang anak kecil yang lagi kencing. Bakos berteriak-teriak menyumpahi orang tersebut yang sudah beranjak meninggalkannya.<br /> Begitu melihat jagonya tak berdaya, manajer Ali langsung memanggil mbah dukun yang sebentar lagi masa kontraknya akan habis.<br /> “Duk...(dukun), kamu mesti sembuhin kami punya jago, kalau tidak, saya potong uang kontrakmu.”<br /> “Oho..tenang saja” jawab mbah dukun sambil memijit-mijit tulang kering Bakos keras-keras. Bakos menjerit-jerit kesakitan seraya menyumpahi mbah dukun yang dikatakannya tak tahu etika pengobatan.<br /> Kelihatan mbah dukun komat-kamit, entah apa yang diucapkannya, tak seorangpun tahu, puh..puh..pruh...cuih... koeeeeek... cuh...plak...., wak dukun menyemprot-nyemprotkan liurnya ke kaki Bakos. Permen karet yang sejak tadi dikulumnya juga ikut nyemprot, membuat para pemain KAPUWAS tak dapat menahan tawa melihat aksi itu. <br />“Itu sih dukun beranak,” teriak mereka.<br /> Namun mbah dukun tetap tenang, dan ajaib sekali, Bakos tiba-tiba berhenti mengerang. Dan kini malah kelihatan bersiap-siap bangkit untuk main lagi. Pemain KAPUWAS yang tadinya gembira kini nampak ciut melihat Bakos bugar kembali dan bersiap melakukan aksi pembalasan. Padahal mereka berkeyakinan bahwa Bakos tak bakalan bisa nendang bola untuk beberapa musim kompetisi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.<br /> Begitu melihat Bakos bangkit, Ali langsung memeluknya penuh kegembiraan, “harapan kami ada di pundakmu.....eh...di betismu” kata Ali.<br /> “Cepetan dikit monyoong.......supaya cepet selesai” teriak wasit, “saya mo cepet pergi kondangan nih!!” lanjutnya.<br /> “Cepetan loreng busuk...!!” dua orang misterius tadi ikut menimpali.<br /> Bakos berlari menuju ke tengah lapangan, langsung mengamuk. Semua pemain yang menggiring bola dikejar lalu disikat bolanya beserta kakinya sekalian, sehingga banyak pemain KAPUWAS yang berloncatan seperti kutu loncat saat hendak beradu kaki dengan Bakos. Sedangkan Bakos sendiri terus saja mengamuk membabi buta....eh...membakos buta. Tendangannya pun jadi ngawur. Bila ia berlari ke arah selatan, lalu salah seorang mengover bola kepadanya, maka bola itu langsung ditendangnya keras-keras ke selatan, tak peduli itu daerah sendiri. Pendeknya Bakos menendang bola ke arah mana badannya menghadap saat itu (ciri khasnya) <br /> Ini sebenarnya yang dikhawatirkan Gafan. Cepat-cepat hendak disadarkannya Bakos. Dan ketika Gafan berlari mendekati Bakos hendak menasehatinya, hampir saja betisnya hendak dibabat oleh Bakos, karena dikira pemain KAPUWAS. Kontan saja sang kapten loncat berjumpalitan ke samping.<br /> Gafan makin bingung melihat ulah Bakos. Segera saja ia berlari mendekati menejer Alie di pinggir lapangan. Gafan minta supaya Bakos diganti saja karena nampaknya akan membawa malapetaka bagi tim mereka. Alie pun menyetujuinya. Ia segera membawa pemain cadangannya menuju ke panitia pertandingan. Setelah melapor, terdengarlah suara dari loud speaker sang reporter.<br /> “Pergantian pemain ! Pemain Kamber, Bakos, nomor punggung 5 digantikan oleh Juned nomor punggung 7. Kepada saudara Bakos silahkan enyah dari lapangan”<br /> Mendengar dirinya akan diganti, Bakos kontan protes. Ia menolak untuk diganti. Malah reporter tersebut dilemparinya dengan tanah keras. Wasit yang coba menyuruhnya keluar, langsung diancam oleh Bakos dengan mengacungkan tinju. Pokoknya Bakos tetap tidak mau keluar, padahal pemain penggantinya sudah masuk ke lapangan. Si Juned terlihat menarik-narik tangan Bakos untuk menyuruhnya keluar. Tapi Bakos tetap bertahan, malah beberapa kali tangan Juned diplintirnya dan ditendang pantatnya. Walhasil kacaulah di lapangan tersebut. Para pemain dan suporter KAMBER memerintahkan Bakos untuk keluar sambil nyumpah-nyumpah. Tapi yang anehnya justru kini pemain musuhnya yakni pemain KAPUWAS mendadak berbalik membela Bakos. Mereka menahan Bakos dan menolak Bakos untuk diganti (Lho, kok bisa). Malah mereka beramai-ramai mendatangi panitia pertandingan untuk menolak pergantian Bakos. Bakos sendiri jadi bingung. Ini yang aneh. Padahal para pemain KAPUWAS adalah musuhnya. Dan tadinya mereka begitu membenci Bakos, malah meminta supaya Bakos dikeluarkan. Tapi sekarang, justru mereka yang meminta Bakos untuk tidak diganti.<br /> “Meski kami adalah musuhmu, tapi kami prihatin dengan penggantiannmu. Kami menolak keras kalau kamu diganti !” ujar kapten Kapuwas sambil menepuk bahu Bakos. <br /> Rupanya para pemain Kapuwas sudah tahu, bahwa apabila Bakos sudah ngamuk, maka pastilah ia bakal bikin goal bunuh diri. Ini sudah jadi rahasia umum. Itu sebabnya pemain KAPUWAS bela-belain menolak penggantian Bakos. Sementara Bakos sendiri saat itu juga menolak untuk diganti. Setiap orang yang berusaha menariknya keluar, langsung saja ditendang tulang keringnya, termasuk menejer Alie. Akhirnya usaha Bakos benar-benar membuahkan hasil, ia tidak jadi diganti. Tak terkira dongkol hati Juned karena ia harus keluar lapangan lagi padahal tadinya ia sudah pemanasan dengan susah payah. Beberapa kali ia menyumpah-nyumpahi Bakos dengan kata-kata kotor. Sementara Gafan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ulah Bakos itu.<br /> Pertandingan pun kembali dilanjutkan.<br /> Suatu ketika tatkala Gafan cs melakukan serangan kilat, Bakos sempat menendang bola dengan sangat keras ke gawang musuh. Bola melesat dengan cepat dan tajam. Namun demikian bola terpental karena ditepis sang kiper dan kembali keluar kotak penalti. Bola masuk ke kubangan. Nampak terlihat di pinggir gawang dua sejoli seram mengacung-acungkan tangan terkepal ke arah Bakos. Rupanya mereka mulai marah karena Bakos menendang bola keras-keras.<br /> “Awas kalau sampai kena rumah saya lagi, mampus kamu !!” ancam suami si bibi seraya memelintir kumis melintangnya tiga kali.<br /> Para pemain KAMBER mulai ciut. Namun Bakos tetap tenang. Diambilnya bola dari dalam kubangan kerbau itu, kemudian diletakkan di atas, tepat setengah meter di luar garis. Bakos ambil ancang-ancang untuk nendang bola dengan keras. Namun sebelum menendang didekatinya bola tersebut dan diambilnya lagi. Rupanya Bakos sedang mencelupkan bola tersebut pada sisa tahi kerbau yang masih basah. Bola pun kelihatan belepotan oleh tahi kerbau.<br /> Melihat hal itu, beberapa pemain KAPUWAS yang sudah membentuk pagar betis di depan bola, kelihatan akan protes. Tapi belum sempat mereka protes, mendadak secepat kilat Bakos menendang bola penuh tahi kerbau itu dengan sangat keras.<br /> Dan tentu saja, barisan pagar betis yang sudah rapi itu pada bersibak berlarian, takut terkena tahi kerbau. Termasuk kiper KAPUWAS sendiri terlihat tiarap menyelamatkan diri. Detik itu juga bola melesat dengan kecepatan tinggi. Namun karena Bakos nendang dalam posisi agak miring, maka bola pun melesat agak miring. Ya, miring ke samping gawang dan dengan telak melesat mengenai muka suami si bibi. <br /> Mendapat hantaman bola keras itu, suami si bibi jatuh terjengkang. Kumis si suami yang telah diplintir tiga kali itupun jadi kacau balau. Bahkan tahi kerbau nampak nempel di kumis dan seluruh mukanya. Si bibi nangis histeris. Beberapa penonton di kiri kanannya terlihat menghitung-hitung seperti juri tinju. Namun karena sampai hitungan kesepuluh si suami ini tidak bangkit, maka para penonton pun menggotongnya pulang. Sementara itu si bibi karena sibuk ngurus suaminya, ia jadi tidak sempat mengejar-ngejar Bakos. Ia terlihat histeris menyebut-nyebut nama Tuhan.<br /> “Sudah !! Jangan dihiraukan. Waktunya tinggal dua menit” ujar wasit. “Ayo cepet !! Saya ada kundangan rowah nih” ulangnya.<br /> Pertandingan pun kemudian dilanjutkan lagi. Langsung terjadi serangan kilat ke daerah pertahanan KAMBER. Dan pada detik-detik terakhir terjadilah suatu kemelut di depan gawang Ihsan. Semua pemain bergumul di situ saling berebut bola. Bakospun tidak ketinggalan Berjibakutai, dan kebetulan saat itu ia menghadap ke gawangnya sendiri. Begitu datang bola ke arahnya, langsung saja ditandangnya keras-keras hingga Ihsan yang berusaha menangkap bola tersebut, jadi terpental masuk ke dalam gawang bersama bola.<br /> Gooooooll........teriak pemain KAPUWAS histeris seraya bersama-sama memeluk dan mengusung tinggi-tinggi Bakos yang tadi dibencinya. Sementara itu Ihsan menyumpah-nyumpahi Bakos tak karuan, begitu pula Ali, mbah dukun dan penonton lainnya. Bakos benar-benar jadi bulan-bulanan sumpah serapah. Semua isi satwa yang ada di kebun binatang disebut-sebut untuk menyumpahi Bakos. Sementara Bakos sendiri hanya ternganga mendengar sumpah serapah yang dibingkiskan khusus untuknya. <br /> Akhirnya saat itu juga peluit panjang berbunyi, pertandingan usai dengan kedudukan 2 - 1 untuk kekalahan kesebelasan KAMBER. Manajer Ali hanya bisa bertolak pinggang melihat kenyataan tersebut.<br /> “Bangkrut nih, manajer”, gerutunya sambil berlalu dari tempat itu tanpa menghiraukan mbah dukun yang ngomel karena uang kontraknya dibayar kurang. “Bangkrut nih menejer” ujarnya sekali lagi.<br /> Beberapa pembotoh yang kalah taruhan terlihat bergiliran menjotos kepala Bakos. “Gara-gara kamu, Brengsek” umpatnya. “Dasar loreng busuk” kata yang lain. “Loreng lu....” sambut mbah dukun yang ikutan menjotos kepala Bakos dan mengancam akan menyihir Bakos menjadi kodok.<br /> Bakos hanya ternganga. Tiba-tiba……”tunnng”, kepalanya kembali dijitak. Kali ini dengan alu sebesar lengan. Rupanya si bibi telah kembali lagi untuk membalaskan dendam suaminya.<br /><br />PERTANDINGANPUN USAI, PENONTON BUBAR SEIRING DENGAN TERDENGARNYA AZAN MAGRIB<br /> <br /> Setiba di kampung, Gafan cs kembali dielu-elukan dengan tertawaan dan siraman air comberan oleh Abah Halil sekeluarga. Malah malam itu Abah Halil langsung mengadakan syukuran besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukur atas kekalahan yang diderita Gafan cs. Siaaall.</span><span style="font-style:italic;"></span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-48842135615104622252009-03-26T03:20:00.000-07:002009-03-26T03:21:26.450-07:00PEMAIN KAMPUNG (3)<span style="font-weight:bold;">Usai acara minum-minum, Ali kembali memanggil semua pemainnya untuk diberikan penjelasan seperlunya. Para pemainnya sendiri tidak ada yang memperhatikan. Para pemain KAMBER ada yang berdiri, ada yang tiduran di rumput sambil siul-siul, ada yang hadap ke timur, utara, barat, ada yang minta dipijitin, ada yang sambil ngerokok dan ada pula yang sambil godain cewek-cewek.</span><br /><span class="fullpost"><br /> Usai acara minum-minum, Ali kembali memanggil semua pemainnya untuk diberikan penjelasan seperlunya. Para pemainnya sendiri tidak ada yang memperhatikan. Para pemain KAMBER ada yang berdiri, ada yang tiduran di rumput sambil siul-siul, ada yang hadap ke timur, utara, barat, ada yang minta dipijitin, ada yang sambil ngerokok dan ada pula yang sambil godain cewek-cewek. Tapi Ali terus saja nyerocos. Kali ini yang dijelaskan adalah asal usul sepak bola dan nama-nama kesebelasan yang pernah menjuarai Piala Dunia, mulai dari piala dunia pertama hingga seterusnya, lengkap bersama nama-nama para pemainnya yang terkena kartu merah.<br /> Wah, gawat nih menejer, pikir Gafan sembari ngeloyor menuju ke tengah lapangan meninggalkan sang menejer yang makin tidak karuan. Dan akhirnya pidato sang menejer pun terhenti seketika karena kaget oleh suara peluit wasit yang ditiup keras-keras tepat di dekat telinganya. Pemain kedua kesebelasan diminta bersiap-siap untuk babak kedua.<br /> Pemain kedua kesebelasan pun masuk ke lapangan dengan berlari. Tapi mendadak terjadi insiden di lapangan. Pemain kedua kesebelasan saling dorong, bahkan hampir saling banting.<br /> “Hey setan…ada apa nih…..!” tanya si wasit.<br /> “Ini sit (wasit).…pemain KAMBER ndak mau pindah tempat” ketus kapten KAPUWAS. “Masak dari babak pertama di sebelah timur terus” gumannya.<br /> Wasit jadi melongo. Segera ia memerintahkan pemain KAMBER pindah tempat, namun tak digubris. Wasit melotot, dibalas juga dengan pelototan. Akhirnya si wasit terpaksa memanggil Gafan sang kapten.<br /> “Perintahkan anak buahmu pindah tempat ! Segera !” bentak wasit.<br /> Mau tak mau akhirnya Gafan membujuk para pemainnya untuk pindah tempat. Sedianya para pemain KAMBER akan tetap bertahan di tempat semula. Tempat itu dirasa menguntungkan karena ada kubangannya dan dua sejoli ‘seram’ di samping gawang mereka. <br /> Namun karena perintah sang kapten yang disertai ancaman panitia untuk me-WO-kan KAMBER, maka para pemain KAMBER akhirnya mengalah.<br /> Sementara di pinggir lapangan Manajer Alie juga tak bisa berbuat banyak. Aksi tidak mau pindah tempat itu adalah ide-nya. Namun, nyaris saja ide brilliant-nya itu bikin timnya di WO. <br /> “Jangan khawatir, tembak jarak jauh saja, supaya bola ndak masuk kubangan” pesan Menejer Alie kepada para pemainnya. <br /><br /> Dan priiiiiiiiiiiiiiiiiiit.............<br />Wasit kembali meniup peluitnya keras-keras, pertandingan babak keduapun dimulai. Kali ini kedua kesebelasan tak banyak basa basi, langsung saja menyuguhkan permainan keras mereka, saling beradu kaki. Acara ini merupakan acara wajib yang tak boleh ditinggalkan begitu saja setiap ada pertandingan antar kampung (tradisi warisan katanya). Sehingga bagaimanapun kerasnya suara kaki beradu, si wasit tetap tidak menilainya sebagai suatu pelanggaran.<br /> Pertandingan makin lama makin seru, Kes. KAMBER kelihatan mulai terkurung dengan rapat, pemain-pemain belakangnya nampak kalang kabut (meskipun saat itu cuaca tidak berkabut), sorak sana sorak sini penuh kekacauan. Dan pada pertengahan babak kedua, terciptalah gol pertama bagi kesebelasan KAPUWAS. Para pendukung fanatik mereka bersorak-sorak gembira sambil menyanyikan lagu “Sorak-sorak Gembira”. Bermacam-macam ulah mereka dalam melampiaskan kegembiraannya. Ada yang jingkrak-jingkrak seperti jangkrik, ada yang jungkir balik sampai pinggangnya benar-benar ndak bisa balik. Dan ada juga yang menggoyang-goyang panggung studio mini tempat sang reporter hingga nyaris ambruk.<br /> Demikian pula dengan pemain-pemainnya, tak kalah histerisnya. Mereka pada buka baju dan melempar baju-bajunya ke udara. Walhasil, beberapa di antara baju-baju tersebut tidak jatuh-jatuh ke tanah. Setelah dilihat ke atas, ternyata baju-baju tersebut nyangkut di dahan pohon kelapa yang menjorok ke dalam lapangan. Mereka kelabakan. Akhirnya, offisialnya terpaksa meminjam beberapa kaos warna kuning milik penonton yang kebetulan baru pulang kampanye.<br /> Sementara itu pemain-pemain Kes. KAMBER hanya bisa menganga melihat gawang mereka kebobolan. Sedangkan Ichsan yang bertugas sebagai penjaga gawang harus bersabar mendengar sumpah serapah penonton yang kali itu kalah taruhan. Tampak di dekat tiang gawang, Sang menejer Ali sedang ngomelin wak dukun yang dikatakannya bekerja kurang becus.<br /> Pertandingan kembali dilanjutkan. Gafan mulai mengatur kembali anak buahnya agar tetap disiplin menjaga daerah ‘kekuasaannya’ masing-masing. Secara perlahan-lahan tapi pasti, mereka membangun serangan, walaupun lebih sering gagal dan tetap dalam keadaan terkurung. Berulang-ulang kali mereka menyerang tapi selalu kandas. Dan seperti biasa kandasnya selalu di kubangan kerbau itu. Tak jarang Gafan jadi menggerutu. Sementara kapten KAPUWAS justru cengar-cengir gembira. “Rasain….!” ejeknya.<br />Namun demikian hal itu tak membuat Gafan cs putus asa. Terus saja mereka menyerang. Tapi tentunya mereka tidak berani nendang bola keras-keras karena dua sejoli ‘seram’ masih berdiri di pinggir gawang musuh.<br />“Kalian kurang makan ya ? Koq tendangannya loyo ?!” ujar Pemain KAPUWAS mengejek Gafan cs.<br />Pemain KAMBER diam saja. Terus saja mereka mencari taktik menyerang. Tidak bisa dengan taktik yang satu, taktik yang lain dikeluarkan. Pokoknya beraneka macam taktik maupun tiktak sudah dikeluarkan, tapi belum juga pemain Kamber bisa menyamakan kedudukan. <br />Tiba-tiba, tak ada hujan tak ada badai, para pemain KAPUWAS pada berhamburan keluar seperti hendak menyerbu musuh. Bukan itu saja, para pendukung mereka pun pada berhamburan menyerbu. Mereka pada lari berhamburan menuju ke papan skor yang ada di pinggir lapangan. Papan skor tersebut diobrak-abrik dengan ganasnya. Apa pasal ?<br />Ternyata para pemain dan pendukung KAPUWAS jadi murka lantaran mereka melihat skor yang tercantum di papan itu telah berubah. Yang semula kedudukan 1 – 0 untuk kemenangan mereka, tiba-tiba berubah jadi 1 – 5 untuk kemenangan kesebelasan KAMBER. Padahal tak satupun goal yang pernah diciptakan oleh kesebelasan KAMBER. Hal itulah yang membuat mereka marah. Dan yang melakukan kejahilan tersebut tidak lain adalah Alie, sang menejer. Rupanya Alie melakukan hal tersebut karena kebetulan saat itu Ijah, gadis yang ditaksirnya, datang ke lapangan. Nah, Alie nampaknya merasa malu tim asuhannya sedang kalah. Maka dari itu ia langsung mengendap-endap di antara kerumunan penonton menuju ke papan skor. Dan tanpa ba bi bu, skor 0 – 1 dirubahnya menjadi 1 –5. Inilah yang memicu keributan. Para pemain dan suporter KAPUWAS kesana kemari mencari Alie, namun rupanya Alie sudah keburu minta perlindungan kepada sejumlah Hansip yang berjaga di situ sehingga selamatlah ia.<br />Akhirnya pertandingan pun dilanjutkan kembali. Bola mulai bergulir ke sana kemari.<br />Suatu ketika terjadilah out ball di sisi kanan pertahanan KAPUWAS. Bola dilempar ke dalam keras-keras oleh salah seorang pemain KAMBER hingga ke depan gawang musuh. Dari lemparan ini kemudian terjadi kemelut yang hebat. Semua berusaha nyundul bola. Bola melejit ke atas, disundul lagi. Belum sempat ke tanah, disundul lagi. Begitu berulang-ulang, sundul menyundul. Bahkan kiper KAPUWAS pun begitu akan dapat bola, bola tersebut tidak jadi ditangkap, melainkan disundul hingga nyaris masuk ke gawang sendiri. Akibatnya ia disumpah-serapah oleh teman-temannya. Pokoknya kemelut di depan gawang itu sungguh seru. Berbagai cara dilakukan kedua tim untuk memperebutkan bola, termasuk dengan cara saling sikut dan saling cakar.<br />Dan akhirnya berkat usaha yang gigih, para pemain KAMBER berhasil memenangkan kemelut hebat itu. Sebuah gol balasan bagi kesebelasan KAMBER tercipta secara kebetulan yang dicetak oleh Gafan melalui sundulan kepala. Kali ini giliran pendukung dan pemain KAMBER yang bersorak sorai, mereka berebutan memeluk Gafan. Padahal Gafan sendiri saat itu sedang meringis kesakitan memegang kepalanya yang beradu keras dengan bola. <br /> Sementara itu Kesebelasan KAPUWAS kelabakan. Mereka tidak nyangka kalau kesebelasan KAMBER yang sudah terkurung dengan ketat mampu mecetak gol balasan secepat itu. Mereka juga menganggap gol itu penuh kecurangan karena saat kemelut tadi para pemain KAMBER main sikut. <br /> Kapten KAPUWAS segera protes wasit prihal sikut menyikut itu. Beberapa pemain yang mukanya biru kena sikut dibawanya sebagai barang bukti. Begitu pula kipernya ikut dihadirkan dengan menunjukkan moncong hidungnya yang kena cakar.<br /> “Tuh lihat, pemain saya pada lebam. Kiper saya juga kena cakar” ujarnya. “Mereka itu pemain bola apa kucing. Kok pakai nyakar segala. Pokoknya gol ini tidak syah” lanjutnya ketus.<br /> Namun demikian wasit tidak mengindahkan protes para pemain KAPUWAS itu. Ia tetap menganggap gol itu sah. Kedudukan pun jadi satu sama.<br />Para pemain KAPUWAS jadi kecewa. Mereka terlihat saling menyalahkan, umpat mengumpat, bahkan ada yang saling caci maki. Mereka nyaris tidak bisa menerima kenyataan yang dianggapnya pahit itu. Malu rasanya gawang mereka dibobolkan oleh kesebelasan yang menurut mereka di luar hitungan. <br /> Pertandingan dilanjutkan kembali, pemain-pemain KAPUWAS kelihatan mulai mengamuk, terutama yang bernomor punggung 20, si item gosong yang tadi diuber-uber oleh perempuan pemilik rumah. Terlihat sekali si item tersebut emosi, semua kaki musuh ditebasnya. Beberapa pemain KAMBER mulai kelihatan ciut, tak terkecuali sang Kapten yang tampaknya masih sayang sama betis mulusnya.<br /> Begitu melihat gelagat kurang baik itu, Menejer Ali langsung memanggil pemain cadangannya, yakni Bakos yang lagi asyik belajar ngegelembungin permen karet bersama wak dukun.<br /> “Bakos ! Kamu siap-siap menggantikan si Odi. Pemain musuh sudah mulai ngamuk.”<br /> Tak terkira gembira hati Bakos, “Saat ini akan kutunjukkan baktiku pada kampung halaman” gumannya perlahan. Cepat-cepat dia mengenakan kostumnya yang bernomor punggung 5 sementara celananya bernomor 12. Penonton menertawakannya. Tapi Bakos cuek saja.<br /> “Tapi ingat Kos, kamu mesti bisa bikin mampus si item yang nomor 20 itu, ini target minimal” bisik manajer Ali seraya menepuk pundak Bakos.<br /> Setelah melapor pada panitia pertandingan, maka pergantian pemainpun dilakukan.<br /> “Pergantian pemain ! Pemain yang diganti harap keluar, dan pemain yang mengganti kami persilahkan memasuki tempat yang telah disediakan !!” kembali terdengar suara Reporter gadungan melalui pengeras suara yang langsung disambut oleh penonton dengan lemparan batu bata ke arahnya. Malah beberapa pemuda mulai kembali menggoyang-goyangkan panggung studio mininya. Akibatnya, panggung tersebut ambruk seketika hingga menimpa beberapa pemain cadangan dan offisial KAPUWAS yang sedang asyik ngerayu gadis-gadis di dekatnya. Sedangkan si Reporter gadungan itu sendiri melarikan diri entah kemana.<br /> Sementara itu Bakos terlihat berlari masuk lapangan diiringi tepuk tangan meriah penonton yang memberi semangat kepadanya. Cihuyyy.....pemain masa depan, sorak mereka.<br /> Kini giliran pemain KAPUWAS yang ciut nyalinya melihat keangkeran betis Bakos. Baru saja bola bergulir, tiba-tiba, “Praaaaak”. Seorang pemain KAPUWAS terjatuh menggelepar-gelepar sambil memegangi kakinya yang baru saja beradu dengan kaki Bakos. Pemain tersebut mengerang kesakitan. Namun demikian wasit masih menganggapnya sebagai pelanggaran biasa, padahal mau tak mau pemain itu harus digotong keluar lapangan.<br /> “Itu baru setengah kekuatanku, hasilnya, bisa kamu lihat sendiri, dia ndak bakalan bisa maen bola lagi seumur hidup...eh...maksudku seumur jagung” bisik Bakos pada Gafan.<br /> Dan memang, pemain yang digotong tadi dinyatakan tak mampu lagi melanjutkan pertandingan. Dan sebagai gantinya yaitu salah seorang pemain yang konon menurut desas desus merupakan pemain bayaran. Pemain bayaran ini dari jauh kelihatan “sok” betul. Kedua pergelangan tangannya pakai engkel. Di sikunya ada engkel juga. Di lengan pun demikian. Di paha ada engkel juga. Di lutut kiri-kanan, di betis, tulang kering dan kedua tumit penuh dengan engkel. Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi engkel. Hanya mulutnya saja yang tidak diberi engkel. Dan dari awal pertandingan tak henti-hentinya ia pemanasan. Mulai dari lari-lari kenceng, split, push up, sit up, bahkan sampai nendang-nendang tinggi-tinggi segala bak pesilat. Tapi ketika gilirannya akan main, tiba-tiba saja pemain bayaran itu tampak takut memasuki lapangan setelah melihat tragedi yang menimpa temannya tadi.<br /> “Penyakit asma-ku kambuh lagi nih” katanya berbohong sambil memegang perutnya.<br /> “Aahh...alasan saja, cepet sana !!” bentak pelatihnya. Tapi si pemain bayaran masih bandel juga, benar-benar ketakutan tampaknya.<br /> Akhirnya setelah dipaksa dengan agak keras oleh pelatihnya dan didorong-dorong oleh petugas hansip ditambah lagi ancaman dari puluhan penonton, pemain itupun terpaksa masuk lapangan. Sambil masuk lapangan terlihat mulutnya komat-kamit. Rupanya ia sedang membaca doa-doa yang pernah diberikan almarhum engkongnya. <br /> Pertandingan kembali dilanjutkan. Kedua kesebelasan sama-sama mengamuk, saling tebas kaki dengan kerasnya. Tapi belum ada yang berani coba-coba menebas kaki Bakos. Penonton bersorak-sorak gegap gempita membuat pemain kedua kesebelasan tambah bersemangat untuk saling mencederai lawannya. Hingga suatu saat terjadilah sebuah kemelut di depan gawang Ihsan (mbah dukun sibuknya bukan main). Debu-debu mengepul tebal di depan gawang tersebut sehingga wasit tidak bisa melihat dengan jelas pemain-pemain kedua kesebelasan. Hanya suara kaki beradu saja yang terdengar, “prok, prak, prok, ctak, buuggg,.......adddoooowww” teriak salah seorang pemain. Wasit cepat-cepat meniup peluitnya. pertandinganpun terhenti seketika.<br /> Di tengah kepulan debu terlihat dengan samar-samar seorang pemain KAPUWAS yang bernomor punggung 20 terkapar sambil tangan kanannya memegangi tulang keringnya sedang tangan kiri memegangi punggungnya yang katanya kena gebuk. Entah siapa yang melakukannya, yang jelas pasti perbuatan tangan-tangan tak bertanggung jawab. Wasit jadi iba melihatnya. Namun demikian sejenak wasit melongo. Rupanya ia terheran-heran, sebab setahunya pemain No 20 itu tadinya berkulit item, sekarang kok putih semua. Bahkan sampai rambutnya pun putih. <br /> “Lho, kok berubah jadi pemain tionghoa ?” tanya wasit dengan nada tidak jelas, antara guyon dan serius.<br /> “Kok nanya begitu ?” tanya kapten KAPUWAS.<br /> “Lha ini, mukanya putih, padahal tadi item”<br /> “Saudara ngejek ya ? Dia kan kena debu” ketus sang kapten. “Sudahlah, jangan banyak tanya. Cari sana siapa yang gebuk punggungnya !!” lanjut sang kapten.<br /> “Oh ya, Siapa yang memukul punggungnya hah ?! Ayo ngaku !!” bentak wasit garang dengan tatapan nanar ke semua pemain.<br /> Tentu saja tak seorangpun yang mengaku. Tapi tiba-tiba salah seorang penonton di dekat situ berteriak, “ Itu pak....yang betisnya loreng-loreng” teriak penonton tersebut sambil menunjuk ke arah Bakos.<br /> Wasit menatap Bakos yang lagi ternganga, “Hm...sudah saya duga pasti kamu yang punya perbuatan” kata wasit sembari bersiap-siap mengeluarkan kartu merah dan hendak mengusir Bakos dari lapangan.<br /> “Bohong pak, saya ndak pernah, berani sumpah” kata Bakos membela diri menyalami wasit untuk ngajak bersumpah. Mendengar itu, wasit jadi ragu-ragu mengeluarkan Bakos dari lapangan.<br /> Tiba-tiba Gafan menengahi, “Sudahlah pak, tadi itu kan keadaannya tidak memungkinkan untuk melihat mana kawan, mana lawan. Nah siapa tahu dia digebuk kawannya sendiri. Jangan percaya sama penonton dong pak, tapi percayakan saja pada Biogesick......eh....maksud saya percaya pada diri sendiri.”<br /> Wasit manggut-manggut mendengar kata Gafan sehingga mau tak mau ia harus mengurungkan niatnya untuk mengusir Bakos, padahal semua orang tahu kalau itu ‘hasil karya’ Bakos.<br /> “Tapi saya ingatkan kepada semua pemain, hanya kaki saja yang boleh main, tangan tidak boleh” ucap wasit memberi peringatan kepada pemain kedua kesebelasan.”Mengerti semua ?!” lanjutnya. Namun semua pemain tak ada yang menjawab, tampaknya tidak setuju. Wasit jadi kecele.<br /> Sementara itu pemain nomor 20 yang masih tertelungkup belum digotong ke luar lapangan. Tak henti-hentinya ia memohon pada wasit supaya Bakos diusir saja dari lapangan. Wasit belum bereaksi. Malah si wasit kembali mengamat-amati pemain nomor 20 itu dengan agak terheran-heran. Wajah dan rambut pemain tersebut terlihat makin putih terkena debu. Karena tambah berguling-guling. Malah hidung dan mulutnya kini penuh kemasukan debu.<br /> “Saya yakin pak dunia akhirat, dia yang gebuk punggung saya ... uhuk.....uhuk...” kata pemain tersebut di sela isak tangisnya. ”Keluarkan saja pak, kerjanya cuma merusak generasi penerus bangsa ihik....ihik...” lanjutnya sembari menunjuk Bakos yang sedang merapikan bulu-bulu betisnya yang sempat teracak-acak oleh peristiwa tadi.<br /> Tapi wasit tidak menghiraukan sama sekali permohonan pemain tersebut yang akhirnya menangis meraung-raung. Tiba-tiba pelatihnya masuk lapangan. Roman mukanya kelihatan sedih karena ‘jagonya’ dikalahkan ‘jago’ kesebelasan KAMBER.<br /> “Kasihan kamu Jo......” katanya kepada jagonya yang konon mempunyai nama lengkap MaraJOna, tapi dipanggil JO.<br /> “Sudahlah pak, jangan sedih, kan masih ada pemain cadangannya” hibur wasit pada pelatih itu.<br /> “Bagaimana saya tidak sedih pak, kalau dia ndak bisa jalan seperti ini, siapa yang akan carikan nafkah untuk anak istrinya ?” ujar pelatihnya dengan agak ketus.<br /> “Haah...?! Jadi dia sudah punya anak ?!” Kata wasit melotot. “Di sini yang boleh main hanya yang di bawah umur 18 tahun, belom kawin dan orang Indonesia asli, bukan tionghoa…eh..Sorry. kalau begitu pemain ini tidak saya perbolehkan melanjutkan pertandingan, harus diganti !!” bentaknya lagi. “Cepat keluarkan !! Aku tak sudi melihatnya lagi” lanjutnya dengan kata-kata yang agak dramatis. <br />Dan akhirnya pemain yang malang itupun digotong beramai-ramai keluar lapangan.</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-6981777856786684792009-03-26T03:17:00.000-07:002009-03-26T03:19:19.621-07:00PEMAIN KAMPUNG (2)<span style="font-weight:bold;">SORENYA..<br /> Usai solat ashar para pemain KAMBER berangkat menuju lapangan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari kampung mereka. Kepergian mereka diiringi dengan ejekan dan sorak sorai gegap gempita dari Abah Halil dan keluarganya.<span style="font-weight:bold;"></span></span> <span class="fullpost"><br /> SORENYA..<br /> Usai solat ashar para pemain KAMBER berangkat menuju lapangan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari kampung mereka. Kepergian mereka diiringi dengan ejekan dan sorak sorai gegap gempita dari Abah Halil dan keluarganya. Mereka semua serempak menengadahkan tangan berdo’a agar Gafan cs kalah sebanyak-banyaknya dan cedera sepatah-patahnya. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka bukannya diiringi dengan taburan dan lemparan bunga maupun kembang, melainkan mereka dilempari dengan kembang.........api, sehingga nyaris membuat kumis ‘ampik’ Bakos yang sudah tertata rapi jadi kebakaran. Namun untung bibi anah cepat-cepat menyiram kumis Bakos dengan air cucian ikan tongkol yang akan dibuangnya ke kebun.<br /> Walaupun begitu berat cobaan dan rintangan yang mereka hadapi, namun mereka tetap tegar. “Jangan ciut kita di jalan yang benar....Allahu akbar”, kata Menejer Ali menghibur sembari terus melangkah tegap dengan membawa bendera kebanggaan Kesebelasan KAMBER yang bergambar orang sedang mancing di atas perahu (maklum kampung nelayan). Dengan bernyanyi Halo-Halo Bandung Ali memimpin para pemainnya berjalan melewati pematang-pematang sawah yang rumputnya telah mulai menguning. Sementara padinya pun sudah menguning pula, hanya saja bukan karena mendekati panen, melainkan karena kurang air akibat kemarau panjang.<br /> Sorak sorai penonton riuh rendah ketika para pemain Kesebelasan KAMBER tiba di lapangan yang sebenarnya belum memenuhi syarat untuk disebut lapangan. Bayangkan saja, yang dijadikan lapangan adalah dua petak sawah kering yang mengalami kegagalan panen. Malah di separuh bagian lapangan itu masih terdapat sisa-sisa padi yang rupanya enggan untuk dipanen si empu sawah. Yang lebih menyakitkan, debu di lapangan tersebut tebalnya minta ampun, hampir setinggi mata kaki. Baru lari sedikit saja, kontan debu tersebut mengepul seperti asap kebakaran. Dan hebatnya lagi, di salah satu sudut lapangan, tepatnya di depan kotak pinalti, terdapat kubangan kerbau masih berlumpur. Dalamnya lumayan, sekitar setengah meter. “Kalau bola masuk ke sana, berarti out !” ujar panitia pertandingan.<br /> “Kesebelasan KAMBER memasuki lapangan”, ucap sang MC melalui pengeras suara, “hadirin yang duduk dipersilahkan berdiri, dan hadirin yang berdiri dipersilahkan duduk !!” lanjutnya.<br /> Kontan saja terdengar teriakan jengkel dari penonton kepada sang MC. Malah beberapa kali terlihat batu bata melayang di atas poskonya yang berbentuk panggung terbuat dari bambu dan dikatakannya sebagai ‘studio mini’. “Penonton harap tenang” ujarnya lagi, “Di sini reporter anda, reporter kenamaan dari salah satu TV swasta akan melaporkan jalannya pertandingan yang..........” baru sampai di situ bualan sang reporter, puluhan batu-bata kembali melayang ke ‘studio mininya’, sehingga iapun mengurungkan niat untuk membual lebih banyak.<br /> Sementara itu setelah istirahat sejenak, Ali memanggil seluruh pemainnya, setelah itu iapun membagi-bagikan es mambo setengah encer yang diambil dari kulkas di rumahnya. Semula tak seorang pemainpun yang mau menerimanya karena mereka sudah tahu kalau es tersebut adalah sisa-sisa es yang tidak laku dijual. Tapi Ali tak kehabisan akal, dikatakannya bahwa es miliknya sudah ‘diisi’ dengan berbagai jampi-jampi agar betis tak kesakitan bila ditendang. Dan akhirnya dengan terpaksa pemain Kesebelasan KAMBER pun memakan es tersebut. Sedangkan Ali sendiri mulai memberikan pengarahan-pengarahan dengan gaya seorang pelatih profesional. <br />Lagaknya benar-benar over acting. Sesekali langkahnya ke kanan, sesekali kekiri. Kadang mundur, kadang maju menirukan gerak pelatih-pelatih tim piala dunia. Namun tiba- tiba saja langkah kaki Alie tertahan. Selidik punya selidik, ternyata kakinya tertahan karena menginjak tahi kerbau tebal dan hangat yang ada di situ.<br />“Brengsek !” gerutunya sambil mengusap-usap kakinya di rerumputan.<br />Usai membersihkan kakinya, Alie kembali menjelaskan berbagai hal kepada para pemainnya. Yang dijelaskan bukannya taktik ataupun strategi, melainkan nama-nama kesebelasan Galatama yang menjadi juara tiap tahun, lengkap bersama nama pemain pencetak golnya. Walhasil pemain-pemain Kes. KAMBER hanya bisa melongo dan................... ......................priiiiiiiiiiiiiiiiiiiitt.<br /> Wasit meniup peluitnya memanggil pemain kedua kesebelasan untuk bersiap-siap. Wasitnya cukup aneh, pakai sarung dan peci. Kata orang ia baru pulang kenduri (begawe) lalu di-stop di tengah jalan dan dipaksa memimpin pertandingan. Tapi sebagian golongan mengatakan bahwa ia wasit utusan FIFA. “Ah persetan....” kata menejer Ali.<br /> “Nah saya ucapkan selamat bertanding, moga-moga ndak kalah terlalu banyak,.....dan ente mbah dukun jangan jauh-jauh dari gawang Ihsan, biar bisa ngontrol” pesan sang menejer kepada mbah dukun dan para pemainnya yang kelihatan sudah ‘shock berat’ dan perut mereka agak mules akibat es basi tadi.<br /> Tepat pukul empat arloji wasit (arloji penonton sudah setengah lima) pertandingan secara resmi dimulai oleh wasit dengan meniup peluitnya sekeras mungkin hingga terlempar dari mulutnya.<br /> Kesebelasan KAPUWAS yang menggunakan kostum kuning-kuning (kaos Golkar yang di-wantex) mendapat kesempatan bola pertama. Bola bergulir dari kaki ke kaki pemainnya, tendang kiri over ke kanan, tendang kanan over ke kiri, begitu seterusnya kurang lebih 20 menit sampai suatu ketika salah seorang pemain KAPUWAS menendang bola dengan kerasnya hingga mengenai peci sang wasit. Peci tersebut terpental seketika. Akibatnya, tiba-tiba saja rambut wasit tergerai, dan Masya Allah…….rambut si wasit ternyata panjang juga. Panjangnya hingga melewati punggung. Rupanya rambut panjang si wasit tadi di-buntel di dalam pecinya.<br /> “You ini wasit apa Rud Gullit. Yang bener dong !! Masak wasit gondrong. Mestinya ‘kan botak” kata seorang pemain Kapuwas. “Sana ! potong rambut dulu” lanjutnya.<br /> “Ss..sorry, tidak bisa. Istri saya lagi hamil” jawab wasit sambil kembali memasang pecinya. “Ayo, main lagi ! Priiitt”<br /> Pertandingan pun kembali dilanjutkan. Bola masih dikuasai oleh para pemain Kapuwas. Mereka nampaknya berbakat benar memainkan bola. Tendangan mereka rata-rata sangat keras. Apalagi kalau hendak menendang ke arah gawang Ichan, wadduh kerasnya minta ampun. Beberapa orang pemain belakang KAMBER sempat kedat-kedut karena hampir saja tendangan keras pemain KAPUWAS mengenai kepala mereka. Beberapa di antara mereka malah memijit-mijit telinganya. Rupanya bola sempat nyerempet telinganya sehingga menyisakan bunyi nguiiiiiing.<br /> Tapi untung saja di daerah pertahanan anak buah Gafan terdapat kubangan kerbau, tepatnya satu meter di luar kotak pinalti. Kubangan ini cukup membantu karena tak jarang bola-bola umpan kilat pemain KAPUWAS tiba-tiba masuk ke kubangan. Hal tersebut terjadi berulang-ulang sehingga para pemain KAPUWAS jadi jengkel. Akhirnya mereka memutuskan untuk menembak dari jarak jauh saja.<br /> Dan benar saja, suatu ketika mereka menembak bola dari jarak jauh dengan keras. Akibatnya bola melambung jauh keluar lapangan menimpa salah satu atap dapur penduduk. Bola tersebut dengan sukses menjebol atap dan membuat berantakan seisi dapur.<br /> “Bangsaaaaat......kurang ajaaaaaarr....!” terdengar sumpah serapah dari dalam dapur. Lalu tampak keluar seorang perempuan dengan muka bengis memegang alu (geneng) menuju ke arah lapangan. Semua mata tertuju padanya. “Siapa yang menendang bola ke arah dapurku ?! Kamu ya ?!” tanyanya galak kepada Ali.<br /> “Bbbbbbbukan bi.....bukan saya, itu tuh yang nendang, yang kaosnya hijau nomer 20, yang mukanya item gosong” jawab Ali gugup sambil siap lari karena ketakutan melihat alu yang hampir saja mendarat di jidat kebanggaannya.<br /> Perempuan itu berpaling ke arah pemain yang ditunjuk Ali. Tatapan matanya tajam. Seketika itu juga ia mengejar pemain bermuka gosong tesebut ke tengah lapangan sambil mengacung-acungkan alu di tangannya. Kejar mengejarpun berlangsung dengan serunya di bawah sorak sorai penonton. Tak terkira takut pemain tersebut. Beberapa kali ia menjerit menyebut nama Tuhan tatkala alu sebesar lengan orang dewasa itu hampir saja singgah di pinggangnya.<br /> Mau tak mau panitia pertandingan turun tangan. Beberapa orang hansip terlihat berusaha melerai dengan mengacung-acungkan pentungnya. Namun si perempuan tadi karena merasa alu yang di bawanya lebih besar dari pentungan pak Hansip, maka hansip itupun dibabatnya. Langsung saja hansip-hansip tersebut pada kabur tak mau ambil resiko. Sementara pemain item gosong yang jadi incaran, terpaksa disembunyikan oleh panitia tak jauh dari situ, yakni di sebuah semak belukar yang merupakan WC umum penduduk setempat.<br />Keadaan kembali reda setelah si perempuan tiba-tiba balik menuju rumahnya dengan tergesa-gesa tatkala tercium olehnya bau nasi gosong. Pertandinganpun kembali dilanjutkan. Bola kembali bergulir, kali ini dikuasai oleh para pemain KAMBER yang kelihatannya mulai membangun jembatan.....eh.…membangun serangan. Namun serangan-serangan Kesebelasan KAMBER selalu berhasil dipatahkan oleh pemain belakang Kesebelasan KAPUWAS. Lalu gantian kesebelasan KAPUWAS balas menyerang, namun berhasil pula dipatahkan oleh kesebelasan Kamber. Begitu seterusnya saling menyerang silih berganti. <br />Suatu ketika para pemain KAPUWAS mendadak merubah taktik bermain. Serangan mereka bergelombang dengan berbagai trik. Hampir seluruh pemainnya dikerahkan menyerang. Bahkan kipernya pun ikutan maju menyerang. Mereka menyerang bak air bah sambil bersorak-sorak riuh rendah. Hal ini ternyata berhasil membuat pemain KAMBER kocar-kacir kebingungan. Bahkan ada yang merasa gentar dengan suasana riuh rendah tersebut.<br />Para pemain KAPUWAS terus saja menyerang. Tendangan mereka ke arah gawang Ichsan sering kelewat keras. Sampai-sampai para penonton yang ada di kiri kanan gawang tersebut pada bersibak menyelamatkan diri karena ketakutan terkena bola melenceng. Namun mendadak beberapa saat setelah itu, tendangan para pemain KAPUWAS jadi lemah lunglai seakan tak bertenaga. Beberapa kali tendangan mereka bisa ditangkap oleh kiper Ichsan dengan sebelah tangan. Itupun si Ichan sambil cengir ngejek. Orang-orang mengira bahwa itu adalah hasil kerja mbah dukun. Tapi ternyata tidak. <br />Para pemain KAPUWAS ternyata tiba-tiba merasa takut nendang bola keras-keras ke arah gawang Ichsan. Pasalnya, bibi yang tadi ketiban rumahnya oleh bola, kini kembali lagi dan berdiri di pinggir lapangan, persis di dekat gawang Ichsan. Dan tak tanggung-tanggung, ia dikawal oleh suaminya yang berperawakan tinggi besar dan berkumis tebal melintang. Kedua makhluk seram itu tetap berdiri di situ seraya memelototi setiap pemain KAPUWAS yang hendak menendang bola. Akibat hal tersebut, praktis pemain KAPUWAS tak berani nendang bola keras-keras karena takut bola kembali mengenai rumah si bibi. Apalagi sampai melenceng mengenai si bibi dan suaminya yang berdiri di dekat tiang gawang.<br />Kehadiran si bibi dan suaminya itu tentu saja menguntungkan pemain KAMBER. Melihat hal itu Gafan cs malah menantang pemain KAPUWAS untuk nendang keras-keras. <br />“Kalian kurang makan ya ? Koq, tendangannya loyo ?” ujar Gafan mengejek pemain KAPUWAS. <br />Diejek begitu, para pemain KAPUWAS ubah strategi lagi. Mereka memancing para pemain KAMBER untuk adu kekuatan di tengah lapangan. <br />“Sekarang ndak usah nyetak gol dululah” ujar kapten KAPUWAS. “Ntar…babak kedua, pindah tempat, rasain lu” lanjutnya.<br />Akhirnya sejak saat itu pemain KAPUWAS hanya berani berkutak-katik di tengah lapangan saja. Sementara Gafan cs justru punya kesempatan menyerang. Serangan pun mereka lakukan berulang kali. <br /> Lama kelamaan pertandingan semakin seru, bahkan kedua kesebelasan sudah mulai memperagakan permainan khas mereka (permainan ala kampung, tau kan). Walau demikian belum ada seorang pemainpun yang sampai digotong keluar lapangan. Konon masing-masing pemain punya ‘bawaan’ sendiri-sendiri.<br /> Tapi permainan keras tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba wasit membunyikan peluit panjangnya pertanda babak pertama telah usai, tepat pada saat Gafan akan mencetak gol. Gol pun batal. Tak terbayang kecewa dan dongkolnya hati sang kapten.<br /> “Lho pak, rasa-rasanya waktunya belum cukup 45 menit” protes Gafan pada wasit.<br /> “Ssssssttt......perut saya mual nih, pingin buang air besar” jawab wasit sambil setengah berlari menuju ke sungai kecil (telabah) di pinggir lapangan. Telabah tersebut kelihatan ramai oleh pemain kedua kesebelasan yang turun minum (biasa...pemain kampung turun minum ke telabah). Wasit yang sudah tak tahan itu langsung saja nyebur ke telabah dan ‘ngebom’ sepuas-puasnya tanpa menghiraukan para pemain yang mencaci-makinya karena mencemarkan air sungai.<br /> Gafan yang melihat hal tersebut mengurungkan niatnya minum di situ, ia melangkah ke bagian hulu sungai yang belum tercemar. Setelah minum puas-puas, sedianya Gafan mau ‘ngebom’ juga sebentar, perutnya terasa agak mules karena tadi makan es yang diberikan oleh sang menejer. Tapi baru saja Gafan akan melaksanakan niatnya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara sang wasit membentak-bentak garang kepadanya.<br /> “Hey monyet....jangan berak di depan saya ! Pindah sana ke belakang !!” teriaknya geram.<br /> “Lho, ini ‘kan sungai ciptaan Tuhan pak” jawab Gafan tenang dan langsung ambil ancang-ancang mau buang air. Teman-temannyapun pada berdatangan juga hendak buang air. Rupanya mereka mules semua akibat es basi sang menejer.<br /> “E..e..e..awas ya, yang coba-coba melanggar saya kasi kartu kuning” gertaknya sambil merogoh saku celananya dan memperlihatkan kartu kuning yang sudah kecipratan ‘kuning’-nya kotoran sang wasit.<br /> Langsung saja Gafan cs mengurungkan niatnya, geram benar hatinya karena sudah dua kali sang wasit merugikan dirinya.<br /> “Mudah-mudahan wasit kita ini diterkam buaya”<br /> “Amiiiin” jawab yang lain serempak, namun tak membuat wasit bergeming dari tempat ‘pengebomannya’.</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-24796446046884220682009-03-26T03:00:00.000-07:002009-03-26T03:16:22.637-07:00PEMAIN KAMPUNG (1)<span style="font-weight:bold;">Kisah ini ditulis oleh ex. kapten kesebelasan The Dream Team dari sebuah kampung nan hijau di Pulau Lombok. Kisah ini setengah fiktif. Jadi, kesamaan nama pelaku, peristiwa dan tempat kejadian hanya ‘setengah’ kebetulan saja.</span><br /><span class="fullpost"><br /> Gafan memacu motor bebeknya dengan cepat di jalanan kampung nan berdebu itu. Seperti ada sesuatu yang sedang dikejarnya. Beberapa orang penduduk yang kebetulan berpapasan dengan motor Gafan, cepat-cepat melompat ke samping menghindari kepulan debu di sepanjang jalan tersebut. Namun walau sudah berusaha sejauh mungkin menghindar, debu-debu tetap mengerubungi mereka.<br /> Caci makianpun akhirnya terlontar untuk si pengendara motor yang masih dalam pakaian es-em-a-nya. Orang-orang tersebut pada mengipas-ngipasi debu di hadapan mereka yang tampaknya belum puas bersilaturrahmi dengan daki-daki di tubuh itu.<br /> Sementara itu Gafan terus saja memacu motornya dengan cepat. Sesampainya di sebuah tikungan, dengan gaya seorang pembalap, Gafan membelokkan motornya dengan tajam, walhasil hampir saja ia menabrak Abah Halil yang lagi berbicang-bincang di tengah jalan dengan Pak RT dan dua orang Hansipnya. Namun untung saja mereka cepat menghindar, hanya Abah Halil saja yang agak lambat gerakannya sehingga ujung sorbannya sempat tergaet stang motor Gafan.<br /> “Masya Allah” pekiknya kaget.<br />Pak RT cepat-cepat memegangi badan Abah Halil yang kelihatan sempoyongan. Sementara kedua hansip itu berusaha mengejar motor Gafan sambil seperti biasa mengacung-acungkan pentungnya. Namun motor Gafan melaju semakin mantap membuat pengejarnya ngos-ngosan. Merasa tak ada gunanya lagi melakukan pengejaran, maka kedua Hansip itupaun kembali ke tempat Pak RT yang kelihatan samar-samar di antara kepulan debu sedang memegangi Abah Halil yang tak henti-hentinya mengucapkan kalimah-kalimah toyyibah.<br /> “Ndak apa-apa kan Bah ?” tanya Pak RT dengan nada khawatir.<br /> “Alhamdulillah, Tuhan masih melindungi saya,.....tttapi....buku saya....”ucapannya tertahan manakala ia melihat buku-bukunya yang berserakan di tanah dengan kertas-kertas berhamburan.<br /> Pak RT tertegun, kasihan juga dia melihat Abah yang malang itu. “Biarlah nanti saya yang menggantinya. Nanti saya belikan buku yang lebih bagus “ kata Pak RT menghibur.<br /> “Tapi pak........”<br /> “Aaah ...sudahlah, Bah, harga buku ndak seberapa, nanti saya belikan yang lebih baru dan lebih tebal”<br /> “Tapi pak,... di dalam buku itu ada catatan hutang-hutang saya.”<br /> “Haaah........” Pak RT ternganga. “Eh Hansip, cepat pungutkan Abah Halil buku-bukunya ! Atur yang rapi kertasnya, tuh di sana selembar, di comberan selembar, cepat !”perintah Pak RT.<br />Kedua Hansip itupun dengan cepat mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan. Tak terkira dongkolnya hati mereka.<br /> Sementara itu seperti tidak pernah terjadi suatu apapun Gafan tetap memacu motornya bagai seorang pembalap. Sampai ketika terdengar seseorang memanggil-maggil namanya, Gafan menginjak rem motornya keras-keras.<br /> Siiiiiiiiit.....suaranya begitu keras sampai-sampai seekor sapi yang kebetulan sedang digembalakan di dekat tempat itu lari tunggang langgang hingga masuk ke halaman masjid yang mengakibatkan beberapa orang yang lagi tidur-tiduran di emperan depan masjid jadi bubar ketakutan.<br /> Sedangkan Gafan sendiri juga terpaksa harus menggeret motornya yang punya semboyan Sekali mati Tak mau hidup lagi, yeaah. Sambil berjalan perlahan ia mencari-cari arah suara yang tadi memanggilnya. Dari kejauhan dilihatnya seseorang berlari-lari ke arahnya yang ternyata adalah Ali, teman seperjuangannya.<br /> “Kebetulan sekali, saya lagi nyari kamu,” kata Gafan mendahului.<br /> “Ada apa nyari saya ? Mau nebus celana kamu ya ? Jangan sekarang dong..., kan masa gadainya masih satu minggu lagi” kata Ali dengan nada dikeras-kerasin.<br /> Tak terkira kesel dan malunya Gafan, karena kata-kata tersebut diucapkan pas ketika Si Ijah lewat di hadapannya. Konon Gafan lagi kesengsem berat sama anak Juragan Tempe ini, namun selalu mendapat jegalan dari Ali yang juga pernah jatuh cinta pada Ijah namun ditolak mentah-mentah karena Ali dianggapnya terlalu sering ngutang tempe. Sementara Gafan sendiri beberapa waktu lalu pernah coba-coba ‘ngirim seulas senyum’ dari jauh, dan nampaknya ada respon walaupun sedikit. Hal ini membuat Gafan lebih bergairah untuk ‘mengkampanyekan’ dirinya. Namun di lain pihak Ali justru ingin menjatuhkan Gafan di mata dunia.....eh...di mata Ijah. Berbagai cara dilakukannya, termasuk seperti membeberkan ikhwal gadai menggadai celana seperti yang terjadi pagi itu. Hampir saja kepala Ali yang rada-rada salah bentuk itu dibenturkannya di stang motornya. Namun cepat-cepat ditenangkan hatinya karena mengingat misi khusus yang sedang diembannya.<br /> “Ada perlu apa sih, nyari saya ?” tanya Ali lagi sambil tersenyum-senyum puas setelah melihat Ijah monyongkan bibirnya.<br /> Tanpa banyak bicara, Gafan menyodorkan selembar kertas pada Ali, lalu Ali membacanya berulang-ulang. Setelah agak lama iapun mengangguk-angguk.<br /> “Mau maen bola ? Dalam rangka apa, kok ndak dijelaskan ?” tanya Ali sambil mengembalikan surat tersebut.<br /> “Biasa.....Kambing CUP, dalam rangka memeriahkan hari EL-KA-EM-DE”<br /> “Tapi kok mendadak benar bertandingnya, nanti sore ?”<br /> “Ya..itulah sebabnya saya cari kamu.”<br /> “Lho kok saya ? Saya kan ndak bisa maen bola”<br /> Gafan tertegun sejenak, lalu mulai angkat bicara, “Tim kitakan ndak ada pengurusnya, jadi mumpung kamu ndak terpakai jadi pemain, ya....jadi pengurus saja, mau kan ?”<br /> Ali manggut-manggut, “kalau jadi pengurus....sebutannya kurang keren, bagaimana kalau saya jadi menejer saja”.<br /> “Yaa, terserah kamulah, mau sebutan menejer, pelatih, opisial dan sebagainya, yang penting tugas kamu ngurusin kesebelasan kita” ketus Gafan.<br /> “Tapi apa saja tugas saya nanti ?”<br /> “Tugas kamu antara lain, ngasih tahu pemain-pemain kita bahwa nanti sore kita akan bertanding melawan Kesebelasan KAPUWAS (Kalah Pukul Wasit). Di samping itu kau mesti beri petunjuk dan pengarahan-pengarahan pada temen-temen, mereka itu kan banyak yang buta huruf, ndak tahu namanya offside, freekick dan sejenisnya. Selain itu kamu mesti cari pinjeman kostum, dan yang lebih penting...taktik yang jitu.”<br /> “Ali mengangguk-angguk, “oho.. kalau masalah taktik, itu sih memang bagian saya, biar ndak bisa maen, tapi masalah tak tik dan strategi percayakan saja pada ..AAALIIIII...” katanya sambil menepuk dada.<br /> Kini giliran Gafan mengangguk-angguk. memang, selama ini taktik yang berikan oleh Ali tak usah diragukan lagi. Selama Ali mengomandoi kesebelasan kampung Gafan yang bernama Kesebelasan KAMBER (Kalah-Menang Berantem), kesebelasan tersebut tak pernah dikalahkan oleh kesebelasan manapun ........di bawah lima gol.<br /> “Tapi kalau kostumnya kita minjam di mana ya ?” Ali.<br /> “Kamu bisa pinjam sama kesebelasan Kakalo (Kalah Kalah Lonto) yang kemarin kalah lagi dalam pertandingan persahabatan melawan Kesebelasan BICAS (Biar Curang Asal Menang).<br /> “Baiklah kalau begitu, sekarang saya mau kasi tahu temen-temen dulu,” kata Ali, “nanti habis zohor kita ketemu di masjid” lanjutnya sambil ngeloyor pergi meninggalkan Gafan yang terseok-seok menggiring motornya.<br /><br /> Usai Zohor di Masjid<br /><br /> Usai sholat zohor seperti janji semula Ali dan Gafan bertemu di masid.<br /> “Bagaimana Li, teman-teman sudah diberi tahu ? tanya Gafan.<br /> “Sudah...sudah semua, tapi mereka nampaknya belum siap betul, habis, beritanya mendadak.”<br /> Gafan menarik nafas panjang, dalam hati ia mengumpat Pak Kades yang terlambat memberinya informasi.<br /> “Bagaimana kalau kita liat-liat dulu persiapan temen-temen ?”<br /> “Boleh” jawab Ali pendek.<br /> Maka kedua makhluk ciptaan Tuhan itupun berlalu dari masjid tersebut guna melihat kegiatan pemain-pemain mereka. Satu demi satu rumah-rumah para pemain Kamber mereka datangi, tampaknya mereka sibuk semua.<br /> Mohdan, salah seorang penyerang tengah, tampak sibuk mengulang-ulang jurus silatnya, soalnya pemain yang satu ini setiap ada pertandingan antar kampung, pasti berkelahi. Jadi yang dilatih bukan strategi maen bola, melainkan jurus-jurus andalan perguruan silatnya.<br /> Setelah berlalu dari rumah Mohdan, mereka berdua menuju rumah Bakos yang dikelilingi pagar bambu. Kelihatan dari luar Bakos sedang mengelus-elus dengan minyak goreng betisnya yang berbulu keriting. Di sekeliling betis itu dipenuhi oleh belang-belang loreng hitam bekas koreng. Sungguh tak sedap dipandang mata, angker tuh betis. Konon, menurut catatan ‘Sang Menejer’, Bakos yang berbadan agak gemuk dan montok ini akan diturunkan apabila pemain musuh sudah bemain kasar. Hal ini disebabkan karena kekuatan betis bakos tiada tandingannya. No Strenght Like It, kata seorang pemain bule yang pernah beradu kaki dengannya. Tulang keringnya bagai batu, kerrras. Belum pernah ada seorang pemain pun yang berani coba bikin sensasi dengan cara adu kaki dengannya.<br /> Hanya saja kelemahannya, bila ia sedang mengamuk di tengah lapangan, lalu datang bola ke arahnya, maka dengan seketika ia akan menendang bola tersebut keras-keras ke depan. Tak peduli di depan itu adalah gawangnya sendiri. Pokoknya ke mana saja ia menghadap, bola akan ditendangnya seketika ke sana. Bila ia menghadap selatan, maka bola ditendangnya ke selatan, begitu pula sebaliknya. Konon kelemahan satu ini merupakan pembawaannya sejak lahir, sehingga dalam pertandingan tak jarang Bakos dikeluarkan dari lapangan oleh Sang Menejer Ali karena terlalu sering melakukan tindakan Harakiri (bunuh diri).<br /> Setelah berlalu dari rumah Bakos, Gafan dan Ali berjalan menuju rumah-rumah pemain lainnya. Sewaktu mereka melewati rumah Abah Halil, Gafan sempat melihat sosok tubuh mondar mandir di belakang rumah tersebut. Selidik punya selidik ternyata orang itu adalah Ihsan, sang penjaga gawang yang nampaknya sedang merengek-rengek sama Abah Halil minta dikasih ‘bekal’ supaya gawangnya ndak bisa kebobolan. Namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Abah Halil karena beliau menganggap maen bola itu hukumnya haram. Menurutnya, menendang bola sama dengan menendang kepala cucu nabi, Hasan dan Husen. Di samping itu memang beliau lagi dendem sama sang Kapten, Gafan yang tadi siang telah menyerempetnya di tikungan.<br /> “Sudahlah San, kalau ndak dikasih, ya...sabar” hibur Gafan.<br /> “Tapi bagaimana dengan gawangku ? Sementara saya sendiri belum fasih nangkep bola.” jawab Ihsan.<br /> Ali dan Gafan saling pandang. Saat itu mereka baru sadar, bahwa selama ini kesebelasan mereka tidak punya kiper tetap. Kiper-kiper yang ada selama ini selalu mengundurkan diri usai kompetisi. Alasannya karena tidak tahan, sebab selalu jadi obyek sumpah serapah dari para pembotoh yang kalah taruhan. Walhasil, Kesebelasan KAMBER benar-benar mengalami ‘kelangkaan’ Kiper. Sedangkan Ihsan sendiri sebenarnya bukan berprofesi sebagai Kiper, melainkan pemain tengah cadangan yang tak pernah diturunkan selama 5 musim kompetisi. Dan saat ini ia menyediakan diri untuk tampil sebagai kiper dengan alasan demi meniti karier.<br /> “Bagaimana kalau kita sewa dukun saja, setuju ?” usul Gafan.<br /> “Ya..setuju, sebaiknya memang begitu” jawab Ihsan gembira seraya menepuk bahu Ali yang tampaknya mengernyitkan dahi karena akan menanggung biaya sewa dukun.<br /> Tiba-tiba dari arah kejauhan tampak Bakos berlari-lari kecil ke arah mereka bertiga.<br /> “Ada apa Kos ?” sapa Gafan.<br /> “Sudah dapat minjem kostum ?” tanya Bakos terengah-engah sambil menjulurkan lidah.<br /> “Sudah, kita minjem sama kesebelasan Hiu Laut.”<br /> “Haa..Hiu Laut, wadduh kostumnya mesti kita cuci dulu bersih-bersih dengan air panas, soalnya anak-anak Hiu Laut banyak yang panu-an, saya ndak mau ketularan panu lebih banyak lagi...., ini saja sudah kelebihan” kata Bakos sambil memperlihatkan panu di sekujur tubuhnya yang mirip peta Negara Rusia.<br /> “Itu sih sudah beres Kos” jawab Gafan berbohong.<br />Lega rasa hati Bakos, lalu cepat-cepat ia pergi meninggalkan ketiga temannya untuk pulang (minta do’a restu ibu).</span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-21247567765028642692009-03-26T02:55:00.000-07:002009-03-26T02:59:49.860-07:00INSYA ALLOH..... NGGAK JANJI DEH“Insya Alloh-nya mahasiswa sekarang sudah kena polusi. Insya Alloh-nya orang sekarang tak lebih artinya dari nggak janji deh,” ujar Pak Syukri suatu hari ketika ia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan seminar yang berjudul “Insya Alloh”. <br /> “Saya mau ngadain seminar macam ini semata-mata karena keprihatinan saya terhadap penyalahgunaan kata Insya Alloh,” ungkapnya. <br /><span class="fullpost"><br />“Makanya…, uang kiriman jangan dipakai foya-foya,” tukas Pak Syukri, Dekan Fakultas Sospol Universitas Maju Tak Gentar. “Inilah akibatnya, tidak bisa ikut ujian semester, tapi untung…….,” lanjutnya tanpa melanjutkan kata-katanya.<br />Kini giliran Gafan kernyitkan dahi. “Iya dah Pak, sekali ini saja, mohon kebijaksanaan Bapak,” jawab Gafan sambil garuk-garuk kepala seraya menyerahkan Surat Pernyataan siap melunasi SPP usai semesteran.<br />“Lalu, kapan mau ngelunasin es-pe-pe-nya ?” tanya Pak syukri.<br />“Dua minggu lagi………Insya Alloh.”<br />“Insya Alloh ?” Pak Syukri kernyitkan dahi seraya memandang wajah Gafan.<br />“Ya…Insya Alloh, emangnya kenapa ?”<br />“Maaf, Insya Alloh-nya mahasiswa sekarang tidak bisa dipercaya, sudah tercemar. Saya tidak mau terima surat pernyataanmu kalau pakai kata Insya Alloh.”<br />“Iya dah Pak, saya janji dua minggu lagi” jawab Gafan dengan cepat.<br />Mendengar hal tersebut Pak Syukri dengan tenang langsung menandatangani Surat Pernyataan Gafan setelah terlebih dahulu men-tip-ex kata Insya Alloh yang ada di dalamnya.<br />Insya Alloh adalah kata yang memang seharusnya diucapkan oleh seorang muslim yang akan mengadakan perjanjian, dengan catatan apabila kelak janji tersebut tidak bisa ditunaikan karena memang ada sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan si pembuat janji untuk menepatinya, maka janji itupun bisa dibatalkan tanpa dihitung sebagai sebuah hutang.<br /> Namun bagi Pak Syukri, kata Insya Alloh yang sering didengarnya, kebanyakan diucapkan dengan tujuan agar si pembuat janji dapat leluasa untuk seenaknya mau atau tidak menepati janjinya walau tanpa ada “uzur” sekalipun. Karena begitu banyak telah makan asin garamnya Insya Alloh, maka Pak Syukri tak pernah mau lagi mengadakan perjanjian dengan siapapun termasuk mahasiswanya apabila dalam perjanjian tersebut ada kata-kata Insya Alloh.<br /> “Insya Alloh-nya mahasiswa sekarang sudah kena polusi. Insya Alloh-nya orang sekarang tak lebih artinya dari nggak janji deh,” ujarnya suatu hari ketika ia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan seminar yang berjudul “Insya Alloh”. <br /> “Saya mau ngadain seminar macam ini semata-mata karena keprihatinan saya terhadap penyalahgunaan kata Insya Alloh,” ungkapnya. <br /> “Bukan begitu pak…….” bantah seorang mahasiswa.<br /> “Dengar dulu, saya belum selesai ngomong! Walau apa yang saya utarakan ini memang kelihatannya remeh, namun hal ini saya rasa cukup prinsip. Mengapa demikian? Coba saja saudara bayangkan, arwah seorang manusia sudah meninggal (mana ada yang belum meninggal) akan mengambang jika masih punya hutang. Dan janji itu adalah hutang. Al-wa’du daenun, ingat itu !!” katanya berapi-api menyitir sebuah hadist. <br /> “Tapi kan kita sudah…….. “ bantah seorang mahasiswa.<br /> “Dengar dulu saya belum selesai ngomong! Nanti kalau saya sudah selesai ngomong, baru kalian boleh memberi argumen,” ucap pak Syukri kembali. “Bila kalian mengucap Insya Alloh, saya yakin kalian tak kan merasa mepunyai beban untuk melunasi janji kalian” lanjutnya.<br /> “Bukan begitu Pak………..” bantah Gafan mulai ikut-ikutan.<br /> “Dengar dulu saya belum selesai ngomong! Nanti kalau saya sudah selesai ngomong, baru kalian boleh memberi argumen. Pokoknya jangan banyak celoteh, tak usah mengelak, karena saya telah banyak dikibuli oleh kata-kata Insya Alloh kalian.”<br /> Puluhan mahasiswa yang menghadiri kuliahnya hanya bisa manggut-manggut tanpa komentar karena konon dosen “non-terbang” satu ini terkenal tak mau kalah debat, apalagi debat dengan kusir.<br /> “Sekarang saya sudah selesai ngomong. Silahkan keluarkan argumen kalian!” lanjut Pak Sukri seraya hendak beranjak meninggalkan tempat itu.<br /> “Jangan pergi dulu dong, pak. Kita kan mau memberi argumen,” ujar Gafan.<br /> “Silahkan saja ngomong berargumen! Ndak ada yang larang, kok. Kalian bebas berargumen, sayapun bebas pergi,” kata Pak Syukri sembari langsung ngeloyor pergi dengan cueknya.<br /> Para mahasiswa pada melongo. <br /> “Besok, hari Rabu tanggal sembilan belas November pukul enam belas sore, kalian saya haruskan hadir pada seminar Insya Alloh, mengerti ?!!” teriak pak Syukri dari kejauhan.<br /> “Ngerti……”<br /> “Kalian harus hadir, ya ?!”<br /> “Insya Alloh….”<br /> “???”<br />* * *<br /><br />Hari Rabu<br />19 Nopember pukul 16 sore…………<br /><br /> Sorakan dan tepukan riuh rendah mewarnai berlangsungnya seminar “Insya Alloh” yang dilangsungkan di Aula Universitas Maju Tak Gentar. Pak Syukri yang saat itu bertindak sebagai moderator, pembahas, penyaji, MC sekaligus narasumber, tampak begitu puas melihat jumlah peserta yang hadir melebihi target. Hanya saja seminar itu terlihat janggal karena moderator, pembahas, penyaji, protokol sekaligus narasumber dirangkap sendiri oleh Pak Syukri. Alasannya, ketika para dosen lain diminta kesediaannya untuk berpartisipasi, semua menjawa “Insya Alloh”. Hal ini rupanya yang membuat Pak Syukri tak mau ambil resiko kalau-kalau nanti mereka tidak hadir.<br /> “Insya Allohnya saudara-saudara berarti boleh hadir boleh tidak,” ungkapnya. “Itu berarti meremehkan, dan saya paling tidak suka diremehkan,” lanjutnya yang membuat beberapa dosen saling pandang.<br /> Dan saat seminar berlangsung, tak satupun dosen yang tampak, karena memang tidak diundang. Pak Syukri sudah memutuskan untuk tidak jadi mengundang dosen-dosen yang berjanji dengan kata Insya Alloh. Padahal Pak Syukri sendiri dalam surat undangannya memakai kata Insya Alloh. <br /> “Kata-kata Insya Alloh dalam surat undangan saya ada maksud politisnya, nanti kalian akan tahu sendiri,” ujarnya ketika dikritik sejumlah mahasiswa perihal pencantuman kata Insya Allah pada surat undangan tersebut.<br /> Sementara itu di lain pihak, mahasiswa yang menghadiri undangan itu cukup banyak, nyaris membludak hingga ke emperan kampus. Akibatnya banyak peserta yang tidak kebagian tempat duduk. Padahal seperti yang sudah kita maklumi bersama, bahwa mahasiswa sekarang paling alergi dengan seminar, lokakarnya, sarasehan dan sebangsanya.<br /> Beberapa waktawan amatiran kelihatan duduk dengan serius sambil mencatat tiada henti dari awal acara. Sesekali mereka mengadakan tanya jawab dengan peserta di sebelahnya.<br /> “Apa yang membuat anda tertarik mengikuti acara seminar ini?” tanyanya pada seorang mahasiswa berambut gondrong.<br /> “Bukan apa-apa sih, bung, tapi ini nih,” jawab si gondrong tersebut sambil meunjukkan surat undangan seminar yang di dalamnya ada bacaan NB: DILANJUTKAN DENGAN ACARA MAKAN-MAKAN. Wartawan tersebut manggut-manggut, kembali melanjutkan mencatat.<br /> Sementara itu terdengar salah seorang peserta mendebat Pak Syukri dengan sengitnya. Konon peserta tersebut berasal dari Fakultas Tarbiyah yang memang paling doyan berdebat masalah teologi, perbandingan mazhab dan sejenisnya.<br /> “Saya kurang sependapat dengan Bapak,” jawab mahasiswa itu dengan lantang. “Seseorang yang berjanji dengan mengucapkan Insya Alloh, kemudian dia sengaja tidak menepati janji, saya rasa tidak ada masalah. Sebab dia tidak menepati janji tersebut karena memang hatinya tidak digerakkan oleh Allah untuk menepati janji. Ini kan berarti Allah tidak memberinya ijin. Jadi kita kembalikan ke Allah dong ….yang tidak memberinya ijin. Sedangkan Insya Alloh itu kan artinya atas ijin Allah,” lanjutnya dengan berapi-api sambil mengacung-acungkan tangan seperti juru kampanye.<br /> “Terima kasih,” jawab Pak Syukri tenang. “Dari statemen anda saya berkesimpulan, anda seakan-akan mau menyalahkan Allah yang anda katakan tidak menggerakkan hati orang tersebut untuk menepati janji. Memang hidayah itu datangnya dari Allah, dan yang diberi hidayahpun dipilih oleh Allah, yaitu orang yang mau berusaha, yaitu mau berusaha menepati janji. Segala sesuatu harus dari usaha kita dulu baru kemudian serahkan ke Allah,” ujar Pak Syukri sembari mengutip sebuah ayat Al-qur”an.<br /> Mahasiswa tadi melongo, rupa-rupanya kehabisan perbendaharaan ilmu. Terus diputar otaknya berpikir bagaimana cara menjawab argumen tadi. Pokoknya bisa dibantah, salah atau benar itu urusan belakang. Yang penting baginya bisa menunjukkan keintelektualannya dengan cara mendebat dosen, sebab dengan cara ini biasanya kualitas keilmuan mahasiswa bisa diakui. Masalah di luar mau mengamalkan ilmu atau tidak, sholat atau tidak, itu urusan belakang. Yang penting dosen kalah debat atau setidak-tidaknya berani didebat.<br /> “Begini Pak !!” kata mahasiswa tadi masih dalam posisi berdiri sambil mikir-mikr apa yang akan dikatakannya. Cukup lama juga ia mikir, rupanya benar-benar kehabisan ilmu.<br /> “Udaaaah…. duduk aja lu !!” celetuk mahasiswa di belakangnya diiringi gerutuan mahasiswa lainnya. “Percuma janggut kamu begelantungan, tapi segitu aja keok,” lanjut yang lainnya.<br /> Pak Syukri tersenyum kecil, rada gembira juga dia karena pendebat tadi mati kutu olehnya.<br /> Seorang mahasiswa lain berjanggut agak panjang tampak berdiri, diraihnya mic yang disediakan buat para peserta. Setelah berdehem-dehem sebentar iapun mulai berkata-kata dengan tangan agak sedikit gemetar (biasa…mahasiswa, prinsipnya biar gemeter yang penting sok).<br /> “Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, sehingga saya dapat menyampaikan tanggapan atas permasalahan yang kita bahas saat ini. Sebelumnya marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan karena atas limpahan ………,” baru sampai di situ si Janggut ngomong, tiba-tiba terdengar teriakan seorang mahasiswa di belakangnya. Kiranya si mahasiswa gondrong coba-coba bikin sensasi.<br /> “Hey Janggut !! To the point saja kenapa, sih!! Pake terima kasih-terima kasih segala. Pake puji syukur segala, emangnya ini pengajian?! Langsung aja biar nih acara cepet kelar !!” gerutunya yang disetujui oleh mahasiswa sejenisnya.<br /> “Maaf saudara gondoruwo….eh… saudara gondrong,” jawab mahasiswa Janggut tadi dengan nada agak jengkel, “Ini etika dalam seminar, saya harap saudara menghormati etika, dahulukan kesopanan daripada keperluan, begitu kata orang bijak.”<br /> “Sudahlah, banyak omong lu. Awas kalau sampai keok berdebat!” jawab si Gondrong dengan sengit. Hampir saja suasana memanas. Kalau saja ada kursi yang kosong, barangkali akan ada acara lempar kursi seperti yang sedang “ngetrend” akhir-akhir ini.<br /> “Silahkan dilanjutkan saja, Nggut !” pinta Pak Syukri kepada si Janggut.<br /> “Begini Pak ! Bapak tadi mengatakan bahwa orang yang mendapatkan hidayah itu adalah orang yang mau berusaha…. berusaha untuk mencari hidayah. Nah, sekarang saya minta Bapak tunjukkan saat ini juga di mana saya harus mencari hidayah,” tanya mahasiswa Janggut dengan agar ngawur.<br /> “Di sono, di belakang kampus ada janda kembang yang namanya Hidayah,” celetuk mahasiswa gondrong kembali. Si Janggut cuek saja.<br /> Pak Syukri ambil ancang-ancang menjawab pertanyaan mahasiswa tadi, terlebih dahulu diminumnya segelas kopi di hadapannya yang sedari tadi dikerubungi lalat.<br /> “Terima kasih atas pertanyaannya. Jadi, mencari hidayah tidak sama dengan mencari capung atau mencari jarum dalam jerami dapat rusa belang kaki….eh…sory. Mencari hidayah sama dengan mencari petunjuk. Caranya ya…itu tadi…dengan berusaha dan berdo”a kepada Alloh agar kita diberi-Nya petunjuk. Petunjuk untuk melaksanakan perintah, termasuk biasa menepati janji dan ………..”<br /> “Interupsi Pak….!! Kalau sudah dicari lalu ndak ketemu bagaimana ?”<br /> “Pasti ketemu asal kita sungguh-sungguh.”<br /> “Saya sering berusaha nyari hidayah tapi ndak pernah ketemu, saya sering berusaha untuk menepati janji, tapi ndak bisa,” lanjut mahasiswa Janggut dengan sengitnya. Sebagian besar mahasiswa lain pada menyetujui, mereka mengangguk-angguk membenarkan seraya mengacung-acungkan tangan mirip unjuk rasa buruh telat digaji, sehingga suara Pak Syukri yang mau menjawab jadi nyaris tak terdengar. Kayaknya, mahasiswa ingin menumpahkan kekesalan hatinya pada Pak Syukri yang terdengar dengan sebutan “Pak omel” karena memang sering ngomel dan tak pernah mau kalah debat dengan siapapun.<br /> Tentunya yang paling bersemangat ingin memojokkan Pak Syukri adalah mahasiswa yang sering kena omel lantaran sering nunggak uang kuliah. Dalam hal ini Gafan ambil inisiatif memimpin rekan-rekan “senasibnya”.<br /> “Sudahlah Pak, sportif saja Bapak kalah,” ujar si janggut.<br /> “Kita di sini bukan mencari kemenangan, tapi kita di sini mau mencari kebenaran,” kilah Pak Syukri.<br /> “Lho, kalau Bapak menganggap pernyataan Bapak tadi benar, maka kamipun menganggap pernyataan kami benar, bukan begitu teman-teman ?”<br /> “Bukaaaaan……”jawab beberapa mahasiswa lain yang ternyata group si gondrong. Mahasiswa Janggut jadi geregetan, namun kembali meneruskan bicaranya.<br /> “Dan perlu diingat, jika ada dua pendapat benar, maka pendapat yang berhak dipakai ialah pendapat yang tentunya memperoleh dukungan suara terbanyak. Sekarang kita lihat pendapat mana yang terbanyak mendapat dukungan? Kami kan? Tak satupun mahasiswa mendukung pendapat Bapak.”<br /> “Saya mendukung pendapat Pak Syukri !” terdengat celetuk keras dari belakang yang ternyata mahasiswa gondrong. Semua peserta menoleh ke arahnya.<br /> “Terima kasih,” ujar Pak Syukri agak ceria, “Coba saudara yang gondrong berikan argumentasi saudara kepada teman-teman mahasiswa yang lain.”<br /> “Saya ndak punya argumen apa-apa, Pak.”<br /> “Lalu, ngapain mendukung saya ?”<br /> “Bukan apa-apa Pak, cuma saya rada sebel sama si Janggut,” tandasnya sambil nyengir yang langsung mendapat cercaan dari “gank” si Janggut.<br /> “Baiklah saudara-saudara mahasisa …eh.. mahasiswa,” ujar Pak Syukri dengan nada agak kalem, seraya menenangkan mahasiswanya yang ribut. “Saya menghargai pendapat kalian. Jadi kesimpulannya menurut pendapat kalian, bila kita berjanji dengan mengucap Insya Alloh, lalu janji itu tidak kita tepati maka bukan salah kita, begitu kan?”<br /> “Yaa…kita tidak salah,” jawab para mahasiswa dengan lantangnya. “Dan Bapak harus sepakat dengan keputusan bersama ini,” lanjutnya.<br /> “Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan, saya terima.”<br /> Maka serentak para mahasiswa bersorak kegirangan karena baru kali ini mereka dapat mengalahkan Pak Syukri berdebat. Sebenarnya mereka mengakui bahwa apa yang disampaikan Pak Syukri adalah benar, namun sayangnya yang sedang dicari mahasiswa saat itu bukan kebenaran, melainkan kemenangan, ya.. kemenangan berdebat dengan Pak Syukri. <br /> “Dengan demikian maka seminar Insya Alloh ini saya nyatakan ditutup saja,” ujar Pak Syukri di tengah riuh rendahnya suara mahasiswa yang saling menyalami. “Dan acara makan-makan yang sedianya akan kita laksanakan setelah ini, saya nyatakan dibatalkan.”<br /> “Lho jangan gitu dong Pak,” protes para mahasiswa, “Janji itu adalah hutang, Al-Wa’du daenun. ‘Kan Bapak sendiri yang berkata demikian.”<br /> “Bukankah ini kesepakatan ?” tukas Pak Syukri membela diri, “Coba baca dengan jelas-jelas surat undangan yang saya berikan pada kalian.”<br /> Semua mahasiswa membuka surat undangan, sambil ngecek barangkali ada kelainan pada surat undangan tersebut. Di bagian paling bawah pada catatan kaki terdapat tulisan NB: INSYA ALLOH DILANJUTKAN DENGAN ACARA MAKAN-MAKAN.<br /> “Sekali lagi sesuai kesepakatan, kita tidak salah jika tidak menepati janji, asal ada kata Insya Alloh. Tok..tok..tok.” palu diketuk, Pak Syukri keluar tanpa menghiraukan gerutu para mahasiswanya, termasuk si gondrong yang saat itu kelihatan paling lapar. Kontan saja diangkatnya sebuah kursi, lalu dilemparkannya ke arah si Janggut yang dianggapnya sebagai biang kerok gagalnya acara makan-makan. <br /> “Kampret lu, janggut. Itu bukan janggut ustad, tapi janggut sinterklas,” ucapnya jengkelnya.<br /> Si Janggut tak mau kalah, balas menimpuk si Gondrong dengan kursi. “Brengsek lu gondrong. Lu mahasiswa apa genderuwo. Tempatmu bukan di kampus, tapi sana…. di pohon beringin,” balas si janggut sambil mengangkat sebuah kursi dan melemparkannya hingga nyangkut di rambut si gondrong. Tak mau kalah, si gondrong pun langsung mengambil sebuah kursi dan langsung melemparkannya ke arah si janggut hingga ujung kaki kursipun nyangkut di janggut si janggut.<br /> Walhasil, terjadilah saling lempar kursi di ruangan tersebut yang dilakukan oleh para mahasiswa yang katanya penuh dengan idealisme. Gank si janggut bertarung melawan gank si gondrong. (##)<br /></span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3665486007803366933.post-57222250024254338932009-03-26T02:47:00.000-07:002009-03-26T02:54:31.342-07:00GARA-GARA RAZIA<span style="font-weight:bold;">Ide awal cerita ini adalah ketika suatu pagi saya diperintah meliput suatu kegiatan. Mendadak di tengah jalan saya nyaris ketangkep razia polisi. Saat itu SIM saya udah kadaluarsa 11 tahun. Akibatnya saya harus cari akal bulus supaya ndak kena razia dan .......... kejadian ini yang saya tulis jadi cerpen. Eee... ndak taunya, pas lomba cerpen tahun 2007 yang diadain Lombok Post, cerpen ini ternyata dapat juara satu. sayang sekali ya..... hehehe...... oke dah baca saja kisahnya. moga terhibur.....</span><br /><br /><span class="fullpost"><br />Pagi itu Gafan terlihat ngedumel tidak karuan di ruang komputer. Padahal ia baru saja tiba di kantornya. Macam-macam omelan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Hampir semua isi kebun binatang disebut-sebutnya untuk menumpahkan kekesalan. “Kalo ada acara, ya, bilang dari kemarin, kek. ‘Kan saya bisa langsung ke lokasi. Jangan kayak begini, informasinya mendadak. Bikin kesal saja,” gerutunya.<br /> “Tapi ini perintah dari bos. Saya juga ditelpon barusan sama dia. Ini, nih, lihat HP saya kalo ndak percaya. Tuh… lihat di panggilan masuk, lihat jamnya,” jawab Pak Pram, atasan Gafan. “Tolonglah sekali ini saja, soalnya ini acara penting, please..,” lanjut Pak Pram sembari mengutak-atik HP-nya mencari-cari file panggilan masuk. Tapi sayang karena tuh jari tangan kebesaran, maka dua tuts HP yang tertekan sekaligus.<br /> Gafan melongok memperhatikan tangan Pak Pram yang berulang-ulang menekan tombol HP-nya. “Terus, acaranya di mana?” tanya Gafan<br /> “Di Asrama Merah Putih, jam delapan,” jawab Pak Pram sembari melongok jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh. “Kalau bisa agak dipercepat ya, soalnya ini acara penting,” lanjutnya.<br /> “Jam delapan? Mana bisa? Perjalanan kesana sekitar empat puluh menit. Dan sekarang ‘kan hari Jumat, biasanya rame di jalan. Bisa sampai satu jam baru nyampe,” tukas Gafan berusaha agar Pak Pram membatalkan perintahnya.<br /> “Ndak apa-apa, kok. Cepat berangkat saja. Biar terlambat yang penting kamu hadir, tolong Fan, plis…, plis…,” pintanya.<br /> “Tapi.. saya sekarang pake kaos oblong, ndak sopan,” kata Gafan berkilah.<br /> “Ndak apa-apa, yang penting pake baju. Meski terlambat, meski pake kaos oblong, kaos bolong, ndak apa-apa, yang penting kamu hadir. Oke, tolong Fan, plis.. plis..,.” kembali Pak Pram memelas.<br /> Gafan pun hanya bisa menarik nafas panjang. Ia kembali pasang jaket yang baru saja digantungnya. Plas plis…plas plis… emangnya saya cuplis, gerutu Gafan dalam hati. “Iya dah pak, saya berangkat sekarang,” jawab Gafan yang membuat Pak Pram lega. Pria tinggi besar itupun lalu meninggalkan ruang komputer sambil terus mengutak-atik tuts HP-nya yang rada kabur. <br /> Sebenarnya Jumat pagi itu Gafan berencana menyelesaikan naskah tulisan yang akan dikirimnya ke sebuah koran nasional. Tapi karena ada perintah mendadak dari Bos melalui Pak Pram, akhirnya rencananya berubah. Tak terkita kesal hatinya. Padahal saat itu ia lagi mood untuk nulis. Dan yang membuat Gafan lebih kesal adalah jarak dari kantornya ke lokasi acara sekitar 20 kilometer. Andaikata si Bos dari kemarin menginformasikan, tentu Gafan tak perlu repot ke kantornya dulu. Gafan bisa langsung ke lokasi acara yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Ini yang bikin dia jengkel. <br /> “Mestinya dari kemarin tugasin saya hadiri acara. ‘Kan saya bisa langsung dari rumah ke lokasi. Ndak bolak-balik seperti ini. Habis-habiskan bensin dan tenaga saja,” gerutu Gafan di ruang komputer. Kebetulan di situ ada Hadi yang lagi ngetik juga. Dia hanya melirik sedikit, setelah itu lanjut mengetik.<br /> “Giliran acara yang jauh-jauh, pasti saya yang disuruh liput. Tapi pas acaranya dekat, langsung pada berebutan menghandel,” gerutu Gafan lagi.<br /> “Sabar…. sabar… orang sabar pantatnya lebar,” jawab Hadi sambil ngetik.<br /> “Apa katamu?” tanya Gafan agak galak.<br /> “Sabaar…. orang sabar perutnya besar,” jawab Hadi lagi tanpa menghiraukan Gafan yang lagi kesal. <br /> “Sabar…sabar…. ketek lu bau ketumbar,” ketus Gafan sambil berlalu meninggalkan Hadi seorang diri.<br />* * *<br /><br /> Sambil memacu motornya Gafan tak henti-henti menggerutu dalam hati. Perasaan kesalnya terbawa saat mengendarai motor. Begitu ada motor lain yang menyalipnya dengan agak ngebut, kontan saja dikejar dan disalip lagi. Motor yang disalip tak mau kalah, kembali menyalip motor Gafan. Akhirnya keduanya pun balapan. Dan sudah dipastikan, kalau balapan di jalan, Gafan pasti….. kalah. Maklum motor jarang diservis. <br />Begitu pula saat ada cidomo jalan agak di tengah kontan saja didampratnya keras-keras. Pokoknya semua yang bisa dijadikan ajang untuk menumpahkan kekesalan, langsung ditumpahkan di situ. Termasuk ketika akan melewati perempatan, lampunya menyala merah. Tak terkira kesal hati Gafan. Lampu merah pun dicaci makinya. <br />Di perempatan berikutnya, lampu merah lagi yang menyala. Di perempatan ketiga, kembali lampu merah. “Lampu sial..,” gerutunya sendiri. Begitu nyala lampu hijau langsung saja ia menggenjot motornya sekencang mungkin hingga nyaris standing. Namun mendadak dari arah depan nyelonong anak muda bersepeda motor melintas dengan kencang. Rupanya si pengendara tak peduli dengan lampu merah. Dengan enaknya dia memotong jalur tepat di depan Gafan. Melihat hal itu tentu saja Gafan menginjak rem sekuat tenaga. Terdengar suara derit ban motor Gafan yang beradu dengan aspal.<br />“Setaaaannn….,” teriak Gafan pada anak muda tersebut. Tapi sayang anak muda itu hanya nyengir sembari memacu motornya bak seorang pembalap. <br />Gafan kembali konsentrasi mengendari motornya. Tak lama berselang tiba-tiba ia teringat sebuah “pepatah liar” yang berbunyi, biasanya kalau dari awal sudah sial, seterusnya akan sial juga. “Ah.. persetan.. tahayul,” ucap Gafan dalam hati menjawab pepatah yang ia ingat-ingat tadi.<br />Gafan berusaha tidak percaya pepatah liar tersebut. Menurutnya itu hanya sugesti saja. Masak sih, kalau dari pagi sial, terus sampai siang bakal sial juga. Namun walau berusaha tidak mempercayai, ia agak terpengaruh juga. Sebab kerap ia alami kejadian-kejadian sial yang bermula dari kesialan awal di pagi hari. Ya, mirip-mirip seperti hari itu.<br />“Ahh.. per….setaaaan...!!” soraknya keras.<br />“Hey…. kamu bilang apa tadi? Kamu nyumpahin saya setan, ya?!” tanya seorang pengendara di samping Gafan dengan nada garang. Pengendara motor itu memepet motor Gafan dan memandangi Gafan agak melotot.<br />Tentu saja Gafan kaget. Saat itu ia tak sadar kalau ngomong sendiri dengan suara keras di tengah jalan. “Waduh maaf pak… saya tadi ngomong sendiri… sory pak, s-s-saya kira Bapak setan, ..eh.. maksud saya... s-saya tadi nggerutu sendiri,” ujar Gafan. “Sory lho, pak,” lanjutnya sembari ngebut meninggalkan pengendara tersebut.<br />Kembali Gafan memacu motornya. Dan kini ia sudah masuk ke wilayah pusat kota. Jalannya agak rame sehingga harus pandai-pandai meliuk-liuk di sela-sela kendaraan yang lalu-lalang.<br />Saat akan tiba di perempatan dekat sebuah kantor distributor pupuk, nampak di sana menyala lampu merah. Tapi Gafan tenang-tenang saja. Sebab, toh, nantinya ia akan belok kiri. Jadi, mau merah, kek, kuning-hijau biru, terserah, katanya membathin.<br />Sampai di perempatan, langsung saja ia belok kiri lalu tancap gas... dan…. astaga, di depan ada razia. Sekitar lima puluh meter di depan, belasan polisi berdiri di tengah jalan. Semua sepeda motor disuruh menepi dan diperiksa surat-suratnya.<br />Gafan sendiri langsung menginjak rem motornya. Dadanya berdebar. Sebab kalau kali ini kena razia sudah pasti motornya bakal diangkut polisi. Sudah sejak dua tahun ini STNK-nya mati. Begitu pula SIM-nya, jangan ditanya lagi…. sudah mati hampir 11 tahun. Meski kerap ditangkap dan kena denda puluhan ribu, namun tak membuat Gafan jera dan mau begitu saja bikin SIM dan urus STNK. Menurutnya, kalau ada razia, ‘kan bisa nyelinap masuk gang-gang kecil dan…. menghilang. Ataupun kalau ketangkap, ya… paling-paling bisa kasih 20 ribu. Setelah itu…. bebas dah.<br />Tapi kali ini, Gafan agak gentar juga sebab ia tak bawa uang satu sen pun di dompetnya. “Wah.. bisa jalan kaki nih,” katanya dalam hati.<br />Gafan berusaha kabur. Tapi sayang di kiri kanan jalan tersebut tidak ada gang-gang kecil. Begitu pula saat mau balik, terlihat seorang polisi berdiri tak jauh di belakangnya. Polisi itu berdiri di samping motor RGR-nya. Rupanya ia berjaga-jaga kalau-kalau ada pengendara yang balik dan mau lari. Untungnya polisi tersebut tidak melihat Gafan yang lagi panik.<br />Namun di saat-saat genting tersebut, mendadak mata Gafan tertuju pada kantor distributor pupuk di sebelah kirinya. Kantor tersebut kebetulan gerbangnya terbuka. Langsung saja Gafan masuk ke kantor tersebut dan menuju bagian belakang. Kebetulan di situ ada tempat parkir karyawan. Gafan pun dengan cepat memarkir motornya. Hatinya agak tenang sekarang. “Alhamdulillah, selamat, dah,” ucapnya dalam hati dengan perasaan lega.<br />Gafan membuka helm dan jaket kesayangannya lalu menggantungnya jadi satu di tangkai kaca spion motor. Setelah itu ia melongok kiri kanan sejenak memperhatikan sekelilingnya. Tampak olehnya beberapa pengendara di jalan raya terlihat panik begitu tahu di depannya ada razia. Bahkan ada di antaranya yang balik kanan namun langsung di hadang oleh polisi yang pake RGR tadi.<br />“Rasain, ketangkep-ketangkep, dah…,” guman Gafan seorang diri sambil tersenyum. Senang betul hatinya melihat orang-orang pada kena razia.<br />Namun tak jauh dari tempat Gafan berdiri sepasang mata mengamat-amati dirinya dengan penuh curiga. Ya, Satpam kantor tersebut terlihat mengintip-intip dari balik tirai di dalam kantor. Rupanya si Satpam agak curiga dengan kehadiran Gafan. Entahlah mungkin Gafan dianggapnya sindikat kawanan pencuri helm.<br />Gafan sendiri tidak menyadari dirinya diamat-amati. Bahkan ketika si Satpam berjalan ke arahnya pun Gafan belum juga sadar. Ia masih saja asyik memandangi pengendara yang lalu lalang dan panik bakal ketangkap razia.<br />“Ehmm….!! Ehem…!!” terdengar suara deheman agak berat dan dipaksakan.<br />Gafan agak kaget lalu balik kanan, ternyata di belakangnya seorang Satpam berperawakan jangkung sudah ada di belakangnya. Gafan coba senyum sedikit, sekedar menunjukkan rasa persahabatan. Tapi sayang si Satpam enggan membalas senyumnya. Malah ia terlihat menyeringai sehingga kumis lelenya yang beberapa helai itu terangkat.<br />“Mau cari siapa?!” tanya Satpam dengan suara digalak-galakin.<br />“Ng.. anu… s-saya numpang parkir, tadi mau ketangkep razia,” jawab Gafan sambil nyengir.<br />Si Satpam mengamati-amati Gafan dari ujung dengkul sampai ke ujung bulu idung. Kayaknya tuh Satpam masih belum yakin. Setelah itu si Satpam menoleh melihat motor Gafan yang diparkir bersamaan dengan motor karyawan kantor tersebut. Dan sebelum sempat si Satpam lebih jauh tanya ini-itu, Gafan langsung menawarkannya rokok.<br />“Mari pak, ngerokok,” ucap Gafan sembari lebih dahulu ia cabut rokok dari bungkusnya sebatang. Setelah itu sisa rokok tersebut diserahkannya bulat-bulat beserta bungkusnya ke Satpam tadi.<br />Rupanya siasat Gafan mempan juga. Si Satpam kontan agak bersahabat begitu ditawarkan rokok. “Untuk saya nih? Semua?” tanya Satpam kumis lele itu.<br />“Iya, silahkan,” jawab Gafan dengan ikhlas merelakan rokoknya.<br />Si Satpam pun segera berlalu membawa bungkusan rokok tersebut. Namun baru beberapa langkah, tuh Satpam langsung berhenti dan menoleh ke arah Gafan. “Sialan, isinya tinggal satu batang. Kirain masih penuh,” gerutunya sembari mencabut isi rokok satu-satunya itu lalu membuang bungkusnya. Gafan hanya nyengir kecil sambil melihat Satpam yang terus berjalan masuk kantor.<br />Tak lama berselang, tiba-tiba seorang pengendara motor tanpa helm masuk ke halaman kantor tersebut. Pengendara itu terlihat panik. Belum sempat ia matikan motornya, tiba-tiba seorang polisi dengan motor RGR langsung menuju kearahnya. “Hey.. sini kamu! Mau coba-coba lari ya?!” bentak polisi pada pengendara tersebut. Polisi itu dengan gesit mencabut kunci motor orang itu. Si pengendara yang masih remaja itu terlihat agak ketakutan.<br />“Mana surat-surat?” tanya polisi.<br />“Ss..surat apa, pak?”<br />“Ya.. surat-surat kendaraan, dong. Masak surat cinta?” bentak polisi dengan garang. <br />Dan ternyata pemuda itu tidak bisa menunjukkan surat kendaraannya alias SIM dan STNK. Iapun kemudian digelandang pak Polisi. Sementara polisi yang lainnya datang segera untuk membawa motor pemuda tersebut. Rupanya si pemuda tadi sengaja masuk ke kantor itu untuk menyelamatkan diri dari razia, namun ketahuan polisi.<br />Melihat adegan itu Gafan agak kaget juga. Dadanya berdebar agak kencang. Gafan khawatir tuh polisi tahu kalau dirinya juga sedang berada di tempat tersebut dalam rangka penyelamatan diri. Apalagi tuh polisi terlihat memandangi sekeliling tempat itu termasuk memandang Gafan. Gafan agak grogi dan makin berdebar. Namun secepat kilat ia dapat akal. Gafan segera menuju pintu gerbang. Didekatinya polisi itu.<br />“Ada apa pak, rame-rame?” tanya Gafan pura-pura ramah.<br />“Itu.. pemuda tadi mau larikan diri kemari,” jawab pak polisi. “Saudara kerja di sini, ya?” lanjutnya bertanya.<br />“B-bukan, pak. Saya nunggu teman. Tadi janjian mau jemput saya di sini,” jawab Gafan berbohong.<br />“Emangnya saudara mau kemana?”<br />“Ng.. mau ke Bank…. ng.. mau setor uang ke BCA,” jawab Gafan berbohong lagi. Kali ini niatnya mau gagah-gagahan di depan polisi tersebut.<br />Pak polisi sendiri hanya memandang Gafan sejenak, setelah itu ia pun tetap berdiri di situ. Rupanya ia berdiri di pintu gerbang itu untuk berjaga-jaga siapa tahu ada pengendara yang coba-coba menghindari razia dan masuk ke kantor itu.<br />Sementara itu waktu terus berlalu menit demi menit, jam demi jam. Tak terasa sudah tiga jam berlalu. Saat itu hampir pukul 11, jam pulang untuk hari Jumat. Sejumlah karyawan kantor pupuk tersebut terlihat mulai pulang. Satu persatu mereka keluar dengan menggunakan sepeda motornya. Sebagiannya lagi jalan kaki. Gafan melongok ke arah tempat parkir, ternyata di situ tinggal motornya saja yang masih tersisa. Waduh, bisa berabe nih, kata Gafan dalam hati. <br />“Pak, biasanya kalo razia sampe jam berapa selesai?” tanya Gafan kepada polisi sambil melihat-lihat razia yang belum juga kelar.<br />“Tergantung…. tergantung kapan mau diselesai’in,” jawab pak polisi sekenanya sambil menoleh ke arah tempat parkir dan melihat masih tersisa sebuah sepeda motor di sana. <br />Gafan langsung berdebar melihat polisi itu menoleh ke tempat parkir. Kontan saja ia pura-pura menggerutu. “Waduh, lama sekali sih, teman saya ngejemput,” ujar Gafan ngedumel agak keras supaya terdengar pak polisi. Maksudnya untuk meyakinkan polisi bahwa ia memang lagi nunggu jemputan dan bukannya nungguin motor yang lagi parkir itu.<br />Pak polisi melirik ke arah Gafan. Tak tahulah apa arti lirikannya. Yang jelas Gafan merasa kemungkinan siasatnya meyakinkan polisi itu berhasil. Tak lama kemudian polisi itu balik bertanya: “Kamu mau setor uang ke Bank, ya?”<br />“Ya, pak. Ndak banyak, kok. Cuma lima belas juta saja,” ujarnya berbohong untuk sekedar gaya-gayaan.<br />Polisi tersebut terdiam dan tetap mematung memandangi orang yang lalu lalang. Jam saat itu sudah menunjukkan hampir pukul setengah dua belas. Razia nampaknya sudah selesai. Ini terlihat dari mulai lancarnya arus kendaraan. Sedangkan polisi yang di dekat Gafan mulai melangkah pula hendak meninggalkan gerbang kantor itu. Gafan jadi agak lega.<br />Namun apa yang terjadi, tiba-tiba polisi itu kembali ke arah Gafan. “Ayo, saya antar saudara ke Bank. Mungkin teman saudara batal jemput,” ujarnya.<br />“Waduh pak, terima kasih banyak, ndak usah repot-repot. Sebentar lagi juga dia datang,” jawab Gafan berkilah.<br />“Ayo, ndak apa-apa. Ntar kalau sudah setor uang ke Bank saya antar lagi kemari. Di sini kurang aman, banyak jambret akhir-akhir ini,” kata pak polisi setengah memaksa. <br />“Ndak apa-apa, kok, saya bisa jaga diri,” ujar Gafan mulai khawatir.<br />“Ayoo.., ndak usah sungkan. Saya ndak enak hati biarkan saudara di sini sendirian bawa uang banyak,” jawab pak polisi sembari melingkarkan tangannya ke lengan Gafan lalu menggiringnya ke arah motor RGR-nya.<br />Gafan kembali berusaha menolak. Tapi tangan kanan pak polisi yang sudah melingkar di lengan Gafan terasa begitu kuat. Gafan akhirnya pasrah. “Ayo naik,” suruh pak polisi. “Nih pake helmnya, dan pastikan bunyi ‘klik’, ya,” lanjutnya lagi.<br />Gafan pun terpaksa menuruti. Ia naik di boncengan motor pak polisi. Setelah itu helm ia pasang sesuai instruksi, termasuk colokan helm yang harus berbunyi klik. “Kok bunyinya kluk, bukan klik?” tanya Gafan sedikit bergurau meski agak kesal.<br />“Ndak apa-apa. Klik dan kluk sama saja. Yang penting bunyinya bukan prook.”<br />“Prook itu bunyi apaan?”<br />“Itu bunyi helm hancur kegencet truck.”<br />“Kalau bunyinya.. prook… prook… prook…, kira-kira bunyi apaan, pak?”<br /> “Bunyi helm kegencet truk tiga kali,” jawab pak Polisi sekenanya.<br />“Salah pak. Prook.. prook… prook.. itu bunyi sepatu seorang kapiten… hehehe,” jawab Gafan sambil cengengesan.<br />Mendengar jawaban tersebut pak Polisi bukannya ikut tertawa. Malah kini wajahnya menjadi lebih serius. Dengan wajah dingin, ditatapnya Gafan dalam-dalam. Karena badannya lebih tinggi, wajah pak polisi ditukikkan sedikit ke bawah. Tulang rahang yang semula terangkat naik, kini mulai turun pertanda ia sedang nyebeng.<br />“Saya ini polisi, tau! Tugas saya melindungi dan mengayomi, bukannya maen teka-teki, ngerti!! Ayo, pegangan yang kuat!” ujar pak polisi sembari menstarter motornya dan… langsung melejit.<br />Mendengar teka-tekinya tidak mendapat sambutan sebagaimana mestinya, Gafan hanya bisa garuk-garuk kepala. Namun karena saat itu ia sedang pakai helm, maka helm itulah yang digaruk-garuknya.<br />Gafan sendiri saat itu berusaha mencari akal agar bisa turun dari motor tersebut. Otaknya diputar terus. Dalam benaknya terbayang bagaimana jadinya nanti kalau sampai di Bank. Waduh, Gafan benar-benar puyeng akibat ulahnya sendiri. Gafan terus putar otak. Malah kini kepalanya juga ikutan diputar-putar sampai-sampai helmnya beradu dengan helm pak polisi. <br />Namun belum sempat lama-lama putar otak, tiba-tiba ia dikejutkan suara peluit polisi yang memboncengnya.<br />Rupanya pak polisi melihat seorang pengendara dengan motor pretelan. Kontan saja motor itu dikejarnya dengan kecepatan tinggi. Tak terkira takutnya Gafan dibonceng dengan kecepatan gila seperti itu. <br />“Waduh pak, pelan-pelan, saya takut nih,” pinta Gafan dengan gemetar sembari memeluk erat perut pak polisi.<br />“Kalau pelan mana bisa terkejar. Mungkin itu motor curian. Saudara tenang saja!,” jawabnya sambil terus memacu motornya dengan sangat cepat di antara keramaian lalu lintas.<br />“S-saya t-turun di sini saja, p-pak,” ucap Gafan gemeteran. Namun sayang ucapan Gafan tidak terdengar karena kalah keras oleh suara knalpot motor pak polisi. Gafan akhirnya hanya bisa pasrah. <br />Di tengah suasana kejar mengejar itu beberapa kali Gafan harus spot jantung. Pasalnya, beberapa kali motor pak polisi nyaris terserempet cidomo yang belok tiba-tiba. Tidak hanya sampai di situ, pengejaran kadang keluar masuk gang yang ramai anak-anak. Gafan hanya bisa berpegangan pada pinggang pak polisi sambil terus melihat ke depan dengan tegang. Mulutnya terus komat-kamit membaca doa yang pernah diajarkan kakeknya. Gafan tidak bisa membayangkan kapan adegan ini akan berakhir.<br />Namun tiba-tiba saja pak polisi menginjak rem dan memelankan motornya seketika. Padahal di tempat itu tidak ada orang. Selidik punya selidik ternyata jalan di depan ada gundukan. Dari jauh nampak sekitar empat gundukan melintang di tengah jalan dengan jarak masing-masing sekitar lima meter.<br />“Hati-hati, pak, di sini banyak polisi tidur,” kata Gafan mengingatkan.<br />“Itu bukan polisi tidur. Itu namanya gundukan, tau!! Polisi itu tidurnya di kasur, bukan di tengah jalan, ngerti?” jawab pak polisi agak jengkel. “Kamu mahasiswa, ya? Suka demo, ya?” lanjut pak Polisi.<br />“Ng.. iya pak,” jawab Gafan berbohong.<br />“Pantas saja kamu goblok. Berapa IP-mu?”<br />“Saya belum lihat, pak.”<br />“Alaaah…. paling-paling IP-mu cuma empat.”<br />Gafan jadi geli sendiri mendengar pak polisi yang mengira IP itu sama dengan nilai rapor di SMA. Padahal IP empat itu ‘kan IP-nya pak Habibie. Dasar polisi ngantuk, ucap Gafan dalam hati.<br />Dan tiba-tiba saja Gafan saat itu dapat akal. Saat pak “polisi ngantuk” akan melewati “polisi tidur”, kontan saja Gafan menjatuhkan helmnya. Prak, suaranya cukup keras. Pak polisi kaget dan menoleh kebelakang. Begitu melihat helm yang dipake Gafan jatuh, ia langsung menghentikan motornya. Gafan pun langsung turun mengambil helm itu.<br />“Nih, pak, helmnya. Saya turun di sini saja. Saya ndak berani ikut kebut-kebutan,” kata Gafan sambil mengembalikan helm pak polisi.<br />Pak polisi sendiri melongo sesaat, namun kemudian ia langsung tancap gas lagi mengejar motor pretelan tersebut.<br />Tak terkira lega hati Gafan bisa lepas dari bahaya. Dengan segera ia melangkah kembali ke kantor pupuk tempat menitip motornya. Jaraknya kira-kira dua kilometer. Dan kali ini ia harus rela jalan kaki karena tidak bawa uang sepeserpun. “Ndak apa-apa. Yang penting ndak berurusan dengan polisi. Semoga ini akhir dari kesialanku,” ucapnya dalam hati.<br />Tapi memang, kalau lagi sial, ya, tetap sial. Begitu sampai di kantor itu, ternyata pintu gerbang kantor sudah ditutup plus digembok dengan gembok sebesar bogem. Tampak di belakang kantor, di tempat parkir, motor Gafan dan jaketnya berdiri tenang menyendiri.<br />“Pak, mana nih penjaga kantornya?” tanya Gafan dengan nada khawatir pada seorang lelaki pedagang kaki lima yang ada di situ.<br />“Wah, barusan saja pergi shalat Jumat ke masjid,” jawab lelaki itu. “Dan biasanya setelah shalat jumat dia pulang dulu istirahat, dan….. balik kesini sekitar jam empat sore,” lanjutnya yang membuat Gafan lemas seketika. Waduh, nasib… nasib….##<br /><br /><br /><br /></span>Afganhttp://www.blogger.com/profile/08027300765287762419noreply@blogger.com0