Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (1)

Kisah ini ditulis oleh ex. kapten kesebelasan The Dream Team dari sebuah kampung nan hijau di Pulau Lombok. Kisah ini setengah fiktif. Jadi, kesamaan nama pelaku, peristiwa dan tempat kejadian hanya ‘setengah’ kebetulan saja.

Gafan memacu motor bebeknya dengan cepat di jalanan kampung nan berdebu itu. Seperti ada sesuatu yang sedang dikejarnya. Beberapa orang penduduk yang kebetulan berpapasan dengan motor Gafan, cepat-cepat melompat ke samping menghindari kepulan debu di sepanjang jalan tersebut. Namun walau sudah berusaha sejauh mungkin menghindar, debu-debu tetap mengerubungi mereka.
Caci makianpun akhirnya terlontar untuk si pengendara motor yang masih dalam pakaian es-em-a-nya. Orang-orang tersebut pada mengipas-ngipasi debu di hadapan mereka yang tampaknya belum puas bersilaturrahmi dengan daki-daki di tubuh itu.
Sementara itu Gafan terus saja memacu motornya dengan cepat. Sesampainya di sebuah tikungan, dengan gaya seorang pembalap, Gafan membelokkan motornya dengan tajam, walhasil hampir saja ia menabrak Abah Halil yang lagi berbicang-bincang di tengah jalan dengan Pak RT dan dua orang Hansipnya. Namun untung saja mereka cepat menghindar, hanya Abah Halil saja yang agak lambat gerakannya sehingga ujung sorbannya sempat tergaet stang motor Gafan.
“Masya Allah” pekiknya kaget.
Pak RT cepat-cepat memegangi badan Abah Halil yang kelihatan sempoyongan. Sementara kedua hansip itu berusaha mengejar motor Gafan sambil seperti biasa mengacung-acungkan pentungnya. Namun motor Gafan melaju semakin mantap membuat pengejarnya ngos-ngosan. Merasa tak ada gunanya lagi melakukan pengejaran, maka kedua Hansip itupaun kembali ke tempat Pak RT yang kelihatan samar-samar di antara kepulan debu sedang memegangi Abah Halil yang tak henti-hentinya mengucapkan kalimah-kalimah toyyibah.
“Ndak apa-apa kan Bah ?” tanya Pak RT dengan nada khawatir.
“Alhamdulillah, Tuhan masih melindungi saya,.....tttapi....buku saya....”ucapannya tertahan manakala ia melihat buku-bukunya yang berserakan di tanah dengan kertas-kertas berhamburan.
Pak RT tertegun, kasihan juga dia melihat Abah yang malang itu. “Biarlah nanti saya yang menggantinya. Nanti saya belikan buku yang lebih bagus “ kata Pak RT menghibur.
“Tapi pak........”
“Aaah ...sudahlah, Bah, harga buku ndak seberapa, nanti saya belikan yang lebih baru dan lebih tebal”
“Tapi pak,... di dalam buku itu ada catatan hutang-hutang saya.”
“Haaah........” Pak RT ternganga. “Eh Hansip, cepat pungutkan Abah Halil buku-bukunya ! Atur yang rapi kertasnya, tuh di sana selembar, di comberan selembar, cepat !”perintah Pak RT.
Kedua Hansip itupun dengan cepat mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan. Tak terkira dongkolnya hati mereka.
Sementara itu seperti tidak pernah terjadi suatu apapun Gafan tetap memacu motornya bagai seorang pembalap. Sampai ketika terdengar seseorang memanggil-maggil namanya, Gafan menginjak rem motornya keras-keras.
Siiiiiiiiit.....suaranya begitu keras sampai-sampai seekor sapi yang kebetulan sedang digembalakan di dekat tempat itu lari tunggang langgang hingga masuk ke halaman masjid yang mengakibatkan beberapa orang yang lagi tidur-tiduran di emperan depan masjid jadi bubar ketakutan.
Sedangkan Gafan sendiri juga terpaksa harus menggeret motornya yang punya semboyan Sekali mati Tak mau hidup lagi, yeaah. Sambil berjalan perlahan ia mencari-cari arah suara yang tadi memanggilnya. Dari kejauhan dilihatnya seseorang berlari-lari ke arahnya yang ternyata adalah Ali, teman seperjuangannya.
“Kebetulan sekali, saya lagi nyari kamu,” kata Gafan mendahului.
“Ada apa nyari saya ? Mau nebus celana kamu ya ? Jangan sekarang dong..., kan masa gadainya masih satu minggu lagi” kata Ali dengan nada dikeras-kerasin.
Tak terkira kesel dan malunya Gafan, karena kata-kata tersebut diucapkan pas ketika Si Ijah lewat di hadapannya. Konon Gafan lagi kesengsem berat sama anak Juragan Tempe ini, namun selalu mendapat jegalan dari Ali yang juga pernah jatuh cinta pada Ijah namun ditolak mentah-mentah karena Ali dianggapnya terlalu sering ngutang tempe. Sementara Gafan sendiri beberapa waktu lalu pernah coba-coba ‘ngirim seulas senyum’ dari jauh, dan nampaknya ada respon walaupun sedikit. Hal ini membuat Gafan lebih bergairah untuk ‘mengkampanyekan’ dirinya. Namun di lain pihak Ali justru ingin menjatuhkan Gafan di mata dunia.....eh...di mata Ijah. Berbagai cara dilakukannya, termasuk seperti membeberkan ikhwal gadai menggadai celana seperti yang terjadi pagi itu. Hampir saja kepala Ali yang rada-rada salah bentuk itu dibenturkannya di stang motornya. Namun cepat-cepat ditenangkan hatinya karena mengingat misi khusus yang sedang diembannya.
“Ada perlu apa sih, nyari saya ?” tanya Ali lagi sambil tersenyum-senyum puas setelah melihat Ijah monyongkan bibirnya.
Tanpa banyak bicara, Gafan menyodorkan selembar kertas pada Ali, lalu Ali membacanya berulang-ulang. Setelah agak lama iapun mengangguk-angguk.
“Mau maen bola ? Dalam rangka apa, kok ndak dijelaskan ?” tanya Ali sambil mengembalikan surat tersebut.
“Biasa.....Kambing CUP, dalam rangka memeriahkan hari EL-KA-EM-DE”
“Tapi kok mendadak benar bertandingnya, nanti sore ?”
“Ya..itulah sebabnya saya cari kamu.”
“Lho kok saya ? Saya kan ndak bisa maen bola”
Gafan tertegun sejenak, lalu mulai angkat bicara, “Tim kitakan ndak ada pengurusnya, jadi mumpung kamu ndak terpakai jadi pemain, ya....jadi pengurus saja, mau kan ?”
Ali manggut-manggut, “kalau jadi pengurus....sebutannya kurang keren, bagaimana kalau saya jadi menejer saja”.
“Yaa, terserah kamulah, mau sebutan menejer, pelatih, opisial dan sebagainya, yang penting tugas kamu ngurusin kesebelasan kita” ketus Gafan.
“Tapi apa saja tugas saya nanti ?”
“Tugas kamu antara lain, ngasih tahu pemain-pemain kita bahwa nanti sore kita akan bertanding melawan Kesebelasan KAPUWAS (Kalah Pukul Wasit). Di samping itu kau mesti beri petunjuk dan pengarahan-pengarahan pada temen-temen, mereka itu kan banyak yang buta huruf, ndak tahu namanya offside, freekick dan sejenisnya. Selain itu kamu mesti cari pinjeman kostum, dan yang lebih penting...taktik yang jitu.”
“Ali mengangguk-angguk, “oho.. kalau masalah taktik, itu sih memang bagian saya, biar ndak bisa maen, tapi masalah tak tik dan strategi percayakan saja pada ..AAALIIIII...” katanya sambil menepuk dada.
Kini giliran Gafan mengangguk-angguk. memang, selama ini taktik yang berikan oleh Ali tak usah diragukan lagi. Selama Ali mengomandoi kesebelasan kampung Gafan yang bernama Kesebelasan KAMBER (Kalah-Menang Berantem), kesebelasan tersebut tak pernah dikalahkan oleh kesebelasan manapun ........di bawah lima gol.
“Tapi kalau kostumnya kita minjam di mana ya ?” Ali.
“Kamu bisa pinjam sama kesebelasan Kakalo (Kalah Kalah Lonto) yang kemarin kalah lagi dalam pertandingan persahabatan melawan Kesebelasan BICAS (Biar Curang Asal Menang).
“Baiklah kalau begitu, sekarang saya mau kasi tahu temen-temen dulu,” kata Ali, “nanti habis zohor kita ketemu di masjid” lanjutnya sambil ngeloyor pergi meninggalkan Gafan yang terseok-seok menggiring motornya.

Usai Zohor di Masjid

Usai sholat zohor seperti janji semula Ali dan Gafan bertemu di masid.
“Bagaimana Li, teman-teman sudah diberi tahu ? tanya Gafan.
“Sudah...sudah semua, tapi mereka nampaknya belum siap betul, habis, beritanya mendadak.”
Gafan menarik nafas panjang, dalam hati ia mengumpat Pak Kades yang terlambat memberinya informasi.
“Bagaimana kalau kita liat-liat dulu persiapan temen-temen ?”
“Boleh” jawab Ali pendek.
Maka kedua makhluk ciptaan Tuhan itupun berlalu dari masjid tersebut guna melihat kegiatan pemain-pemain mereka. Satu demi satu rumah-rumah para pemain Kamber mereka datangi, tampaknya mereka sibuk semua.
Mohdan, salah seorang penyerang tengah, tampak sibuk mengulang-ulang jurus silatnya, soalnya pemain yang satu ini setiap ada pertandingan antar kampung, pasti berkelahi. Jadi yang dilatih bukan strategi maen bola, melainkan jurus-jurus andalan perguruan silatnya.
Setelah berlalu dari rumah Mohdan, mereka berdua menuju rumah Bakos yang dikelilingi pagar bambu. Kelihatan dari luar Bakos sedang mengelus-elus dengan minyak goreng betisnya yang berbulu keriting. Di sekeliling betis itu dipenuhi oleh belang-belang loreng hitam bekas koreng. Sungguh tak sedap dipandang mata, angker tuh betis. Konon, menurut catatan ‘Sang Menejer’, Bakos yang berbadan agak gemuk dan montok ini akan diturunkan apabila pemain musuh sudah bemain kasar. Hal ini disebabkan karena kekuatan betis bakos tiada tandingannya. No Strenght Like It, kata seorang pemain bule yang pernah beradu kaki dengannya. Tulang keringnya bagai batu, kerrras. Belum pernah ada seorang pemain pun yang berani coba bikin sensasi dengan cara adu kaki dengannya.
Hanya saja kelemahannya, bila ia sedang mengamuk di tengah lapangan, lalu datang bola ke arahnya, maka dengan seketika ia akan menendang bola tersebut keras-keras ke depan. Tak peduli di depan itu adalah gawangnya sendiri. Pokoknya ke mana saja ia menghadap, bola akan ditendangnya seketika ke sana. Bila ia menghadap selatan, maka bola ditendangnya ke selatan, begitu pula sebaliknya. Konon kelemahan satu ini merupakan pembawaannya sejak lahir, sehingga dalam pertandingan tak jarang Bakos dikeluarkan dari lapangan oleh Sang Menejer Ali karena terlalu sering melakukan tindakan Harakiri (bunuh diri).
Setelah berlalu dari rumah Bakos, Gafan dan Ali berjalan menuju rumah-rumah pemain lainnya. Sewaktu mereka melewati rumah Abah Halil, Gafan sempat melihat sosok tubuh mondar mandir di belakang rumah tersebut. Selidik punya selidik ternyata orang itu adalah Ihsan, sang penjaga gawang yang nampaknya sedang merengek-rengek sama Abah Halil minta dikasih ‘bekal’ supaya gawangnya ndak bisa kebobolan. Namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Abah Halil karena beliau menganggap maen bola itu hukumnya haram. Menurutnya, menendang bola sama dengan menendang kepala cucu nabi, Hasan dan Husen. Di samping itu memang beliau lagi dendem sama sang Kapten, Gafan yang tadi siang telah menyerempetnya di tikungan.
“Sudahlah San, kalau ndak dikasih, ya...sabar” hibur Gafan.
“Tapi bagaimana dengan gawangku ? Sementara saya sendiri belum fasih nangkep bola.” jawab Ihsan.
Ali dan Gafan saling pandang. Saat itu mereka baru sadar, bahwa selama ini kesebelasan mereka tidak punya kiper tetap. Kiper-kiper yang ada selama ini selalu mengundurkan diri usai kompetisi. Alasannya karena tidak tahan, sebab selalu jadi obyek sumpah serapah dari para pembotoh yang kalah taruhan. Walhasil, Kesebelasan KAMBER benar-benar mengalami ‘kelangkaan’ Kiper. Sedangkan Ihsan sendiri sebenarnya bukan berprofesi sebagai Kiper, melainkan pemain tengah cadangan yang tak pernah diturunkan selama 5 musim kompetisi. Dan saat ini ia menyediakan diri untuk tampil sebagai kiper dengan alasan demi meniti karier.
“Bagaimana kalau kita sewa dukun saja, setuju ?” usul Gafan.
“Ya..setuju, sebaiknya memang begitu” jawab Ihsan gembira seraya menepuk bahu Ali yang tampaknya mengernyitkan dahi karena akan menanggung biaya sewa dukun.
Tiba-tiba dari arah kejauhan tampak Bakos berlari-lari kecil ke arah mereka bertiga.
“Ada apa Kos ?” sapa Gafan.
“Sudah dapat minjem kostum ?” tanya Bakos terengah-engah sambil menjulurkan lidah.
“Sudah, kita minjem sama kesebelasan Hiu Laut.”
“Haa..Hiu Laut, wadduh kostumnya mesti kita cuci dulu bersih-bersih dengan air panas, soalnya anak-anak Hiu Laut banyak yang panu-an, saya ndak mau ketularan panu lebih banyak lagi...., ini saja sudah kelebihan” kata Bakos sambil memperlihatkan panu di sekujur tubuhnya yang mirip peta Negara Rusia.
“Itu sih sudah beres Kos” jawab Gafan berbohong.
Lega rasa hati Bakos, lalu cepat-cepat ia pergi meninggalkan ketiga temannya untuk pulang (minta do’a restu ibu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar