Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (10)

Perjalanan menuju lapangan di Kampung Seberang Sungai dilewati melalui kebun-kebun di kampung Gafan. Kampung Seberang Sungai jaraknya hanya 1 km dari kampung Gafan. Kedua kampung tersebut bertetangga dan hanya dibatasi oleh sebuah sungai yang –lumayan- lebar. Lebarnya sekitar 40 meter.
Air sungai tersebut di saat-saat hari biasa musim kemarau hanya setinggi satu setengah meter atau setinggi dagu orang dewasa. Namun demikian arusnya sangat pelan. Tapi ketika datang musim hujan tingginya bisa mencapai tiga meter dan arusnya deras.
Dulunya sungai tersebut tidak begitu dalam, malah tingginya hanya sampai lutut. Itu pun airnya mengalir bersih dan bening. Tapi kini sungai tersebut sudah agak keruh, kotor dan airnya tidak mengalir seperti dulu lagi. Penyebabnya adalah karena ulah para kuli pasir yang setiap hari menggali dan terus menggali pasir di dasar sungai. Kalau sudah habis pasir di tempat itu mereka berbondong-bondong mencari pasir ke hulu. Dulunya mereka cukup mengambil pasir ke tengah sungai tanpa bantuan sampan. Tapi karena makin lama sungai makin dalam karena mereka keruk, akhinya mau tak mau kalau akan beroperasi ke tengah sungai mereka harus menggunakan sampan kecil berbentuk persegi empat, mirip bak penampungan pasir.
Awalnya hanya satu-dua bak yang ada di sungai itu. Tapi kini jumlahnya lebih dari dua puluh. Semua bak dijejer di kedua sisi pinggir sungai dan ditambat pada kayu-kayu yang ada di sekitar situ. Sebagai kompensasi dari makin dalamnya sungai tersebut, para pemilik bak-bak ini mengijinkan orang-orang yang hendak menyeberang sungai untuk menggunakan bak-bak itu tanpa bayar. Syaratnya, harus dayung sendiri. Nah, ini yang repot.
Dayung yang digunakan tidak seperti dayung nelayan di pantai, melainkan dengan menggunakan sebuah bambu sepanjang 4 meter yang ditolakkan ke dasar sungai. Begitu bambu menyentuh dasar sungai, si pendayung ini mendorongnya kuat-kuat sehingga bak itu pun melaju. Tidak sembarang orang bisa mendayung dengan cara ini. Meskipun ia berpengalaman jadi nelayan, tapi untuk mendayung dengan cara seperti itu nampaknya mereka harus belajar lagi. Tak jarang karena tidak tahu metode mendayung, akhirnya bak jadi berputar-putar hingga ke seberang sungai. Ini tentu jadi bahan tertawaan orang yang ada di pinggir sungai. Dan bukan itu saja, tak jarang karena berputar-putar itu, penumpang bak jadi mabuk dan akhirnya muntah begitu sampai di seberang. Malah tidak sedikit penumpang yang bak-nya berputar-putar di tengah, akhirnya memilih untuk terjun saja dan berenang sampai ke seberang.
Para pemain KAMBER dan suporternya yang berjumlah seratusan itu baru saja tiba di pinggir sungai. Mereka terlihat gembira manakala menyaksikan bak-bak yang ada di sungai itu cukup banyak. Ini berarti semua pemain dan suporter nampaknya akan dapat terangkut sekali jalan.
Tanpa basa-basi lagi semua yang ada di pinggir sungai itu langsung menyerbu naik ke bak-bak tersebut. Masing-masing bak berisi 8 hingga 10 orang. Semua penumpang hanya bisa berdiri karena tidak ada tempat duduk. Begitu penuh langsung mereka ambil bambu yang tersedia lalu salah seorang mendorongnya dengan penuh semangat. Beberapa bak sudah berangkat. Terlihat di situ hanya ada satu bak yang melaju lurus yakni bak yang ditumpangi Gafan. Sedangkan beberapa bak lainnya terlihat mulai berputar-putar. Bak yang berputar-putar ini beberapa kali terlihat bertubrukan dengan bak lain yang berputar juga. Walau bertubrukannya pelan, tapi karena penuh oleh penumpang, maka beberapa penumpang yang pada berdiri jadi nyaris nyemplung ke sungai. Adegan-adegan inilah yang membuat suasana sungai jadi ramai. Suara tertawa terdengar hingar bingar. Terlebih lagi ketika bak mereka saling bertubrukan, penumpang masing-masing bak langsung serentak mendorong bak musuhnya dengan kaki. Akibatnya bak tersebut terdorong lagi sambil berputar ke arah berlawanan. Bahkan tak jarang begitu akan berbenturan, mereka saling berusaha menenggelamkan bak lawannya itu. Mereka semua terlihat begitu gembira meski khawatir juga kalau nanti kecebur dan basah.
Sementara itu bak yang ditumpangi Gafan meski berjalan lancar, tapi jadi terganggu juga oleh bak-bak yang berputar itu. Beberapa kali bak Gafan tertabrak. Namun demikian sedikit demi sedikit bak tersebut berjalan juga dengan lurus. Nah ini yang kembali jadi masalah. Karena melihat bak tersebut berjalan lancar, maka penumpang-penumpang bak lain berebutan mendekati bak Gafan. Lalu ketika bak mereka sudah bisa mendekati bak Gafan, langsung saja mereka berebutan naik ke bak tersebut. Alhasil bak Gafan yang sudah kepenuhan itu tambah kepenuhan oleh penumpang-penumpang pindahan tadi. Akibatnya, penumpang asli jadi berteriak-teriak marah karena bak akan karam. Dan memang, tak berapa lama bak tersebut langsung karam. Praktis para penumpang termasuk Gafan pada mencebur ke sungai dan berenang ke seberang.
“Setaaaaaan……..!!”gerutu salah seorang suporter yang basah kuyup. Suporter tersebut adalah suporter yang tadinya berpenampilan paling keren. Suporter itu sejak dari rumah sampai di atas bak tidak pernah mau buka kaca mata hitamnya. Namun karena kecebur itu maka kaca mata hitamnya pun langsung tenggelam. Beberapa kali ia coba menyelam mencari tapi tak ketemu-ketemu. Sedangkan penumpang lainnya baik yang sedang berenang maupun yang masih di atas bak terdengar tertawa kegirangan meski basah kuyup.
Yang lebih jahil lagi, sebagian suporter yang kecebur tadi langsung pada berenang mengerubuti bak-bak yang belum tenggelam. Tujuannya bukan untuk menumpang, melainkan menggoyang-goyang bak tersebut dari bawah agar bisa sama-sama tercebur dan basah. Dan memang, semua penumpangnya harus rela tercebur. Bahkan ada beberapa bak yang langsung saja dibalik tanpa digoyang-goyang dulu. Akibatnya semua nyungsep dan basah kuyup.
Tapi nun jauh di seberang, di tempat start, ternyata ada satu bak yang belum berangkat. Di bak tersebut nampak Ihsan, Bakos dan pak dukun. Tampak ketiganya sedang bersitegang. Bakos kelihatan diomeli oleh Ihsan dan pak dukun. Ihsan memerintahkan Bakos untuk tidak ikut numpang di bak itu, karena bak tersebut adalah bak khusus untuk pak dukun. Jadi, tidak boleh campur dengan orang lain.
“Ini bak kelas vip. Jadi tolong cari bak lain saja !” bentak Ihsan.
“Mau pakai bak mana ? Semua sudah karam. Pokoknya saya numpang di sini saja !” ketus Bakos seraya langsung berdiri di tengah bak.
“Koz, zangan numfang di zini, nanti biza zial zihir zaya” ujar pak dukun yang duduk di moncong bak. Tapi Bakos tidak peduli, langsung saja ia ambil inisiatip mendayung dengan bambu panjang. Bambu itu ditolakkan di dasar sungai dengan sekuat tenaga. Bak itu pun kemudian berjalan perlahan. Tapi baru tiga meter melaju, bak tersebut mulai berputar kekiri. Bakos berusaha memutar haluan, tapi bak tersebut mutar lagi ke kanan. Jadi, kiri kanan oke, mirip jalannya ular kekenyangan. Beberapa kali pak dukun akan terjungkal karena perubahan perputaran mendadak itu, termasuk juga Ihsan ia hampir kecebur. Akhirnya Ihsan tak dapat menahan rasa jengkelnya. Dan tanpa basa-basi lagi seketika itu juga Bakos didorongnya kuat-kuat hingga kecebur ke sungai. Dayung bambu panjang yang ada di tangan Bakos ikut kecebur juga dan terlihat mulai hanyut. Ihsan jadi tambah bingung.
“Wadduh, tolong Kos, ambilkan bambu itu” pinta Ihsan. Tentu saja hal itu ditolak Bakos. Malah Bakos mulai menggoyang-goyang bak tersebut yang membuat pak dukun ketakutan. Melihat ancaman itu, Ihsan langsung menendang Bakos, namun tidak kena. Bakos segera menghindar dan berenang ke seberang menyusul kawan-kawannya. Kini tinggallah bak pak dukun dan Ihsan yang berada tepat di tengah sungai tanpa dayung. Maju tak bisa, mundur tak bisa. Ihsan dan pak dukun terlihat kebingungan. Beberapa kali ia minta bantuan teman-temannya yang ada di seberang namun tak ada yang menggubris. Terdengar suara Ihsan mengumpat-umpat.
“Dayung fakai tangan zaja Zan” kata pak dukun. Ihsan menurutinya. Ia coba mendayung dengan tangan tapi tak membuahkan hasil. “Ayo, lebih berzemangat lagi !” kata pak dukun tanpa mau membantu mendayung.
“Pak dukun juga tolong dong mendayung”
“Zaya tidak bolekh khena air. Ilmu zaya biza ruzak” jawabnya berkelit. Ihsan jadi kelihatan jengkel.
Sementara itu sedikit demi sedikit bak tersebut mulai terbawa arus sungai. Walaupun arusnya perlahan, tapi terus saja menyeret bak tersebut. Ihsan dan pak dukun tambah kebingungan, sedangkan teman-temannya di seberang tertawa terbahak-bahak. Malah kini berangsur-angsur mereka mulai terlihat meninggalkan tempat itu untuk segera menuju ke Kampung Seberang Sungai.
Ihsan tambah bingung, begitu juga pak dukun. “Ayo dayung, zomfret” bentaknya pada Ihsan. Tentu saja Ihsan tambah jengkel. Apalagi kini bak tersebut mulai menuju ke bagian sungai yang lebih dalam dan menyeramkan. Konon di bagian itu sering minta korban nyawa karena ada jinnya. Akhirnya tanpa basa-basi lagi langsung saja Ihsan nyebur ke sungai dan berenang ke seberang meninggalkan pak dukun seorang diri. Tak terkira takutnya pak dukun. Terdengar teriakannya minta tolong dan mencaci-maki Ihsan maupun semua suporter yang telah meninggalkannya. Ihsan terus saja berenang hingga akhirnya ia sampai di seberang. Setelah naik ke darat, Ihsan lansung melambaikan tangan kepada pak dukun.
“Dag…. Good bye” ucapnya seraya langsung ngeloyor hendak mengejar teman-temannya.
Melihat hal itu maka tak ada cara lain bagi pak dukun. Baknya makin lama makin ke hilir dan ke bagian sungai yang sering menelan korban. Akhirnya karena ketakutan, ia pun nyebur juga ke sungai dan dengan tertatih-tatih ia berenang. Nafasnya terdengar ngos-ngosan, lidahnya kelihatan terjulur. Beberapa kali air sungai masuk ke mulutnya. Dan malah beberapa daun-daunan yang hanyut terlihat nyangkut di ikat kepalanya. Namun ia tidak peduli, terus saja ia berenang dengan kepala penuh dedaunan mirip tentara di-kamuflase.
Entah sudah berapa macam gaya renang yang dipakai oleh pak dukun. Mulai dari gaya katak, gaya kecebong, gaya kupu-kupu sampai dengan gaya buaya. Mulai dari gaya tengadah, tengkurep, gaya menyelam sampai dengan gaya yang benar-benar membuat dia tenggelam. Terakhir kali ia coba menggunakan gaya tengadah sambil kaki tangan digerakkan perlahan. Dari mulutnya sesekali muncrat air yang sengaja disemprotkan tinggi-tinggi ke atas. Ini menurut pak dukun adalah renang gaya baru, yakni gaya ikan paus. Beberapa kali ia terlihat menyemprotkan air mirip ikan paus. Namun lama-kelamaan ia terlihat tidak bisa nyemprot-nyemprot lagi karena memang mulutnya penuh kemasukan air.
Akhirnya dengan perjuangan yang teramat berat, sampai juga pak dukun ke pinggir sungai. Di pinggir sungai pak dukun langsung menghempaskan badan dan tidur tengadah mengatur nafas. Zimat-zimat dan “zamfi-zamfi” yang ada di kantong bajunya habis basah kuyup semua. “Baru fertama khali ini akhu zial” gerutunya sambil meraba perutnya yang kembung karena banyak kemasukan air.
Sementara itu para pemain KAMBER saat itu sudah jauh meninggalkan sungai. Hampir semua pemain berjalan tanpa baju. Mereka terlihat berjalan sambil memelintir kostumnya untuk memeras airnya. Tak satu pun yang terlihat menyesali kejadian di sungai tadi. Malah mereka terlihat gembira sambil cekikikan bila mengingat-ingat saat mereka tadi nyemplung di sungai. Tampak di belakang Ihsan berlari-lari kecil mengejar teman-temannya.
“Mana pak dukun” tanya Gafan ketika Ihsan sudah bergabung dengan teman-temannya.
“Hanyut barangkali. Soalnya tadi saya tinggalkan di atas sampan” jawab Ihsan sambil membuka kaosnya kemudian memelintirnya.
Gafan terkesima sejenak. Semula ia hendak mengajak teman-temannya untuk membantu pak dukun. Gafan khawatir dengan nasib pak dukun karena sungai yang dilaluinya bukan sembarang sungai. Sungai tersebut meski tidak dalam dan ganas tapi pernah juga makan korban. “Kamu yang bener dong, ini menyangkut nyawa orang” kata Gafan sembari hendak kembali ke sungai.
“Ah, sudahlah. Pak dukun kan orang sakti. Masak sama air sungai saja kalah” jawab Ihsan sambil segera menarik tangan Gafan. Begitu pula dengan teman-teman yang lain nampaknya tidak begitu tertarik untuk mengetahui nasib terakhir pak dukun.
Mereka terus saja berjalan melalui pematang-pematang sawah. Sesekali tangan mereka jahil memetik kacang panjang yang kebetulan sedang berbuah lebat. Kacang panjang itu pun dimakan sambil jalan. Mula-mula satu dua orang yang memetik. Namun lama kelamaan semua pemain ikut-ikutan memetik kacang panjang di sepanjang pematang. Tidak terkecuali Gafan, ternyata ikutan juga. Begitu juga Bakos tidak ketinggalan. Malah ia kini terlihat berjalan ke bagian tengah sawah. Dia melihat kacang panjang di bagian tengah sawah lebih ranum dan hijau. Begitu melihat Bakos berjalan ke tengah sawah, teman yang lain pun ikutan ke tengah. Mereka menginjak-injak tanaman kacang panjang yang dilaluinya. Akibatnya ramailah sawah tersebut dengan para pemain KAMBER dan suporternya. Entah berapa besar kerugian pemilik sawah akibat kacang panjangnya dijarah dan diinjak-injak.
Tidak sampai di situ, malah kini mereka ekspansi ke sawah sebelahnya yang berisikan tanaman jagung. Terdengar beberapa kali suara jagung yang dipatahkan. “Ini untuk dibakar nanti malam guna merayakan kemenangan” ucap seorang suporter dengan lantang. Teman-temannya yang lain pun kemudian ikutan pula memetik jagung, mirip panen raya. Namun tiba-tiba dari kejauhan terdengar orang berteriak dengan marahnya. Kelihatan ia berlari mengejar para “penjarah” itu dengan parang terhunus.
“Setaaaaaaaan…….maliiing…..awaas !!” teriaknya marah.
Melihat hal itu tak terkira kaget Gafan dan teman-temannya. Seketika itu juga mereka berhamburan berlarian sekencang-kencangnya. Dan tentu saja karena kacau balaunya mereka berlari maka makin kacau balau pula tanaman jagung maupun kacang panjang yang ada di situ. Ada pohon yang terinjak, tertabrak maupun tertindih oleh tubuh-tubuh yang jatuh. Mereka terus berlari melalui sawah-sawah yang lainnya. Tak ada yang berlari melalui pematang karena bisa-bisa terjatuh. Dan hampir semua pemain dan suporter KAMBER yang berjumlah seratusan itu berlari ke arah yang sama. Sehingga nampaknya mereka dari kejauhan seperti sedang lomba lari marathon di tengah sawah. Akibatnya semua sawah yang dilewati kacau balau seketika. Tanaman jagung, kacang, kedelai dan kacang panjang penduduk jadi habis terinjak-injak. Belasan petak sawah yang mereka lalui kacau balau semua.
Makin lama yang mengejar mereka makin banyak. Para pengejar berasal dari pemilik tanah yang berbeda yang tentunya tanah mereka terinjak-injak. Jumlahnya kini lebih sebelas orang. Semua bawa parang. Para pemain dan suporter KAMBER makin ketakutan. Tiap mereka lari melewati sawah lain, maka pemilik sawah tersebut dengan serta merta ikut-ikutan mengejar. Tak terkira kencangnya lari rombongan KAMBER. Bahkan sebelas orang pesilat berpakaian hitam-hitam itupun terlihat lari ketakutan juga. Malah larinya paling kencang.
“Hey pesilat, kamu balik sana ! Hadapi mereka, koq ikutan lari?!” teriak Bakos sambil terengah-engah dan terus berlari.
“Sorry Kos, ilmu silat kami belum sampai bab main parang” jawab salah seorang pesilat itu sambil terus meningkatkan kecepatan larinya.
Akhirnya saat itu juga Gafan memerintahkan teman-temannya untuk lari lewat jalan desa yang ada di pinggir sawah. Ajakan ini pun langsung dituruti. Semua “peserta lari” belok kiri menuju jalan kecil yang ada di situ. Mereka terus berlari. Dan memang setelah berlari lewat jalan itu para pengejar tidak makin bertambah seperti sebelumnya. Malah kini pengejar terdahulu kelihatan berkurang karena keburu ngos-ngosan. Maklum para pemilik sawah tersebut semuanya manusia usia lanjut.
Setelah agak jauh dan dirasa tak ada lagi yang mengejar mereka, maka rombongan KAMBER itupun berjalan biasa lagi seperti sediakala. Dan seperti biasa pula mereka cekikikan lagi meskipun tadi telah diliputi ketegangan. Beberapa suporter dan pemain KAMBER malah kini tampak mengeluarkan hasil “jarahannya” dari dalam bajunya. Mereka terlihat tertawa-tawa sambil membandingkan hasil jarahannya dengan jarahan temannya yang lain. Sambil terus berjalan mereka memakan jarahan tersebut. Yang dimakan mentah hanya kacang panjang dan kacang tanah saja. Sedangkan jagung tetap disimpan untuk nanti malam.
Perjalanan mereka tinggal seratus meter lagi. Kampung Seberang Sungai yang berada di kejauhan sudah mulai kelihatan. Apalagi lapangan bolanya, meski letaknya berada agak di dalam, namun terlihat sangat jelas. Para pemain KAMBER dan suporternya makin mempercepat langkahnya. Mata mereka semua tertuju pada lapangan itu saja. Para pemain KAMBER sudah tidak sabar lagi ingin menunjukkan kebolehan mereka bermain. Mereka tidak sabar lagi untuk menghabisi lawan-lawannya. Mereka betul-betul optimis akan menang, bila perlu menang telak. Apalagi lawan yang akan mereka hadapi adalah lawan yang enteng dan boleh dipandang sebelah mata.
“Pokoknya pasti kita menang” ujar Alie dengan lantang. Kemudian sambil terus berjalan ia pun kembali mengingatkan berbagai taktik dan strategi bermain yang harus dilakukan. Kata-katanya sama dengan waktu memberikan penjelasan di rumah Gafan tadi.
“Kan itu sudah dijelaskan semua” ujar Bakos dengan nada bosan.
“Ini namanya penyegaran, tahu ! Harus disegarkan lagi supaya tidak lupa !” ucap Alie jengkel seraya memelototi Bakos. Sedangkan Bakos sendiri langsung tidak bereaksi. Bukannya karena tidak berani, namun karena tidak ingin bersengketa dengan Alie saat itu. Ia tidak mau hanya karena gara-gara bersengketa dengan Alie lalu tidak diturunkan jadi pemain inti. Dan memang hampir semua pemain KAMBER tidak ada yang berani protes pada Alie. “Sekali lagi kamu protes, bersiaplah jadi pemain cadangan !” ancamnya. Dan memang ancaman ini manjur juga.
Makin lama makin dekat juga lapangan yang dituju. Penonton yang ada di situ juga makin jelas kelihatan. Hanya saja yang mengherankan sejumlah penonton terlihat hilir mudik, datang ke lapangan, lihat-lihat sebentar, lalu balik dan pulang lagi. Hampir semua yang datang ke lapangan itu hanya mampir sebentar, lalu balik lagi, pulang. Nah, ini yang membuat para pemain dan suporter KAMBER penasaran.
Jangan-jangan ada masalah lagi kata Gafan dalam hati. Bakos dan Alie juga nampaknya berperasaan serupa. Mereka bertiga hanya bisa diam dan saling pandang. Namun rombongan KAMBER ini terus saja berjalan. Saat itu mereka berpapasan dengan seorang penonton yang rupanya baru balik dari lapangan.
“Kenapa kembali pak ?” tanya Gafan.
“Kamu lihat saja sana di lapangan” ujar bapak tersebut seraya terus ngeloyor.
Para pemain dan suporter KAMBER jadi tambah penasaran. Mereka terus saja berjalan dengan cepatnya. Untuk memperpendek jarak, mereka ambil jalan pintas melalui rumah-rumah penduduk. Mereka sudah tahu betul jalan di kampung itu. Nantinya mereka akan tiba di sebuah gang, kemudian di ujung gang ada tikungan. Nah, di tikungan itulah letak lapangannya.
Gafan cs terus saja berjalan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, sepi. Beberapa penduduk kampung Seberang Sungai yang mereka temui di jalan terlihat menertawakan mereka. Para penduduk tersebut sepertinya tertawa sambil mengolok-olok. Bahkan ada yang sampai tertawa terbahak-bahak, sepertinya ada hal yang lucu. Gafan cs tidak menghiraukannya. Mereka terus saja berjalan. Begitu pula para suporternya. Dan begitu tiba di ujung gang, Gafan cs langsung belok kiri dan……………………..tak terkira terkejut hatinya.
Lapangan bola berupa sawah tersebut mendadak penuh dengan air setinggi betis, mirip ketika musim tanam padi. Padahal saat itu musim kemarau panjang. Entah dari mana air itu datang. Malah di beberapa bagian tengah lapangan terlihat pohon-pohon pisang tertancap.
“Kok bisa jadi begini ?” kata Gafan kesal.
“Kami mau tanam padi” ujar seseorang tinggi besar dengan nada ketus. Rupanya ia kepala dusun setempat.
“Tapi, ini kan musim kemarau. Dan lagi, sawah ini sekarang kan dipakai untuk lapangan bola” protes Gafan.
“Ini adalah kebijakan saya selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dusun ini” ujarnya dengan nada sombong. “Dan kebijakan ini sudah disetujui oleh semua penduduk di sini, ya kan ?!” lanjutnya seraya minta persetujuan penduduk yang mengelilinginya. Kontan saja semua penduduk berteriak menyetujuinya. Mereka berteriak setuju sambil tertawa-tawa. Akibatnya Gafan tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa tunggu lebih lama lagi langsung saja ia mengajak teman-temannya untuk pulang. Betapa kesal hati mereka. Rupanya penduduk Kampung Seberang Sungai sengaja melakukan hal itu. Mereka rupanya menginginkan kompetisi Sapi Cup itu bubar saja karena kedua tim tuan rumah yakni macan kuning dan macan kumbang sudah kalah duluan.
Tak terkira dongkol hati Gafan cs. Terus saja mereka berjalan pulang. Terdengar suara penduduk setempat menertawakan mereka. Malah tiba-tiba seorang ibu judes memegang sapu ijuk terlihat mengejar rombongan Gafan cs. Ibu judes tersebut langsung menyeruak ke dalam rombongan itu. Semua pemain dan suporter KAMBER terkesima. Dan detik itu juga gagang sapu dari bambu itu langsung mendarat ke kepala Bakos dengan telaknya. Kepala Bakos yang botak itu benjol seketika. Bakos jadi terheran-heran. Belum sempat ia bertanya, si ibu kembali melayangkan gagang sapu ke punggungnya.
“Kamu ‘kan kemarin yang habisi buah jambu saya” ucap si ibu sambil kembali menghadiahkan Bakos pukulan.
Detik itu juga Bakos langsung melejit berlari sekuat tenaga. Akibatnya pukulan si ibu judes meleset mengenai kening Alie. Tidak sampai di situ, pemain yang lain pun ikut jadi sasaran. Dan akhirnya semuanya pada berlarian. Mereka berlari sambil menyoraki si ibu maupun penduduk setempat. Para penduduk pun menyoraki mereka pula. Maka terjadilah saling sorak menyoraki. Dan sudah barang tentu sambil saling sumpah menyumpah. Hampir seluruh satwa isi kebun binatang disebut-sebut untuk saling menyumpahi.
Lama kelamaan kedua belah pihak terlihat mulai saling lempar. Mula-mula dengan batu kerikil kecil, tapi lama kelamaan batu yang dipakai melempar semakin besar. Bahkan para pesilat yang berpakaian serba hitam itu berkali-kali melempar penduduk dengan potongan bata. Bukan itu saja, mereka tidak hanya melempar penduduk tapi juga atap rumah penduduk. Akibatnya beberapa kali terdengar suara atap pecah dan isi rumah berantakan. Tidak sampai di situ, para pesilat ini juga menantang para penduduk yang ada di situ. Dan memang tanpa diduga-duga, tiba-tiba saja penduduk melakukan pengejaran. Ternyata jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang terlihat sebelumnya. Hampir seisi kampung keluar.
Melihat gelagat tidak baik itu kontan saja rombongan KAMBER melarikan diri, tak terkecuali para pesilat tersebut.
“Kenapa lari, hadapi sana ! Masak pesilat lari” kata Bakos jengkel sambil masih terus berlari.
“Sorry Kos, ilmu silat kami belum sampai bab dikeroyok orang sekampung” jawab salah seorang dari mereka berdalih dan seperti sebelumnya sambil meningkatkan kecepatan larinya.
Dari kejauhan rombongan “pelari” itu nampak mirip peserta lomba lari marathon 10 K. Lari mereka tidak terpencar-pencar. Entah siapa yang mengkoordinirnya. Yang jelas mereka saat itu berlari tidak melalui jalan kampung melainkan melalui sawah-sawah yang penuh tanaman palawija. Dan tentu saja palawija penduduk itu langsung kacau balau begitu dilewati oleh “peserta lari” tersebut. Ratusan tanaman jagung yang tadinya berdiri tegak, langsung roboh seketika begitu dilewati rombongan KAMBER. Bila diperhatikan dari jauh, tanaman tersebut mirip sedang di-buldozer.
Melihat tanamannya dirusak oleh “peserta lari” tersebut, tak terkira marah para pemilik sawah. Mereka akhirnya bergabung bersama para penduduk Kampung Seberang Sungai untuk melakukan pengejaran. Jumlah mereka lebih dua ratusan. Hanya saja mereka melakukan pengejaran tidak lewat tengah sawah, melainkan jalan kampung. Terlihat asap mengepul di sepanjang jalan tanah tersebut. Antara pihak yang dikejar dengan pengejarnya hanya berselang jarak 200 meter.
Sementara itu begitu melihat dirinya dikejar, para pemain KAMBER dan suporternya makin mempercepat larinya. Tampak sebelas orang berbaju hitam-hitam berlari dengan kecangnya di deretan paling depan. Mereka rupanya para pesilat anak buah Mohdan. Sedangkan pemain KAMBER dan suporter lainnya mengikuti di belakang. Begitu pula dengan salah seorang suporter yang paling keren terlihat tertatih-tatih berlari. Apalagi tiap meloncati parit kecil, dia yang paling kerepotan. Lha, bagaimana ndak repot, karena celana jeans yang dipakainya sangat ketat. Ditambah lagi saat itu ia pakai sepatu vantopel, maka makin sempurnalah kerepotannya. Di antara “peserta lari” dialah yang paling belakang.
Makin lama makin kencang saja lari kedua belah pihak. Para pengejar terus saja mengejar. Rupanya mereka teramat marah karena suporter dan pemain KAMBER telah merusak-rusak sawah penduduk yang berada di daerah teritorial Kampung Seberang Sungai. Sementara itu pihak yang dikejar terus saja berlari. Mereka berlari menuju ke arah sungai yang tadi mereka seberangi. Dan begitu sampai di sungai, tapa basa-basi langsung mereka nyebur dan berenang sekuat tenaga. Tak terkira cepat mereka berenang, mungkin karena pengaruh ketakutan. Hampir tak terdengar suara tawa ataupun celoteh mereka saat itu. Semua berusaha menyelamatkan diri. Walhasil sungai tersebut terlihat ramai karena lebih seratus orang yang balapan berenang.
Pak dukun yang saat itu masih tidur tengadah kelelahan di pinggir sungai jadi terheran-heran melihat adegan tersebut. Baru saja ia hendak bangkit tiba-tiba seseorang suporter KAMBER yang sedang berlari hampir menginjak dadanya. Rupanya remaja keren bercelana jeans yang masih ketinggalan sendiri. “Sorry, saya kira kayu balok” ujarnya terengah-engah. Si remaja keren ini langsung nyebur ke sungai dan berenang sekuat tenaga. Pak dukun makin heran. Ia bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi. Tampak di seberang sungai Gafan yang baru saja mendarat melambai-lambaikan tangannya memanggil pak dukun.”Cepet berenang” teriak Gafan.
“Ada apa ?” tanya pak dukun dengan suara sayup-sayup.
“Pokoknya cepet berenang kemari” kata Gafan sambil melambaikan tangannya. Semua pemain dan suporter KAMBER terlihat ikut melambaikan tangan menyuruh pak dukun berenang. Hanya Bakos saja yang terlihat melambaikan tangan menyuruh pak dukun diam di tempat. Pak dukun jadi bingung, apalagi saat itu ia baru saja pulih dari kelelahannya berenang. Di saat kebingungan itu mendadak sekitar lima puluh meter di belakangnya ratusan orang terlihat mengejar-ngejar dengan garang. Melihat hal itu barulah pak dukun mengerti apa yang terjadi. Pak dukun rupanya tak mau ambil resiko diamuk massa. Ia pun dengan terpaksa kembali nyebur ke sungai langsung menyelam dan ……hilang.
Para pengejar tiba di pinggir sungai ketika baru saja pak dukun hilang dari pandangan. Mereka rupanya hanya mau mengejar sampai di situ. Entah karena enggan mengarungi sungai atau karena merasa bahwa seberang sungai bukan merupakan daerah mereka lagi. Mereka hanya berdiri di pinggir sungai seraya mengucapkan kata-kata caci-maki dan sumpah serapah. Para suporter KAMBER pun demikian juga. Mereka saling caci. Dan kembali, hampir semua satwa isi kebun binatang disebut-sebut untuk saling mencaci.
Lama kelamaan para pengejar tersebut bosan juga saling caci. Akhirnya atas instruksi kepala dusunnya mereka kembali ke kampungnya. Namun sebelum itu salah seorang dari mereka sempat juga menebar ancaman, khususnya kepada Alie, sang menejer.
“Awas kamu ! Jangan harap bisa ngapel lagi ke rumah si Juleha” ancamnya dari kejauhan.
Alie hanya garuk-garuk kepala. Rupanya di Kampung Seberang Sungai ia punya pacar bernama Juleha. Dan dengan peristiwa Kamis kelabu itu, nampaknya hubungannya pun bakal terganggu. “Sial…..,” gumannya seraya memandangi para penduduk Seberang Sungai yang sudah mulai pergi. Alie pun kemudian mengajak teman-temannya untuk pulang, namun segera dicegah oleh Ihsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar