Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (8)

Hari Kamis…………..
Matahari baru naik sepenggalahan. Kesibukan di kampung Gafan sudah mulai nampak. Yang jadi pedangang sudah membuka warungnya. Yang petani sudah nyangkul di sawah. Sedangkan yang remaja………sibuk juga. Mereka terlihat kumpul-kumpul di rumah Gafan membicarakan pertandingan nanti sore.

Bermacam-macam isi pembicaraan mereka, mulai dari taktik, strategi dan bebadong. Nampak di sana Bakos, Odi, Ichan, Gafan, Mohdan dan yang lainnya saling berbincang dengan asyiknya.
Tak lama kemudian Bakos keluar dari situ dengan menarik tangan Gafan. Nampaknya ada suatu hal yang akan dilakukannya. Gafan jadi penasaran.
“Mau apa ?” tanya Gafan heran.
“Saya mau cukur rambut nih. Kamu bisa ‘kan ?” jawab Bakos sembari mengeluarkan gunting hitam yang sudah dipersiapkannya.
Gafan tertegun sejenak. Sebenarnya ia sama sekali hendak menolak permintaan Bakos tersebut. Gafan belum pernah sama sekali berkenalan dengan profesi yang bernama tukang cukur. Namun karena dipaksa, Gafan akhirnya mau juga.
Segera ia mengambil gunting yang disodorkan Bakos. Kemudian Bakos duduk di emper rumah Gafan. “tolong dicukur model Michael Platini, ya !” perintahnya.
Gafan hanya diam saja. Ia mulai mencukur rambut Bakos. Ia sama sekali tidak tahu etika cukur mencukur, apalagi cukuran model Platini. Gafan mulai mencukur dari samping kanan di atas telinga. Sambil nyukur ia berusaha membayangkan bentuk dan potongan rambut Michael Platini. Tatapan Gafan menerawang ke atas, namun tangannya tetap mencukur. “Adooh sompret !!” teriak Bakos tiba-tiba. Ternyata ujung gunting sempat menjepit daun telinganya. Tapi untung saja gunting tersebut tidak terlalu tajam sehingga daun telinga Bakos tidak sampai terluka, hanya memerah sedikit saja.
“Yang bener dong !” bentak Bakos dengan mata melotot kepada Gafan sembari mengusap-usap daun telinganya.
“Sorry, ndak sengaja” jawab Gafan nyengir sambil segera membalikkan kepala Bakos ke depan.
Gafan kembali mencukur. Kali ini bagian kepala sebelah kanan Bakos yang digarapnya. Hati Gafan sebenarnya udah mulai deg-degan. Soalnya, tuh kepala sudah nampak amburadul. Di sana-sini cukurannya tidak rata, mirip ilalang kebakaran. Untungnya Bakos sama sekali tidak bawa cermin untuk mengontrol bentuk cukurannya. Makin lama Gafan makin deg-degan. Sedangkan untuk menghentikan cukuran itu seketika tentu tidak mungkin karena nantinya Bakos akan tahu kalau hasil cukurannya tidak bener.
Pikir punya pikir, akhirnya Gafan dapat akal. Dengan bahasa isyarat, dipanggilnya Mohdan yang duduk tak jauh di belakangnya. Begitu Mohdan mendekat, Gafan sengaja memegang perutnya seraya membisiki Mohdan bahwa ia mau buang air. “Tolong ganti saya cukur rambut si Bakos,” bisiknya sambil langsung menggenggamkan gunting tersebut di tangan Mohdan. Mohdan sebenarnya mau menolak, tapi karena gunting sudah berada di tangannya dan Gafan sudah beranjak, akhirnya mau tak mau Mohdan mulai melanjutkan mencukur rambut Bakos. Dari kejauhan Gafan memberi isyarat telunjuk di bibir. Maksudnya supaya diam, begitu. Mohdan mengangguk.
Sementara itu Bakos belum menyadari kalau baru saja sudah terjadi pergantian tukang cukur. Bakos tampak asyik melamun mengkhayalkan pertandingan nanti sore. “Betapa gagahnya aku nanti dengan rambut model Platini,” gumannya dalam hati.
Sedangkan Mohdan saat itu tak ubahnya seperti Gafan juga, tidak bisa mencukur. Namun dengan keberanian dan modal sok tahu, ia terus saja. Rambut belakang bagian bawah Bakos di-gres dalam-dalam dengan gunting. Gunting terus menuju ke atas dan dicukur lagi, begitu seterusnya bertingkat-tingkat. Akhirnya rambut Bakos benar-benar nampak bertingkat-tingkat dari belakang. Mohdan jadi deg-degan. Ia khawatir hal itu nanti diketahui oleh Bakos. Bakos sendiri sebenarnya sudah mulai punya firasat tidak enak. Ia hendak nengok kebelakang, namun dengan serta merta tangan kiri Mohdan memutar batok kepala Bakos sehingga menghadap kedepan lagi. Jadinya, hingga detik itu Bakos sama sekali tidak tahu bahwa yang mencukurnya adalah Mohdan.
Makin lama degup jantung Mohdan makin keras. Ini bukan main-main, katanya dalam hati. Mohdan sudah membayangkan betapa murkanya Bakos kalau tahu kepalanya dijadikan ajang untuk praktik mencukur. Bakos adalah tipe orang yang paling tidak suka dipegang kepalanya oleh sembarangan orang. Ia tidak mau sembarangan dicukur oleh siapa saja. Itu sebabnya ia menyuruh Gafan mencukurnya meski ia sendiri tahu Gafan tidak bisa mencukur. Di antara teman-temannya, hanya Gafan saja yang ia perbolehkan untuk memegang kepalanya. Prinsipnya, lebih baik rambut jadi acak-acakan daripada harus disentuh oleh orang-orang sembarangan.
Mohdan berfikir keras bagaimana agar bisa meninggalkan rambut Bakos. Matanya jelalatan mencari-cari siapa yang pantas menggantikan posisinya. Sambil matanya melirik kesana-kemari tangannya terus saja mencukur. “Addooww…sompreet ! Yang bener dong,“ teriak Bakos tiba-tiba rupanya gunting kembali mengenai telinganya. Bahkan ujung gunting tersebut hampir masuk ke lubang telinganya. Mohdan gelagapan. Namun tetap ia tak bersuara. Tangan kirinya dengan sekuat tenaga menahan kepala Bakos yang hendak nengok ke belakang. Karena ditahan dengan kuat, maka Bakos pun urung menoleh. “Hati-hati dong ! Kamu mau cukur rambut apa daun telinga ?!” gerutunya. Namun Mohdan diam saja.
Kembali Mohdan melanjutkan mencukur. Kini dengan ekstra hati-hati sambil tentunya terus mencari “calon penggantinya”. Tiba-tiba dilihatnya sang Menejer Alie lagi ngelamun juga tak jauh di belakangnya. Mohdan memanggil Alie dengan isyarat. Alie pun kemudian mendekat.
“Ada apa ?” tanya Alie.
“Ssssstttt……” ujar Mohdan berdesis dengan memberi isyarat telunjuk di bibirnya. Alie jadi kebingungan. Detik itu juga Mohdan menggenggamkan gunting ke tangan kanan Alie seraya berbisik bahwa ia mau buang air sebentar.
“Tolong gantiin saya,” bisik Mohdan seraya langsung beranjak dengan cepat.
Alie kebingungan. Semula hendak ditolaknya tugas tersebut namun tiba-tiba Bakos terdengar ngomel. “Ayo dong cepetan ! Saya mau segera mandi, nih,” ujarnya tanpa menoleh ke belakang.
Alie pun segera mencukur rambut Bakos. Bagian atas kepala Bakos dibabatnya pendek-pendek hingga cepak mirip tentara. Hanya bagian depan saja yang dibiarkan tetap agak gondrong sehingga mirip jambul. Begitu pula dengan rambut bagian kanan di atas telinga juga dibabat. Rambut yang tadinya sudah rusak oleh dua pencukur sebelumnya, kini tambah kacau balau. Mirip cukuran narapidana yang dicukur dengan pecahan botol. Namun demikian Alie tetap cuek. Terus saja ia praktik mencukur. “Kalau tidak sekarang, kapan lagi bisa latihan jadi tukang cukur,” katanya dalam hati.
Cukuran demi cukuran terus dilakukan. Begitu satu tahap cukuran selesai, Alie memandangi kepala Bakos. “Ah, belum pas,” gumannya seraya kembali mencukur rambut Bakos. Setelah tahap berikutnya dirasa selesai, kembali lagi Alie memandangi batok kepala bakos. “Ah, tinggal sedikit lagi baru mantap,” katanya dalam hati. Alie pun terus mencukur Bakos hingga benar-benar pendek.
Sementara itu Bakos sudah mulai gundah gulana. Ia merasakan kepalanya agak dingin tertiup angin. Ketika ia coba memalingkan wajahnya ke belakang, tangan kiri Alie segera membelokkannya dengan keras sehingga kepalanya menghadap ke depan lagi. Bakos makin curiga. Kok tumben tangan Gafan begitu keras pikirnya. Kemudian Bakos mencoba lagi menoleh ke belakang, tapi langsung di sergah oleh Alie dengan nada jengkel. “Jangan bergerak…monyet !” bentak Alie seraya memutar kepala Bakos dengan agak keras sehingga nyaris berputar 180 derajat.
Demi mendengar suara di belakangnya bukan suara Gafan, seketika Bakos balikkan badan. Dan, tak terkira murka Bakos. Apalagi yang dilihatnya saat itu adalah Alie, sang menejer yang kerap membuatnya jengkel. Dengan serta merta perut Alie ditendangnya. Alie mengaduh kesakitan seraya menyumpah-nyumpah menganggap Bakos tak tahu terima kasih. Sementara Bakos segera beranjak menuju kaca jendela rumah Gafan untuk ngaca. Demi melihat kondisi terakhir rambutnya yang memilukan plus memalukan, Bakos semakin tak dapat menahan amarah. Dan yang pertama kali dicarinya adalah Alie. Langsung saja gunting di tangan Alie direbutnya. Teman-teman yang lain pada terkejut. Mereka mengira Bakos akan menusuk Alie. Sebagian mereka berhamburan untuk melerai. Tapi kiranya tidak demikian. Bakos kelihatan memelintir leher Alie dari belakang dan berusaha untuk mencukur rambut Alie. Rupanya Bakos akan membalas dendan. “Hutang emas bayar emas, hutang rambut bayar rambut,” katanya berpantun.
Alie tak mau kalah. Ia meronta sekuat tenaga. Ia juga mengeluarkan pantun. “Sepandai-pandai tupai melompat….. uhk..,” ujarnya sambil meronta.
“Apa artinya?” tanya Bakos sambil terus memelintir leher Alie.
“Artinya… ukh… mukamu kayak tupai… ukh….” jawab Alie sambil terus meronta-ronta. Namun apa daya tenaganya kalah kuat dibanding tenaga Bakos yang memang bertubuh tambun gendut. Alie dibuat tidak berkutik. Lehernya diplintir, kakinya dililit kaki Bakos. Begitu pula kedua tangan Alie terlihat terlilit. Entah di mana Bakos belajar ilmu melilit model begitu, yang jelas Alie yang memang hidupnya sudah terlilit hutang, jadi tambah terlilit. Detik itu juga Bakos akan memulai aksinya.
“Awas, kalau kamu berani sentuhkan gunting itu ke rambut saya, jangan harap kamu akan saya turunkan dalam pertandingan,” ujar Alie megap-megap. “Bersiaplah jadi cadangan seu…murrr hiddd…up,” sambungnya lagi dengan lebih megap-megap dan mata melotot kecekik.
Mendengar ancaman itu, Bakos rupanya ciut juga. Ia tahu kalau Alie adalah penentu siapa yang boleh main dan siapa yang cadangan. Dan Bakos tahu bahwa pemain yang coba-coba menentang perintah Alie pasti bakal jadi pemain cadangan. Akhirnya karena pertimbangan “politis” itulah kemudian Bakos urung untuk mencukur rambut Alie. Namun demikian Bakos minta kompensasi kepada Alie agar ia diturunkan dalam semua pertandingan selama 2 babak penuh. Permintaan ini pun disetujui. Dan setelah terjadi kesepakatan barulah Bakos melepaskan cekikannya di leher Alie. Alie terbatuk-batuk sebentar. Sedangkan Bakos masih meraba-raba rambut kebanggaannya yang kini sudah tidak bisa ia banggakan lagi.
Bakos terlihat kesal bukan main. Mau marah ke Gafan, jelas tak berani. Rupanya bakos takut nanti Gafan juga tidak menurunkan dirinya di lapangan. Mau marah ke Alie, juga tak berani. Akhirnya Bakos benar-benar hanya bisa pasrah. Beberapa orang temannya terlihat menertawakan. Ditertawakan begitu Bakos hanya bisa melirik sinis.
“Dibotakin saja sekalian,” usul Alie yang disetujui oleh teman-teman yang lain.
Akhirnya Bakos pun menyetujui usul tersebut. Ia benar-benar pasrah. Rambut “Platini-nya” harus berubah jadi rambut Ronaldo. Alie pun kemudian mengambil gunting dan mencukur habis rambut Bakos hingga benar-benar plontos. Sementara di kejauhan nampak Gafan mengintip dari balik tembok. Rupanya ia merasa bersalah juga telah membuat rambut Bakos jadi kacau balau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar