Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (5)

Meski gagal pada kompetisi kambing cup, namun para pemain Kamber tetap penuh harap. Ya, mereka berharap agar kompetisi bisa berakhir seperti “lazimnya”. Maksudnya, begitu baru sampai perempat final, kompetisi langsung bubar. Dari waktu ke waktu memang begitu adanya. Pasti ada saja kesebelasan dan suporternya yang bikin kekacauan. Biasanya adalah tim yang kalah.
Meski gagal pada kompetisi kambing cup, namun para pemain Kamber tetap penuh harap. Ya, mereka berharap agar kompetisi bisa berakhir seperti “lazimnya”. Maksudnya, begitu baru sampai perempat final, kompetisi langsung bubar. Dari waktu ke waktu memang begitu adanya. Pasti ada saja kesebelasan dan suporternya yang bikin kekacauan. Biasanya adalah tim yang kalah.
Saat tim mereka kalah, selalu ada saja yang akan dijadikan kambing hitam. Entah itu wasit yang dikatakan berat sebelah atau juga faktor tim musuh yang banyak ‘ngebon’ pemain bayaran.
Kalau kambing hitam tidak ada, maka jalan satu-satunya yakni bikin “keramaian” alias keributan. Saling tantang. Akibatnya, usai pertandingan suasana benar-benar ramai. Malah penontonnya lebih ramai dari yang nonton pertandingan. Soalnya saat keributan terjadi para penduduk kampung pada berduyun-duyun keluar menyaksikan even langka tersebut. Dari bapak-bapak hingga kakek-kakek keluar nonton orang baku hantam. Bahkan kadang ibu-ibupun tumpah ruah juga sambil menyusui anaknya yang dalam gendongan.
Dan pada kompetisi kambing cup LKMD tersebut, harapan kesebelasan KAMBER benar-benar jadi kenyataan. Pada babak perempat final, tiga hari setelah kekalahan Gafan cs, salah satu kesebelasan yang konon di sana banyak jago silatnya, kalah telak. Alhasil terjadilah perkelahian. Pemain baku hantam lawan pemain. Penonton dengan penonton. Penonton gebuk pemain. Pemain gebuk wasit. Wasit terbirit-birit. Panitia pertandingan pun tak ketinggalan berjibakutai. Maklum satu sama lain berasal dari kampung berbeda. Mereka ikutan menggebuk pemain musuhnya. Panitia yang lain pun begitu juga. Menggebuk musuhnya juga. Lama kelamaan antar panitia saling gebuk. Kertas-kertas catatan, time table dan meja panitia diobrak-abrik. Bahkan speaker pun dibanting. Padahal speaker tersebut dapat minjam di masjid. Pokoknya kacau, dah.
Sementara itu beberapa orang hansip desa tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menonton saja. Antara satu hansip dengan hansip lainnya sebenarnya berasal dari kampung berbeda. Beberapa kali mereka nyaris juga baku hantam antar sesama hansip, tapi segera mereka sadarkan diri karena dilerai oleh beberapa pemain, padahal pemain yang melerai tersebut sedang saling gebuk.
Di sisi lain, para pemain KAMBER yang saat itu nonton bersorak-sorak gembira sambil saling menyalami.
“Alhamdulillah kompetisi bubar. Supaya sekalian tidak ada yang juara” ujar Bakos seraya mencabuti tiang gawang beramai-ramai bersama teman-temannya.
“Hay setan, jangan dicabuti tiang gawang itu !” bentak seorang hansip.
Mendengar bentakan tersebut Bakos cs bukannya menghentikan aksinya, malah makin semangat mencabut gawang dari pohon pinang itu. Dan begitu tercabut, langsung mereka lemparkan ke arah hansip yang membentak mereka tadi. Lemparan pertama tidak kena, si hansip jadi garang, bersiap pasang kuda-kuda hendak mengejar Bakos cs. Tapi begitu hansip agak dekat, kembali sebuah tiang gawang sebesar paha itu dilemparkan ke arahnya beramai-ramai. Hasilnya, tulang kering si hansip tersenggol ujung tiang gawang. Si hansip terduduk mengaduh-aduh sambil menyumpah-nyumpah. Mendengar sumpah serapah si hansip, Bakos cs tambah murka. Sekali lagi dilemparkannya tiang gawang yang tersisa ke arah hansip dengan keras. Melihat bahaya yang mengancamnya, maka tanpa basa-basi lagi si hansip segera lari pontang-panting dengan kaki terpincang-pincang.
Situasi tersebut benar-benar kacau. Nyaris saja terjadi tawuran antar kampung. Konon kedua kesebelasan masing-masing mempunyai suporter dalam jumlah besar. Tapi untung saja aparat keamanan datang melerai. Sejumlah petugas dari polsek terdengar menembak-nembakkan pistolnya ke udara. Kedua kubu pada berlarian meski masih terdengar ucapan saling sumpah serapah dari jauh.
Menjelang azan magrib suasana agak reda karena terdengar suara azan. Rupanya meski mereka suka tawuran, tapi kalau sudah mendengar azan, mereka pulang juga. Dan yang terlebih dahulu pulang adalah kesebelasan yang tadinya memang kalah. Sedangkan kesebelasan yang menang sebagian sudah pulang dan sebagiannya lagi menuju kantor desa. Mereka ke kantor desa untuk protes.
“Kami protes pak ! Kami yang menang dan akan jadi calon juara” kata mereka.
“Tapi ‘kan masih tersisa 2 pertandingan lagi.” Jawab pak Kades.
“Gimana mau bertanding, lapangannya sudah dirusak !”
“Ya, sudah. Kalau lapangannya rusak, berarti kompetisi bubar. Titik. Sampai jumpa di kompetisi lain, tahun depan” ujar pak Kades sembari ngeloyor.
Mendengar hal itu para pemain dan suporternya merasa jengkel. Mereka mengurung pak Kades. “Kalau begitu hadiahnya diberikan kepada kami !” bentak mereka.
“Lho, tidak bisa dong. Yang masuk perempat final ‘kan 4 kesebelasan. Masak kalian sendiri yang diberi hadiah. Tidak bisa begitu dong !!” jawabnya.
“Pokoknya kami minta hadiahnya” bentak mereka. Suara mereka terdengar riuh rendah. Bahkan di antara kerumunan itu terlihat Gafan, Bakos dan para pemain Kamber lainnya. Mereka juga membela tim yang menang itu. Terutama sekali Bakos, dia yang paling keras menuntut. Lebih keras dari pemain yang menang itu. Rupanya Bakos dijanjikan oleh para pemain yang menang itu akan diundang dalam pesta makan kambing. Syaratnya, Bakos dan Gafan harus ikut menuntut diberikannya hadiah kambing tersebut.
Akhirnya berkat perjuangan yang gigih disertai sedikit tindakan anarkis berupa pemecahan kaca jendela kantor, kambing itupun diserahkan juga.
“Silahkan ambil di belakang kantor” ujar Pak Kades yang langsung disambut sorak gegap gempita oleh para pemain tersebut. Pak Kades langsung pulang. Sementara para pemain dan puluhan suporternya berlarian menuju ke belakang kantor desa. Di situ tampak seekor kambing lagi tiduran karena hari sudah agak gelap.
Tanpa basa-basi lagi mereka mengangkat kambing tersebut tinggi-tinggi. “Kita pesta sekarang…..” teriak mereka. Dan kambing itupun mereka arak beramai-ramai pulang kampung dengan penuh bangga. Bermacam-lagu mereka nyanyikan sepanjang jalan, mulai dari Halo-halo Bandung sampai dengan ole-ole Bandung.
Sekitar 1 km dari kantor desa, mereka berhenti di perempatan desa. Semua kendaraan dari 4 arah dihentikan hanya untuk menyaksikan bahwa mereka dapat “piala” berupa kambing. Kebetulan di perempatan itu ada lampu penerangan jalan. Dan……….mendadak sorak-sorai mereka tiba-tiba terhenti. Pasalnya, setelah diamat-amati……ternyata “kambing piala” tersebut terkena …………..ANTHRAX.
“Setaaaaaannnnnn……..!” teriak mereka kesal seraya membanting kambing malang itu. Kambing itu pun terbirit-birit masuk semak belukar di pinggir jalan. Terdengar di kejauhan ia mengembek dengan suara melengking memilukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar