Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (3)

Usai acara minum-minum, Ali kembali memanggil semua pemainnya untuk diberikan penjelasan seperlunya. Para pemainnya sendiri tidak ada yang memperhatikan. Para pemain KAMBER ada yang berdiri, ada yang tiduran di rumput sambil siul-siul, ada yang hadap ke timur, utara, barat, ada yang minta dipijitin, ada yang sambil ngerokok dan ada pula yang sambil godain cewek-cewek.

Usai acara minum-minum, Ali kembali memanggil semua pemainnya untuk diberikan penjelasan seperlunya. Para pemainnya sendiri tidak ada yang memperhatikan. Para pemain KAMBER ada yang berdiri, ada yang tiduran di rumput sambil siul-siul, ada yang hadap ke timur, utara, barat, ada yang minta dipijitin, ada yang sambil ngerokok dan ada pula yang sambil godain cewek-cewek. Tapi Ali terus saja nyerocos. Kali ini yang dijelaskan adalah asal usul sepak bola dan nama-nama kesebelasan yang pernah menjuarai Piala Dunia, mulai dari piala dunia pertama hingga seterusnya, lengkap bersama nama-nama para pemainnya yang terkena kartu merah.
Wah, gawat nih menejer, pikir Gafan sembari ngeloyor menuju ke tengah lapangan meninggalkan sang menejer yang makin tidak karuan. Dan akhirnya pidato sang menejer pun terhenti seketika karena kaget oleh suara peluit wasit yang ditiup keras-keras tepat di dekat telinganya. Pemain kedua kesebelasan diminta bersiap-siap untuk babak kedua.
Pemain kedua kesebelasan pun masuk ke lapangan dengan berlari. Tapi mendadak terjadi insiden di lapangan. Pemain kedua kesebelasan saling dorong, bahkan hampir saling banting.
“Hey setan…ada apa nih…..!” tanya si wasit.
“Ini sit (wasit).…pemain KAMBER ndak mau pindah tempat” ketus kapten KAPUWAS. “Masak dari babak pertama di sebelah timur terus” gumannya.
Wasit jadi melongo. Segera ia memerintahkan pemain KAMBER pindah tempat, namun tak digubris. Wasit melotot, dibalas juga dengan pelototan. Akhirnya si wasit terpaksa memanggil Gafan sang kapten.
“Perintahkan anak buahmu pindah tempat ! Segera !” bentak wasit.
Mau tak mau akhirnya Gafan membujuk para pemainnya untuk pindah tempat. Sedianya para pemain KAMBER akan tetap bertahan di tempat semula. Tempat itu dirasa menguntungkan karena ada kubangannya dan dua sejoli ‘seram’ di samping gawang mereka.
Namun karena perintah sang kapten yang disertai ancaman panitia untuk me-WO-kan KAMBER, maka para pemain KAMBER akhirnya mengalah.
Sementara di pinggir lapangan Manajer Alie juga tak bisa berbuat banyak. Aksi tidak mau pindah tempat itu adalah ide-nya. Namun, nyaris saja ide brilliant-nya itu bikin timnya di WO.
“Jangan khawatir, tembak jarak jauh saja, supaya bola ndak masuk kubangan” pesan Menejer Alie kepada para pemainnya.

Dan priiiiiiiiiiiiiiiiiiit.............
Wasit kembali meniup peluitnya keras-keras, pertandingan babak keduapun dimulai. Kali ini kedua kesebelasan tak banyak basa basi, langsung saja menyuguhkan permainan keras mereka, saling beradu kaki. Acara ini merupakan acara wajib yang tak boleh ditinggalkan begitu saja setiap ada pertandingan antar kampung (tradisi warisan katanya). Sehingga bagaimanapun kerasnya suara kaki beradu, si wasit tetap tidak menilainya sebagai suatu pelanggaran.
Pertandingan makin lama makin seru, Kes. KAMBER kelihatan mulai terkurung dengan rapat, pemain-pemain belakangnya nampak kalang kabut (meskipun saat itu cuaca tidak berkabut), sorak sana sorak sini penuh kekacauan. Dan pada pertengahan babak kedua, terciptalah gol pertama bagi kesebelasan KAPUWAS. Para pendukung fanatik mereka bersorak-sorak gembira sambil menyanyikan lagu “Sorak-sorak Gembira”. Bermacam-macam ulah mereka dalam melampiaskan kegembiraannya. Ada yang jingkrak-jingkrak seperti jangkrik, ada yang jungkir balik sampai pinggangnya benar-benar ndak bisa balik. Dan ada juga yang menggoyang-goyang panggung studio mini tempat sang reporter hingga nyaris ambruk.
Demikian pula dengan pemain-pemainnya, tak kalah histerisnya. Mereka pada buka baju dan melempar baju-bajunya ke udara. Walhasil, beberapa di antara baju-baju tersebut tidak jatuh-jatuh ke tanah. Setelah dilihat ke atas, ternyata baju-baju tersebut nyangkut di dahan pohon kelapa yang menjorok ke dalam lapangan. Mereka kelabakan. Akhirnya, offisialnya terpaksa meminjam beberapa kaos warna kuning milik penonton yang kebetulan baru pulang kampanye.
Sementara itu pemain-pemain Kes. KAMBER hanya bisa menganga melihat gawang mereka kebobolan. Sedangkan Ichsan yang bertugas sebagai penjaga gawang harus bersabar mendengar sumpah serapah penonton yang kali itu kalah taruhan. Tampak di dekat tiang gawang, Sang menejer Ali sedang ngomelin wak dukun yang dikatakannya bekerja kurang becus.
Pertandingan kembali dilanjutkan. Gafan mulai mengatur kembali anak buahnya agar tetap disiplin menjaga daerah ‘kekuasaannya’ masing-masing. Secara perlahan-lahan tapi pasti, mereka membangun serangan, walaupun lebih sering gagal dan tetap dalam keadaan terkurung. Berulang-ulang kali mereka menyerang tapi selalu kandas. Dan seperti biasa kandasnya selalu di kubangan kerbau itu. Tak jarang Gafan jadi menggerutu. Sementara kapten KAPUWAS justru cengar-cengir gembira. “Rasain….!” ejeknya.
Namun demikian hal itu tak membuat Gafan cs putus asa. Terus saja mereka menyerang. Tapi tentunya mereka tidak berani nendang bola keras-keras karena dua sejoli ‘seram’ masih berdiri di pinggir gawang musuh.
“Kalian kurang makan ya ? Koq tendangannya loyo ?!” ujar Pemain KAPUWAS mengejek Gafan cs.
Pemain KAMBER diam saja. Terus saja mereka mencari taktik menyerang. Tidak bisa dengan taktik yang satu, taktik yang lain dikeluarkan. Pokoknya beraneka macam taktik maupun tiktak sudah dikeluarkan, tapi belum juga pemain Kamber bisa menyamakan kedudukan.
Tiba-tiba, tak ada hujan tak ada badai, para pemain KAPUWAS pada berhamburan keluar seperti hendak menyerbu musuh. Bukan itu saja, para pendukung mereka pun pada berhamburan menyerbu. Mereka pada lari berhamburan menuju ke papan skor yang ada di pinggir lapangan. Papan skor tersebut diobrak-abrik dengan ganasnya. Apa pasal ?
Ternyata para pemain dan pendukung KAPUWAS jadi murka lantaran mereka melihat skor yang tercantum di papan itu telah berubah. Yang semula kedudukan 1 – 0 untuk kemenangan mereka, tiba-tiba berubah jadi 1 – 5 untuk kemenangan kesebelasan KAMBER. Padahal tak satupun goal yang pernah diciptakan oleh kesebelasan KAMBER. Hal itulah yang membuat mereka marah. Dan yang melakukan kejahilan tersebut tidak lain adalah Alie, sang menejer. Rupanya Alie melakukan hal tersebut karena kebetulan saat itu Ijah, gadis yang ditaksirnya, datang ke lapangan. Nah, Alie nampaknya merasa malu tim asuhannya sedang kalah. Maka dari itu ia langsung mengendap-endap di antara kerumunan penonton menuju ke papan skor. Dan tanpa ba bi bu, skor 0 – 1 dirubahnya menjadi 1 –5. Inilah yang memicu keributan. Para pemain dan suporter KAPUWAS kesana kemari mencari Alie, namun rupanya Alie sudah keburu minta perlindungan kepada sejumlah Hansip yang berjaga di situ sehingga selamatlah ia.
Akhirnya pertandingan pun dilanjutkan kembali. Bola mulai bergulir ke sana kemari.
Suatu ketika terjadilah out ball di sisi kanan pertahanan KAPUWAS. Bola dilempar ke dalam keras-keras oleh salah seorang pemain KAMBER hingga ke depan gawang musuh. Dari lemparan ini kemudian terjadi kemelut yang hebat. Semua berusaha nyundul bola. Bola melejit ke atas, disundul lagi. Belum sempat ke tanah, disundul lagi. Begitu berulang-ulang, sundul menyundul. Bahkan kiper KAPUWAS pun begitu akan dapat bola, bola tersebut tidak jadi ditangkap, melainkan disundul hingga nyaris masuk ke gawang sendiri. Akibatnya ia disumpah-serapah oleh teman-temannya. Pokoknya kemelut di depan gawang itu sungguh seru. Berbagai cara dilakukan kedua tim untuk memperebutkan bola, termasuk dengan cara saling sikut dan saling cakar.
Dan akhirnya berkat usaha yang gigih, para pemain KAMBER berhasil memenangkan kemelut hebat itu. Sebuah gol balasan bagi kesebelasan KAMBER tercipta secara kebetulan yang dicetak oleh Gafan melalui sundulan kepala. Kali ini giliran pendukung dan pemain KAMBER yang bersorak sorai, mereka berebutan memeluk Gafan. Padahal Gafan sendiri saat itu sedang meringis kesakitan memegang kepalanya yang beradu keras dengan bola.
Sementara itu Kesebelasan KAPUWAS kelabakan. Mereka tidak nyangka kalau kesebelasan KAMBER yang sudah terkurung dengan ketat mampu mecetak gol balasan secepat itu. Mereka juga menganggap gol itu penuh kecurangan karena saat kemelut tadi para pemain KAMBER main sikut.
Kapten KAPUWAS segera protes wasit prihal sikut menyikut itu. Beberapa pemain yang mukanya biru kena sikut dibawanya sebagai barang bukti. Begitu pula kipernya ikut dihadirkan dengan menunjukkan moncong hidungnya yang kena cakar.
“Tuh lihat, pemain saya pada lebam. Kiper saya juga kena cakar” ujarnya. “Mereka itu pemain bola apa kucing. Kok pakai nyakar segala. Pokoknya gol ini tidak syah” lanjutnya ketus.
Namun demikian wasit tidak mengindahkan protes para pemain KAPUWAS itu. Ia tetap menganggap gol itu sah. Kedudukan pun jadi satu sama.
Para pemain KAPUWAS jadi kecewa. Mereka terlihat saling menyalahkan, umpat mengumpat, bahkan ada yang saling caci maki. Mereka nyaris tidak bisa menerima kenyataan yang dianggapnya pahit itu. Malu rasanya gawang mereka dibobolkan oleh kesebelasan yang menurut mereka di luar hitungan.
Pertandingan dilanjutkan kembali, pemain-pemain KAPUWAS kelihatan mulai mengamuk, terutama yang bernomor punggung 20, si item gosong yang tadi diuber-uber oleh perempuan pemilik rumah. Terlihat sekali si item tersebut emosi, semua kaki musuh ditebasnya. Beberapa pemain KAMBER mulai kelihatan ciut, tak terkecuali sang Kapten yang tampaknya masih sayang sama betis mulusnya.
Begitu melihat gelagat kurang baik itu, Menejer Ali langsung memanggil pemain cadangannya, yakni Bakos yang lagi asyik belajar ngegelembungin permen karet bersama wak dukun.
“Bakos ! Kamu siap-siap menggantikan si Odi. Pemain musuh sudah mulai ngamuk.”
Tak terkira gembira hati Bakos, “Saat ini akan kutunjukkan baktiku pada kampung halaman” gumannya perlahan. Cepat-cepat dia mengenakan kostumnya yang bernomor punggung 5 sementara celananya bernomor 12. Penonton menertawakannya. Tapi Bakos cuek saja.
“Tapi ingat Kos, kamu mesti bisa bikin mampus si item yang nomor 20 itu, ini target minimal” bisik manajer Ali seraya menepuk pundak Bakos.
Setelah melapor pada panitia pertandingan, maka pergantian pemainpun dilakukan.
“Pergantian pemain ! Pemain yang diganti harap keluar, dan pemain yang mengganti kami persilahkan memasuki tempat yang telah disediakan !!” kembali terdengar suara Reporter gadungan melalui pengeras suara yang langsung disambut oleh penonton dengan lemparan batu bata ke arahnya. Malah beberapa pemuda mulai kembali menggoyang-goyangkan panggung studio mininya. Akibatnya, panggung tersebut ambruk seketika hingga menimpa beberapa pemain cadangan dan offisial KAPUWAS yang sedang asyik ngerayu gadis-gadis di dekatnya. Sedangkan si Reporter gadungan itu sendiri melarikan diri entah kemana.
Sementara itu Bakos terlihat berlari masuk lapangan diiringi tepuk tangan meriah penonton yang memberi semangat kepadanya. Cihuyyy.....pemain masa depan, sorak mereka.
Kini giliran pemain KAPUWAS yang ciut nyalinya melihat keangkeran betis Bakos. Baru saja bola bergulir, tiba-tiba, “Praaaaak”. Seorang pemain KAPUWAS terjatuh menggelepar-gelepar sambil memegangi kakinya yang baru saja beradu dengan kaki Bakos. Pemain tersebut mengerang kesakitan. Namun demikian wasit masih menganggapnya sebagai pelanggaran biasa, padahal mau tak mau pemain itu harus digotong keluar lapangan.
“Itu baru setengah kekuatanku, hasilnya, bisa kamu lihat sendiri, dia ndak bakalan bisa maen bola lagi seumur hidup...eh...maksudku seumur jagung” bisik Bakos pada Gafan.
Dan memang, pemain yang digotong tadi dinyatakan tak mampu lagi melanjutkan pertandingan. Dan sebagai gantinya yaitu salah seorang pemain yang konon menurut desas desus merupakan pemain bayaran. Pemain bayaran ini dari jauh kelihatan “sok” betul. Kedua pergelangan tangannya pakai engkel. Di sikunya ada engkel juga. Di lengan pun demikian. Di paha ada engkel juga. Di lutut kiri-kanan, di betis, tulang kering dan kedua tumit penuh dengan engkel. Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi engkel. Hanya mulutnya saja yang tidak diberi engkel. Dan dari awal pertandingan tak henti-hentinya ia pemanasan. Mulai dari lari-lari kenceng, split, push up, sit up, bahkan sampai nendang-nendang tinggi-tinggi segala bak pesilat. Tapi ketika gilirannya akan main, tiba-tiba saja pemain bayaran itu tampak takut memasuki lapangan setelah melihat tragedi yang menimpa temannya tadi.
“Penyakit asma-ku kambuh lagi nih” katanya berbohong sambil memegang perutnya.
“Aahh...alasan saja, cepet sana !!” bentak pelatihnya. Tapi si pemain bayaran masih bandel juga, benar-benar ketakutan tampaknya.
Akhirnya setelah dipaksa dengan agak keras oleh pelatihnya dan didorong-dorong oleh petugas hansip ditambah lagi ancaman dari puluhan penonton, pemain itupun terpaksa masuk lapangan. Sambil masuk lapangan terlihat mulutnya komat-kamit. Rupanya ia sedang membaca doa-doa yang pernah diberikan almarhum engkongnya.
Pertandingan kembali dilanjutkan. Kedua kesebelasan sama-sama mengamuk, saling tebas kaki dengan kerasnya. Tapi belum ada yang berani coba-coba menebas kaki Bakos. Penonton bersorak-sorak gegap gempita membuat pemain kedua kesebelasan tambah bersemangat untuk saling mencederai lawannya. Hingga suatu saat terjadilah sebuah kemelut di depan gawang Ihsan (mbah dukun sibuknya bukan main). Debu-debu mengepul tebal di depan gawang tersebut sehingga wasit tidak bisa melihat dengan jelas pemain-pemain kedua kesebelasan. Hanya suara kaki beradu saja yang terdengar, “prok, prak, prok, ctak, buuggg,.......adddoooowww” teriak salah seorang pemain. Wasit cepat-cepat meniup peluitnya. pertandinganpun terhenti seketika.
Di tengah kepulan debu terlihat dengan samar-samar seorang pemain KAPUWAS yang bernomor punggung 20 terkapar sambil tangan kanannya memegangi tulang keringnya sedang tangan kiri memegangi punggungnya yang katanya kena gebuk. Entah siapa yang melakukannya, yang jelas pasti perbuatan tangan-tangan tak bertanggung jawab. Wasit jadi iba melihatnya. Namun demikian sejenak wasit melongo. Rupanya ia terheran-heran, sebab setahunya pemain No 20 itu tadinya berkulit item, sekarang kok putih semua. Bahkan sampai rambutnya pun putih.
“Lho, kok berubah jadi pemain tionghoa ?” tanya wasit dengan nada tidak jelas, antara guyon dan serius.
“Kok nanya begitu ?” tanya kapten KAPUWAS.
“Lha ini, mukanya putih, padahal tadi item”
“Saudara ngejek ya ? Dia kan kena debu” ketus sang kapten. “Sudahlah, jangan banyak tanya. Cari sana siapa yang gebuk punggungnya !!” lanjut sang kapten.
“Oh ya, Siapa yang memukul punggungnya hah ?! Ayo ngaku !!” bentak wasit garang dengan tatapan nanar ke semua pemain.
Tentu saja tak seorangpun yang mengaku. Tapi tiba-tiba salah seorang penonton di dekat situ berteriak, “ Itu pak....yang betisnya loreng-loreng” teriak penonton tersebut sambil menunjuk ke arah Bakos.
Wasit menatap Bakos yang lagi ternganga, “Hm...sudah saya duga pasti kamu yang punya perbuatan” kata wasit sembari bersiap-siap mengeluarkan kartu merah dan hendak mengusir Bakos dari lapangan.
“Bohong pak, saya ndak pernah, berani sumpah” kata Bakos membela diri menyalami wasit untuk ngajak bersumpah. Mendengar itu, wasit jadi ragu-ragu mengeluarkan Bakos dari lapangan.
Tiba-tiba Gafan menengahi, “Sudahlah pak, tadi itu kan keadaannya tidak memungkinkan untuk melihat mana kawan, mana lawan. Nah siapa tahu dia digebuk kawannya sendiri. Jangan percaya sama penonton dong pak, tapi percayakan saja pada Biogesick......eh....maksud saya percaya pada diri sendiri.”
Wasit manggut-manggut mendengar kata Gafan sehingga mau tak mau ia harus mengurungkan niatnya untuk mengusir Bakos, padahal semua orang tahu kalau itu ‘hasil karya’ Bakos.
“Tapi saya ingatkan kepada semua pemain, hanya kaki saja yang boleh main, tangan tidak boleh” ucap wasit memberi peringatan kepada pemain kedua kesebelasan.”Mengerti semua ?!” lanjutnya. Namun semua pemain tak ada yang menjawab, tampaknya tidak setuju. Wasit jadi kecele.
Sementara itu pemain nomor 20 yang masih tertelungkup belum digotong ke luar lapangan. Tak henti-hentinya ia memohon pada wasit supaya Bakos diusir saja dari lapangan. Wasit belum bereaksi. Malah si wasit kembali mengamat-amati pemain nomor 20 itu dengan agak terheran-heran. Wajah dan rambut pemain tersebut terlihat makin putih terkena debu. Karena tambah berguling-guling. Malah hidung dan mulutnya kini penuh kemasukan debu.
“Saya yakin pak dunia akhirat, dia yang gebuk punggung saya ... uhuk.....uhuk...” kata pemain tersebut di sela isak tangisnya. ”Keluarkan saja pak, kerjanya cuma merusak generasi penerus bangsa ihik....ihik...” lanjutnya sembari menunjuk Bakos yang sedang merapikan bulu-bulu betisnya yang sempat teracak-acak oleh peristiwa tadi.
Tapi wasit tidak menghiraukan sama sekali permohonan pemain tersebut yang akhirnya menangis meraung-raung. Tiba-tiba pelatihnya masuk lapangan. Roman mukanya kelihatan sedih karena ‘jagonya’ dikalahkan ‘jago’ kesebelasan KAMBER.
“Kasihan kamu Jo......” katanya kepada jagonya yang konon mempunyai nama lengkap MaraJOna, tapi dipanggil JO.
“Sudahlah pak, jangan sedih, kan masih ada pemain cadangannya” hibur wasit pada pelatih itu.
“Bagaimana saya tidak sedih pak, kalau dia ndak bisa jalan seperti ini, siapa yang akan carikan nafkah untuk anak istrinya ?” ujar pelatihnya dengan agak ketus.
“Haah...?! Jadi dia sudah punya anak ?!” Kata wasit melotot. “Di sini yang boleh main hanya yang di bawah umur 18 tahun, belom kawin dan orang Indonesia asli, bukan tionghoa…eh..Sorry. kalau begitu pemain ini tidak saya perbolehkan melanjutkan pertandingan, harus diganti !!” bentaknya lagi. “Cepat keluarkan !! Aku tak sudi melihatnya lagi” lanjutnya dengan kata-kata yang agak dramatis.
Dan akhirnya pemain yang malang itupun digotong beramai-ramai keluar lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar