Kamis, 26 Maret 2009

GARA-GARA RAZIA

Ide awal cerita ini adalah ketika suatu pagi saya diperintah meliput suatu kegiatan. Mendadak di tengah jalan saya nyaris ketangkep razia polisi. Saat itu SIM saya udah kadaluarsa 11 tahun. Akibatnya saya harus cari akal bulus supaya ndak kena razia dan .......... kejadian ini yang saya tulis jadi cerpen. Eee... ndak taunya, pas lomba cerpen tahun 2007 yang diadain Lombok Post, cerpen ini ternyata dapat juara satu. sayang sekali ya..... hehehe...... oke dah baca saja kisahnya. moga terhibur.....


Pagi itu Gafan terlihat ngedumel tidak karuan di ruang komputer. Padahal ia baru saja tiba di kantornya. Macam-macam omelan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Hampir semua isi kebun binatang disebut-sebutnya untuk menumpahkan kekesalan. “Kalo ada acara, ya, bilang dari kemarin, kek. ‘Kan saya bisa langsung ke lokasi. Jangan kayak begini, informasinya mendadak. Bikin kesal saja,” gerutunya.
“Tapi ini perintah dari bos. Saya juga ditelpon barusan sama dia. Ini, nih, lihat HP saya kalo ndak percaya. Tuh… lihat di panggilan masuk, lihat jamnya,” jawab Pak Pram, atasan Gafan. “Tolonglah sekali ini saja, soalnya ini acara penting, please..,” lanjut Pak Pram sembari mengutak-atik HP-nya mencari-cari file panggilan masuk. Tapi sayang karena tuh jari tangan kebesaran, maka dua tuts HP yang tertekan sekaligus.
Gafan melongok memperhatikan tangan Pak Pram yang berulang-ulang menekan tombol HP-nya. “Terus, acaranya di mana?” tanya Gafan
“Di Asrama Merah Putih, jam delapan,” jawab Pak Pram sembari melongok jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh. “Kalau bisa agak dipercepat ya, soalnya ini acara penting,” lanjutnya.
“Jam delapan? Mana bisa? Perjalanan kesana sekitar empat puluh menit. Dan sekarang ‘kan hari Jumat, biasanya rame di jalan. Bisa sampai satu jam baru nyampe,” tukas Gafan berusaha agar Pak Pram membatalkan perintahnya.
“Ndak apa-apa, kok. Cepat berangkat saja. Biar terlambat yang penting kamu hadir, tolong Fan, plis…, plis…,” pintanya.
“Tapi.. saya sekarang pake kaos oblong, ndak sopan,” kata Gafan berkilah.
“Ndak apa-apa, yang penting pake baju. Meski terlambat, meski pake kaos oblong, kaos bolong, ndak apa-apa, yang penting kamu hadir. Oke, tolong Fan, plis.. plis..,.” kembali Pak Pram memelas.
Gafan pun hanya bisa menarik nafas panjang. Ia kembali pasang jaket yang baru saja digantungnya. Plas plis…plas plis… emangnya saya cuplis, gerutu Gafan dalam hati. “Iya dah pak, saya berangkat sekarang,” jawab Gafan yang membuat Pak Pram lega. Pria tinggi besar itupun lalu meninggalkan ruang komputer sambil terus mengutak-atik tuts HP-nya yang rada kabur.
Sebenarnya Jumat pagi itu Gafan berencana menyelesaikan naskah tulisan yang akan dikirimnya ke sebuah koran nasional. Tapi karena ada perintah mendadak dari Bos melalui Pak Pram, akhirnya rencananya berubah. Tak terkita kesal hatinya. Padahal saat itu ia lagi mood untuk nulis. Dan yang membuat Gafan lebih kesal adalah jarak dari kantornya ke lokasi acara sekitar 20 kilometer. Andaikata si Bos dari kemarin menginformasikan, tentu Gafan tak perlu repot ke kantornya dulu. Gafan bisa langsung ke lokasi acara yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Ini yang bikin dia jengkel.
“Mestinya dari kemarin tugasin saya hadiri acara. ‘Kan saya bisa langsung dari rumah ke lokasi. Ndak bolak-balik seperti ini. Habis-habiskan bensin dan tenaga saja,” gerutu Gafan di ruang komputer. Kebetulan di situ ada Hadi yang lagi ngetik juga. Dia hanya melirik sedikit, setelah itu lanjut mengetik.
“Giliran acara yang jauh-jauh, pasti saya yang disuruh liput. Tapi pas acaranya dekat, langsung pada berebutan menghandel,” gerutu Gafan lagi.
“Sabar…. sabar… orang sabar pantatnya lebar,” jawab Hadi sambil ngetik.
“Apa katamu?” tanya Gafan agak galak.
“Sabaar…. orang sabar perutnya besar,” jawab Hadi lagi tanpa menghiraukan Gafan yang lagi kesal.
“Sabar…sabar…. ketek lu bau ketumbar,” ketus Gafan sambil berlalu meninggalkan Hadi seorang diri.
* * *

Sambil memacu motornya Gafan tak henti-henti menggerutu dalam hati. Perasaan kesalnya terbawa saat mengendarai motor. Begitu ada motor lain yang menyalipnya dengan agak ngebut, kontan saja dikejar dan disalip lagi. Motor yang disalip tak mau kalah, kembali menyalip motor Gafan. Akhirnya keduanya pun balapan. Dan sudah dipastikan, kalau balapan di jalan, Gafan pasti….. kalah. Maklum motor jarang diservis.
Begitu pula saat ada cidomo jalan agak di tengah kontan saja didampratnya keras-keras. Pokoknya semua yang bisa dijadikan ajang untuk menumpahkan kekesalan, langsung ditumpahkan di situ. Termasuk ketika akan melewati perempatan, lampunya menyala merah. Tak terkira kesal hati Gafan. Lampu merah pun dicaci makinya.
Di perempatan berikutnya, lampu merah lagi yang menyala. Di perempatan ketiga, kembali lampu merah. “Lampu sial..,” gerutunya sendiri. Begitu nyala lampu hijau langsung saja ia menggenjot motornya sekencang mungkin hingga nyaris standing. Namun mendadak dari arah depan nyelonong anak muda bersepeda motor melintas dengan kencang. Rupanya si pengendara tak peduli dengan lampu merah. Dengan enaknya dia memotong jalur tepat di depan Gafan. Melihat hal itu tentu saja Gafan menginjak rem sekuat tenaga. Terdengar suara derit ban motor Gafan yang beradu dengan aspal.
“Setaaaannn….,” teriak Gafan pada anak muda tersebut. Tapi sayang anak muda itu hanya nyengir sembari memacu motornya bak seorang pembalap.
Gafan kembali konsentrasi mengendari motornya. Tak lama berselang tiba-tiba ia teringat sebuah “pepatah liar” yang berbunyi, biasanya kalau dari awal sudah sial, seterusnya akan sial juga. “Ah.. persetan.. tahayul,” ucap Gafan dalam hati menjawab pepatah yang ia ingat-ingat tadi.
Gafan berusaha tidak percaya pepatah liar tersebut. Menurutnya itu hanya sugesti saja. Masak sih, kalau dari pagi sial, terus sampai siang bakal sial juga. Namun walau berusaha tidak mempercayai, ia agak terpengaruh juga. Sebab kerap ia alami kejadian-kejadian sial yang bermula dari kesialan awal di pagi hari. Ya, mirip-mirip seperti hari itu.
“Ahh.. per….setaaaan...!!” soraknya keras.
“Hey…. kamu bilang apa tadi? Kamu nyumpahin saya setan, ya?!” tanya seorang pengendara di samping Gafan dengan nada garang. Pengendara motor itu memepet motor Gafan dan memandangi Gafan agak melotot.
Tentu saja Gafan kaget. Saat itu ia tak sadar kalau ngomong sendiri dengan suara keras di tengah jalan. “Waduh maaf pak… saya tadi ngomong sendiri… sory pak, s-s-saya kira Bapak setan, ..eh.. maksud saya... s-saya tadi nggerutu sendiri,” ujar Gafan. “Sory lho, pak,” lanjutnya sembari ngebut meninggalkan pengendara tersebut.
Kembali Gafan memacu motornya. Dan kini ia sudah masuk ke wilayah pusat kota. Jalannya agak rame sehingga harus pandai-pandai meliuk-liuk di sela-sela kendaraan yang lalu-lalang.
Saat akan tiba di perempatan dekat sebuah kantor distributor pupuk, nampak di sana menyala lampu merah. Tapi Gafan tenang-tenang saja. Sebab, toh, nantinya ia akan belok kiri. Jadi, mau merah, kek, kuning-hijau biru, terserah, katanya membathin.
Sampai di perempatan, langsung saja ia belok kiri lalu tancap gas... dan…. astaga, di depan ada razia. Sekitar lima puluh meter di depan, belasan polisi berdiri di tengah jalan. Semua sepeda motor disuruh menepi dan diperiksa surat-suratnya.
Gafan sendiri langsung menginjak rem motornya. Dadanya berdebar. Sebab kalau kali ini kena razia sudah pasti motornya bakal diangkut polisi. Sudah sejak dua tahun ini STNK-nya mati. Begitu pula SIM-nya, jangan ditanya lagi…. sudah mati hampir 11 tahun. Meski kerap ditangkap dan kena denda puluhan ribu, namun tak membuat Gafan jera dan mau begitu saja bikin SIM dan urus STNK. Menurutnya, kalau ada razia, ‘kan bisa nyelinap masuk gang-gang kecil dan…. menghilang. Ataupun kalau ketangkap, ya… paling-paling bisa kasih 20 ribu. Setelah itu…. bebas dah.
Tapi kali ini, Gafan agak gentar juga sebab ia tak bawa uang satu sen pun di dompetnya. “Wah.. bisa jalan kaki nih,” katanya dalam hati.
Gafan berusaha kabur. Tapi sayang di kiri kanan jalan tersebut tidak ada gang-gang kecil. Begitu pula saat mau balik, terlihat seorang polisi berdiri tak jauh di belakangnya. Polisi itu berdiri di samping motor RGR-nya. Rupanya ia berjaga-jaga kalau-kalau ada pengendara yang balik dan mau lari. Untungnya polisi tersebut tidak melihat Gafan yang lagi panik.
Namun di saat-saat genting tersebut, mendadak mata Gafan tertuju pada kantor distributor pupuk di sebelah kirinya. Kantor tersebut kebetulan gerbangnya terbuka. Langsung saja Gafan masuk ke kantor tersebut dan menuju bagian belakang. Kebetulan di situ ada tempat parkir karyawan. Gafan pun dengan cepat memarkir motornya. Hatinya agak tenang sekarang. “Alhamdulillah, selamat, dah,” ucapnya dalam hati dengan perasaan lega.
Gafan membuka helm dan jaket kesayangannya lalu menggantungnya jadi satu di tangkai kaca spion motor. Setelah itu ia melongok kiri kanan sejenak memperhatikan sekelilingnya. Tampak olehnya beberapa pengendara di jalan raya terlihat panik begitu tahu di depannya ada razia. Bahkan ada di antaranya yang balik kanan namun langsung di hadang oleh polisi yang pake RGR tadi.
“Rasain, ketangkep-ketangkep, dah…,” guman Gafan seorang diri sambil tersenyum. Senang betul hatinya melihat orang-orang pada kena razia.
Namun tak jauh dari tempat Gafan berdiri sepasang mata mengamat-amati dirinya dengan penuh curiga. Ya, Satpam kantor tersebut terlihat mengintip-intip dari balik tirai di dalam kantor. Rupanya si Satpam agak curiga dengan kehadiran Gafan. Entahlah mungkin Gafan dianggapnya sindikat kawanan pencuri helm.
Gafan sendiri tidak menyadari dirinya diamat-amati. Bahkan ketika si Satpam berjalan ke arahnya pun Gafan belum juga sadar. Ia masih saja asyik memandangi pengendara yang lalu lalang dan panik bakal ketangkap razia.
“Ehmm….!! Ehem…!!” terdengar suara deheman agak berat dan dipaksakan.
Gafan agak kaget lalu balik kanan, ternyata di belakangnya seorang Satpam berperawakan jangkung sudah ada di belakangnya. Gafan coba senyum sedikit, sekedar menunjukkan rasa persahabatan. Tapi sayang si Satpam enggan membalas senyumnya. Malah ia terlihat menyeringai sehingga kumis lelenya yang beberapa helai itu terangkat.
“Mau cari siapa?!” tanya Satpam dengan suara digalak-galakin.
“Ng.. anu… s-saya numpang parkir, tadi mau ketangkep razia,” jawab Gafan sambil nyengir.
Si Satpam mengamati-amati Gafan dari ujung dengkul sampai ke ujung bulu idung. Kayaknya tuh Satpam masih belum yakin. Setelah itu si Satpam menoleh melihat motor Gafan yang diparkir bersamaan dengan motor karyawan kantor tersebut. Dan sebelum sempat si Satpam lebih jauh tanya ini-itu, Gafan langsung menawarkannya rokok.
“Mari pak, ngerokok,” ucap Gafan sembari lebih dahulu ia cabut rokok dari bungkusnya sebatang. Setelah itu sisa rokok tersebut diserahkannya bulat-bulat beserta bungkusnya ke Satpam tadi.
Rupanya siasat Gafan mempan juga. Si Satpam kontan agak bersahabat begitu ditawarkan rokok. “Untuk saya nih? Semua?” tanya Satpam kumis lele itu.
“Iya, silahkan,” jawab Gafan dengan ikhlas merelakan rokoknya.
Si Satpam pun segera berlalu membawa bungkusan rokok tersebut. Namun baru beberapa langkah, tuh Satpam langsung berhenti dan menoleh ke arah Gafan. “Sialan, isinya tinggal satu batang. Kirain masih penuh,” gerutunya sembari mencabut isi rokok satu-satunya itu lalu membuang bungkusnya. Gafan hanya nyengir kecil sambil melihat Satpam yang terus berjalan masuk kantor.
Tak lama berselang, tiba-tiba seorang pengendara motor tanpa helm masuk ke halaman kantor tersebut. Pengendara itu terlihat panik. Belum sempat ia matikan motornya, tiba-tiba seorang polisi dengan motor RGR langsung menuju kearahnya. “Hey.. sini kamu! Mau coba-coba lari ya?!” bentak polisi pada pengendara tersebut. Polisi itu dengan gesit mencabut kunci motor orang itu. Si pengendara yang masih remaja itu terlihat agak ketakutan.
“Mana surat-surat?” tanya polisi.
“Ss..surat apa, pak?”
“Ya.. surat-surat kendaraan, dong. Masak surat cinta?” bentak polisi dengan garang.
Dan ternyata pemuda itu tidak bisa menunjukkan surat kendaraannya alias SIM dan STNK. Iapun kemudian digelandang pak Polisi. Sementara polisi yang lainnya datang segera untuk membawa motor pemuda tersebut. Rupanya si pemuda tadi sengaja masuk ke kantor itu untuk menyelamatkan diri dari razia, namun ketahuan polisi.
Melihat adegan itu Gafan agak kaget juga. Dadanya berdebar agak kencang. Gafan khawatir tuh polisi tahu kalau dirinya juga sedang berada di tempat tersebut dalam rangka penyelamatan diri. Apalagi tuh polisi terlihat memandangi sekeliling tempat itu termasuk memandang Gafan. Gafan agak grogi dan makin berdebar. Namun secepat kilat ia dapat akal. Gafan segera menuju pintu gerbang. Didekatinya polisi itu.
“Ada apa pak, rame-rame?” tanya Gafan pura-pura ramah.
“Itu.. pemuda tadi mau larikan diri kemari,” jawab pak polisi. “Saudara kerja di sini, ya?” lanjutnya bertanya.
“B-bukan, pak. Saya nunggu teman. Tadi janjian mau jemput saya di sini,” jawab Gafan berbohong.
“Emangnya saudara mau kemana?”
“Ng.. mau ke Bank…. ng.. mau setor uang ke BCA,” jawab Gafan berbohong lagi. Kali ini niatnya mau gagah-gagahan di depan polisi tersebut.
Pak polisi sendiri hanya memandang Gafan sejenak, setelah itu ia pun tetap berdiri di situ. Rupanya ia berdiri di pintu gerbang itu untuk berjaga-jaga siapa tahu ada pengendara yang coba-coba menghindari razia dan masuk ke kantor itu.
Sementara itu waktu terus berlalu menit demi menit, jam demi jam. Tak terasa sudah tiga jam berlalu. Saat itu hampir pukul 11, jam pulang untuk hari Jumat. Sejumlah karyawan kantor pupuk tersebut terlihat mulai pulang. Satu persatu mereka keluar dengan menggunakan sepeda motornya. Sebagiannya lagi jalan kaki. Gafan melongok ke arah tempat parkir, ternyata di situ tinggal motornya saja yang masih tersisa. Waduh, bisa berabe nih, kata Gafan dalam hati.
“Pak, biasanya kalo razia sampe jam berapa selesai?” tanya Gafan kepada polisi sambil melihat-lihat razia yang belum juga kelar.
“Tergantung…. tergantung kapan mau diselesai’in,” jawab pak polisi sekenanya sambil menoleh ke arah tempat parkir dan melihat masih tersisa sebuah sepeda motor di sana.
Gafan langsung berdebar melihat polisi itu menoleh ke tempat parkir. Kontan saja ia pura-pura menggerutu. “Waduh, lama sekali sih, teman saya ngejemput,” ujar Gafan ngedumel agak keras supaya terdengar pak polisi. Maksudnya untuk meyakinkan polisi bahwa ia memang lagi nunggu jemputan dan bukannya nungguin motor yang lagi parkir itu.
Pak polisi melirik ke arah Gafan. Tak tahulah apa arti lirikannya. Yang jelas Gafan merasa kemungkinan siasatnya meyakinkan polisi itu berhasil. Tak lama kemudian polisi itu balik bertanya: “Kamu mau setor uang ke Bank, ya?”
“Ya, pak. Ndak banyak, kok. Cuma lima belas juta saja,” ujarnya berbohong untuk sekedar gaya-gayaan.
Polisi tersebut terdiam dan tetap mematung memandangi orang yang lalu lalang. Jam saat itu sudah menunjukkan hampir pukul setengah dua belas. Razia nampaknya sudah selesai. Ini terlihat dari mulai lancarnya arus kendaraan. Sedangkan polisi yang di dekat Gafan mulai melangkah pula hendak meninggalkan gerbang kantor itu. Gafan jadi agak lega.
Namun apa yang terjadi, tiba-tiba polisi itu kembali ke arah Gafan. “Ayo, saya antar saudara ke Bank. Mungkin teman saudara batal jemput,” ujarnya.
“Waduh pak, terima kasih banyak, ndak usah repot-repot. Sebentar lagi juga dia datang,” jawab Gafan berkilah.
“Ayo, ndak apa-apa. Ntar kalau sudah setor uang ke Bank saya antar lagi kemari. Di sini kurang aman, banyak jambret akhir-akhir ini,” kata pak polisi setengah memaksa.
“Ndak apa-apa, kok, saya bisa jaga diri,” ujar Gafan mulai khawatir.
“Ayoo.., ndak usah sungkan. Saya ndak enak hati biarkan saudara di sini sendirian bawa uang banyak,” jawab pak polisi sembari melingkarkan tangannya ke lengan Gafan lalu menggiringnya ke arah motor RGR-nya.
Gafan kembali berusaha menolak. Tapi tangan kanan pak polisi yang sudah melingkar di lengan Gafan terasa begitu kuat. Gafan akhirnya pasrah. “Ayo naik,” suruh pak polisi. “Nih pake helmnya, dan pastikan bunyi ‘klik’, ya,” lanjutnya lagi.
Gafan pun terpaksa menuruti. Ia naik di boncengan motor pak polisi. Setelah itu helm ia pasang sesuai instruksi, termasuk colokan helm yang harus berbunyi klik. “Kok bunyinya kluk, bukan klik?” tanya Gafan sedikit bergurau meski agak kesal.
“Ndak apa-apa. Klik dan kluk sama saja. Yang penting bunyinya bukan prook.”
“Prook itu bunyi apaan?”
“Itu bunyi helm hancur kegencet truck.”
“Kalau bunyinya.. prook… prook… prook…, kira-kira bunyi apaan, pak?”
“Bunyi helm kegencet truk tiga kali,” jawab pak Polisi sekenanya.
“Salah pak. Prook.. prook… prook.. itu bunyi sepatu seorang kapiten… hehehe,” jawab Gafan sambil cengengesan.
Mendengar jawaban tersebut pak Polisi bukannya ikut tertawa. Malah kini wajahnya menjadi lebih serius. Dengan wajah dingin, ditatapnya Gafan dalam-dalam. Karena badannya lebih tinggi, wajah pak polisi ditukikkan sedikit ke bawah. Tulang rahang yang semula terangkat naik, kini mulai turun pertanda ia sedang nyebeng.
“Saya ini polisi, tau! Tugas saya melindungi dan mengayomi, bukannya maen teka-teki, ngerti!! Ayo, pegangan yang kuat!” ujar pak polisi sembari menstarter motornya dan… langsung melejit.
Mendengar teka-tekinya tidak mendapat sambutan sebagaimana mestinya, Gafan hanya bisa garuk-garuk kepala. Namun karena saat itu ia sedang pakai helm, maka helm itulah yang digaruk-garuknya.
Gafan sendiri saat itu berusaha mencari akal agar bisa turun dari motor tersebut. Otaknya diputar terus. Dalam benaknya terbayang bagaimana jadinya nanti kalau sampai di Bank. Waduh, Gafan benar-benar puyeng akibat ulahnya sendiri. Gafan terus putar otak. Malah kini kepalanya juga ikutan diputar-putar sampai-sampai helmnya beradu dengan helm pak polisi.
Namun belum sempat lama-lama putar otak, tiba-tiba ia dikejutkan suara peluit polisi yang memboncengnya.
Rupanya pak polisi melihat seorang pengendara dengan motor pretelan. Kontan saja motor itu dikejarnya dengan kecepatan tinggi. Tak terkira takutnya Gafan dibonceng dengan kecepatan gila seperti itu.
“Waduh pak, pelan-pelan, saya takut nih,” pinta Gafan dengan gemetar sembari memeluk erat perut pak polisi.
“Kalau pelan mana bisa terkejar. Mungkin itu motor curian. Saudara tenang saja!,” jawabnya sambil terus memacu motornya dengan sangat cepat di antara keramaian lalu lintas.
“S-saya t-turun di sini saja, p-pak,” ucap Gafan gemeteran. Namun sayang ucapan Gafan tidak terdengar karena kalah keras oleh suara knalpot motor pak polisi. Gafan akhirnya hanya bisa pasrah.
Di tengah suasana kejar mengejar itu beberapa kali Gafan harus spot jantung. Pasalnya, beberapa kali motor pak polisi nyaris terserempet cidomo yang belok tiba-tiba. Tidak hanya sampai di situ, pengejaran kadang keluar masuk gang yang ramai anak-anak. Gafan hanya bisa berpegangan pada pinggang pak polisi sambil terus melihat ke depan dengan tegang. Mulutnya terus komat-kamit membaca doa yang pernah diajarkan kakeknya. Gafan tidak bisa membayangkan kapan adegan ini akan berakhir.
Namun tiba-tiba saja pak polisi menginjak rem dan memelankan motornya seketika. Padahal di tempat itu tidak ada orang. Selidik punya selidik ternyata jalan di depan ada gundukan. Dari jauh nampak sekitar empat gundukan melintang di tengah jalan dengan jarak masing-masing sekitar lima meter.
“Hati-hati, pak, di sini banyak polisi tidur,” kata Gafan mengingatkan.
“Itu bukan polisi tidur. Itu namanya gundukan, tau!! Polisi itu tidurnya di kasur, bukan di tengah jalan, ngerti?” jawab pak polisi agak jengkel. “Kamu mahasiswa, ya? Suka demo, ya?” lanjut pak Polisi.
“Ng.. iya pak,” jawab Gafan berbohong.
“Pantas saja kamu goblok. Berapa IP-mu?”
“Saya belum lihat, pak.”
“Alaaah…. paling-paling IP-mu cuma empat.”
Gafan jadi geli sendiri mendengar pak polisi yang mengira IP itu sama dengan nilai rapor di SMA. Padahal IP empat itu ‘kan IP-nya pak Habibie. Dasar polisi ngantuk, ucap Gafan dalam hati.
Dan tiba-tiba saja Gafan saat itu dapat akal. Saat pak “polisi ngantuk” akan melewati “polisi tidur”, kontan saja Gafan menjatuhkan helmnya. Prak, suaranya cukup keras. Pak polisi kaget dan menoleh kebelakang. Begitu melihat helm yang dipake Gafan jatuh, ia langsung menghentikan motornya. Gafan pun langsung turun mengambil helm itu.
“Nih, pak, helmnya. Saya turun di sini saja. Saya ndak berani ikut kebut-kebutan,” kata Gafan sambil mengembalikan helm pak polisi.
Pak polisi sendiri melongo sesaat, namun kemudian ia langsung tancap gas lagi mengejar motor pretelan tersebut.
Tak terkira lega hati Gafan bisa lepas dari bahaya. Dengan segera ia melangkah kembali ke kantor pupuk tempat menitip motornya. Jaraknya kira-kira dua kilometer. Dan kali ini ia harus rela jalan kaki karena tidak bawa uang sepeserpun. “Ndak apa-apa. Yang penting ndak berurusan dengan polisi. Semoga ini akhir dari kesialanku,” ucapnya dalam hati.
Tapi memang, kalau lagi sial, ya, tetap sial. Begitu sampai di kantor itu, ternyata pintu gerbang kantor sudah ditutup plus digembok dengan gembok sebesar bogem. Tampak di belakang kantor, di tempat parkir, motor Gafan dan jaketnya berdiri tenang menyendiri.
“Pak, mana nih penjaga kantornya?” tanya Gafan dengan nada khawatir pada seorang lelaki pedagang kaki lima yang ada di situ.
“Wah, barusan saja pergi shalat Jumat ke masjid,” jawab lelaki itu. “Dan biasanya setelah shalat jumat dia pulang dulu istirahat, dan….. balik kesini sekitar jam empat sore,” lanjutnya yang membuat Gafan lemas seketika. Waduh, nasib… nasib….##



Tidak ada komentar:

Posting Komentar