Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (2)

SORENYA..
Usai solat ashar para pemain KAMBER berangkat menuju lapangan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari kampung mereka. Kepergian mereka diiringi dengan ejekan dan sorak sorai gegap gempita dari Abah Halil dan keluarganya.

SORENYA..
Usai solat ashar para pemain KAMBER berangkat menuju lapangan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari kampung mereka. Kepergian mereka diiringi dengan ejekan dan sorak sorai gegap gempita dari Abah Halil dan keluarganya. Mereka semua serempak menengadahkan tangan berdo’a agar Gafan cs kalah sebanyak-banyaknya dan cedera sepatah-patahnya. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka bukannya diiringi dengan taburan dan lemparan bunga maupun kembang, melainkan mereka dilempari dengan kembang.........api, sehingga nyaris membuat kumis ‘ampik’ Bakos yang sudah tertata rapi jadi kebakaran. Namun untung bibi anah cepat-cepat menyiram kumis Bakos dengan air cucian ikan tongkol yang akan dibuangnya ke kebun.
Walaupun begitu berat cobaan dan rintangan yang mereka hadapi, namun mereka tetap tegar. “Jangan ciut kita di jalan yang benar....Allahu akbar”, kata Menejer Ali menghibur sembari terus melangkah tegap dengan membawa bendera kebanggaan Kesebelasan KAMBER yang bergambar orang sedang mancing di atas perahu (maklum kampung nelayan). Dengan bernyanyi Halo-Halo Bandung Ali memimpin para pemainnya berjalan melewati pematang-pematang sawah yang rumputnya telah mulai menguning. Sementara padinya pun sudah menguning pula, hanya saja bukan karena mendekati panen, melainkan karena kurang air akibat kemarau panjang.
Sorak sorai penonton riuh rendah ketika para pemain Kesebelasan KAMBER tiba di lapangan yang sebenarnya belum memenuhi syarat untuk disebut lapangan. Bayangkan saja, yang dijadikan lapangan adalah dua petak sawah kering yang mengalami kegagalan panen. Malah di separuh bagian lapangan itu masih terdapat sisa-sisa padi yang rupanya enggan untuk dipanen si empu sawah. Yang lebih menyakitkan, debu di lapangan tersebut tebalnya minta ampun, hampir setinggi mata kaki. Baru lari sedikit saja, kontan debu tersebut mengepul seperti asap kebakaran. Dan hebatnya lagi, di salah satu sudut lapangan, tepatnya di depan kotak pinalti, terdapat kubangan kerbau masih berlumpur. Dalamnya lumayan, sekitar setengah meter. “Kalau bola masuk ke sana, berarti out !” ujar panitia pertandingan.
“Kesebelasan KAMBER memasuki lapangan”, ucap sang MC melalui pengeras suara, “hadirin yang duduk dipersilahkan berdiri, dan hadirin yang berdiri dipersilahkan duduk !!” lanjutnya.
Kontan saja terdengar teriakan jengkel dari penonton kepada sang MC. Malah beberapa kali terlihat batu bata melayang di atas poskonya yang berbentuk panggung terbuat dari bambu dan dikatakannya sebagai ‘studio mini’. “Penonton harap tenang” ujarnya lagi, “Di sini reporter anda, reporter kenamaan dari salah satu TV swasta akan melaporkan jalannya pertandingan yang..........” baru sampai di situ bualan sang reporter, puluhan batu-bata kembali melayang ke ‘studio mininya’, sehingga iapun mengurungkan niat untuk membual lebih banyak.
Sementara itu setelah istirahat sejenak, Ali memanggil seluruh pemainnya, setelah itu iapun membagi-bagikan es mambo setengah encer yang diambil dari kulkas di rumahnya. Semula tak seorang pemainpun yang mau menerimanya karena mereka sudah tahu kalau es tersebut adalah sisa-sisa es yang tidak laku dijual. Tapi Ali tak kehabisan akal, dikatakannya bahwa es miliknya sudah ‘diisi’ dengan berbagai jampi-jampi agar betis tak kesakitan bila ditendang. Dan akhirnya dengan terpaksa pemain Kesebelasan KAMBER pun memakan es tersebut. Sedangkan Ali sendiri mulai memberikan pengarahan-pengarahan dengan gaya seorang pelatih profesional.
Lagaknya benar-benar over acting. Sesekali langkahnya ke kanan, sesekali kekiri. Kadang mundur, kadang maju menirukan gerak pelatih-pelatih tim piala dunia. Namun tiba- tiba saja langkah kaki Alie tertahan. Selidik punya selidik, ternyata kakinya tertahan karena menginjak tahi kerbau tebal dan hangat yang ada di situ.
“Brengsek !” gerutunya sambil mengusap-usap kakinya di rerumputan.
Usai membersihkan kakinya, Alie kembali menjelaskan berbagai hal kepada para pemainnya. Yang dijelaskan bukannya taktik ataupun strategi, melainkan nama-nama kesebelasan Galatama yang menjadi juara tiap tahun, lengkap bersama nama pemain pencetak golnya. Walhasil pemain-pemain Kes. KAMBER hanya bisa melongo dan................... ......................priiiiiiiiiiiiiiiiiiiitt.
Wasit meniup peluitnya memanggil pemain kedua kesebelasan untuk bersiap-siap. Wasitnya cukup aneh, pakai sarung dan peci. Kata orang ia baru pulang kenduri (begawe) lalu di-stop di tengah jalan dan dipaksa memimpin pertandingan. Tapi sebagian golongan mengatakan bahwa ia wasit utusan FIFA. “Ah persetan....” kata menejer Ali.
“Nah saya ucapkan selamat bertanding, moga-moga ndak kalah terlalu banyak,.....dan ente mbah dukun jangan jauh-jauh dari gawang Ihsan, biar bisa ngontrol” pesan sang menejer kepada mbah dukun dan para pemainnya yang kelihatan sudah ‘shock berat’ dan perut mereka agak mules akibat es basi tadi.
Tepat pukul empat arloji wasit (arloji penonton sudah setengah lima) pertandingan secara resmi dimulai oleh wasit dengan meniup peluitnya sekeras mungkin hingga terlempar dari mulutnya.
Kesebelasan KAPUWAS yang menggunakan kostum kuning-kuning (kaos Golkar yang di-wantex) mendapat kesempatan bola pertama. Bola bergulir dari kaki ke kaki pemainnya, tendang kiri over ke kanan, tendang kanan over ke kiri, begitu seterusnya kurang lebih 20 menit sampai suatu ketika salah seorang pemain KAPUWAS menendang bola dengan kerasnya hingga mengenai peci sang wasit. Peci tersebut terpental seketika. Akibatnya, tiba-tiba saja rambut wasit tergerai, dan Masya Allah…….rambut si wasit ternyata panjang juga. Panjangnya hingga melewati punggung. Rupanya rambut panjang si wasit tadi di-buntel di dalam pecinya.
“You ini wasit apa Rud Gullit. Yang bener dong !! Masak wasit gondrong. Mestinya ‘kan botak” kata seorang pemain Kapuwas. “Sana ! potong rambut dulu” lanjutnya.
“Ss..sorry, tidak bisa. Istri saya lagi hamil” jawab wasit sambil kembali memasang pecinya. “Ayo, main lagi ! Priiitt”
Pertandingan pun kembali dilanjutkan. Bola masih dikuasai oleh para pemain Kapuwas. Mereka nampaknya berbakat benar memainkan bola. Tendangan mereka rata-rata sangat keras. Apalagi kalau hendak menendang ke arah gawang Ichan, wadduh kerasnya minta ampun. Beberapa orang pemain belakang KAMBER sempat kedat-kedut karena hampir saja tendangan keras pemain KAPUWAS mengenai kepala mereka. Beberapa di antara mereka malah memijit-mijit telinganya. Rupanya bola sempat nyerempet telinganya sehingga menyisakan bunyi nguiiiiiing.
Tapi untung saja di daerah pertahanan anak buah Gafan terdapat kubangan kerbau, tepatnya satu meter di luar kotak pinalti. Kubangan ini cukup membantu karena tak jarang bola-bola umpan kilat pemain KAPUWAS tiba-tiba masuk ke kubangan. Hal tersebut terjadi berulang-ulang sehingga para pemain KAPUWAS jadi jengkel. Akhirnya mereka memutuskan untuk menembak dari jarak jauh saja.
Dan benar saja, suatu ketika mereka menembak bola dari jarak jauh dengan keras. Akibatnya bola melambung jauh keluar lapangan menimpa salah satu atap dapur penduduk. Bola tersebut dengan sukses menjebol atap dan membuat berantakan seisi dapur.
“Bangsaaaaat......kurang ajaaaaaarr....!” terdengar sumpah serapah dari dalam dapur. Lalu tampak keluar seorang perempuan dengan muka bengis memegang alu (geneng) menuju ke arah lapangan. Semua mata tertuju padanya. “Siapa yang menendang bola ke arah dapurku ?! Kamu ya ?!” tanyanya galak kepada Ali.
“Bbbbbbbukan bi.....bukan saya, itu tuh yang nendang, yang kaosnya hijau nomer 20, yang mukanya item gosong” jawab Ali gugup sambil siap lari karena ketakutan melihat alu yang hampir saja mendarat di jidat kebanggaannya.
Perempuan itu berpaling ke arah pemain yang ditunjuk Ali. Tatapan matanya tajam. Seketika itu juga ia mengejar pemain bermuka gosong tesebut ke tengah lapangan sambil mengacung-acungkan alu di tangannya. Kejar mengejarpun berlangsung dengan serunya di bawah sorak sorai penonton. Tak terkira takut pemain tersebut. Beberapa kali ia menjerit menyebut nama Tuhan tatkala alu sebesar lengan orang dewasa itu hampir saja singgah di pinggangnya.
Mau tak mau panitia pertandingan turun tangan. Beberapa orang hansip terlihat berusaha melerai dengan mengacung-acungkan pentungnya. Namun si perempuan tadi karena merasa alu yang di bawanya lebih besar dari pentungan pak Hansip, maka hansip itupun dibabatnya. Langsung saja hansip-hansip tersebut pada kabur tak mau ambil resiko. Sementara pemain item gosong yang jadi incaran, terpaksa disembunyikan oleh panitia tak jauh dari situ, yakni di sebuah semak belukar yang merupakan WC umum penduduk setempat.
Keadaan kembali reda setelah si perempuan tiba-tiba balik menuju rumahnya dengan tergesa-gesa tatkala tercium olehnya bau nasi gosong. Pertandinganpun kembali dilanjutkan. Bola kembali bergulir, kali ini dikuasai oleh para pemain KAMBER yang kelihatannya mulai membangun jembatan.....eh.…membangun serangan. Namun serangan-serangan Kesebelasan KAMBER selalu berhasil dipatahkan oleh pemain belakang Kesebelasan KAPUWAS. Lalu gantian kesebelasan KAPUWAS balas menyerang, namun berhasil pula dipatahkan oleh kesebelasan Kamber. Begitu seterusnya saling menyerang silih berganti.
Suatu ketika para pemain KAPUWAS mendadak merubah taktik bermain. Serangan mereka bergelombang dengan berbagai trik. Hampir seluruh pemainnya dikerahkan menyerang. Bahkan kipernya pun ikutan maju menyerang. Mereka menyerang bak air bah sambil bersorak-sorak riuh rendah. Hal ini ternyata berhasil membuat pemain KAMBER kocar-kacir kebingungan. Bahkan ada yang merasa gentar dengan suasana riuh rendah tersebut.
Para pemain KAPUWAS terus saja menyerang. Tendangan mereka ke arah gawang Ichsan sering kelewat keras. Sampai-sampai para penonton yang ada di kiri kanan gawang tersebut pada bersibak menyelamatkan diri karena ketakutan terkena bola melenceng. Namun mendadak beberapa saat setelah itu, tendangan para pemain KAPUWAS jadi lemah lunglai seakan tak bertenaga. Beberapa kali tendangan mereka bisa ditangkap oleh kiper Ichsan dengan sebelah tangan. Itupun si Ichan sambil cengir ngejek. Orang-orang mengira bahwa itu adalah hasil kerja mbah dukun. Tapi ternyata tidak.
Para pemain KAPUWAS ternyata tiba-tiba merasa takut nendang bola keras-keras ke arah gawang Ichsan. Pasalnya, bibi yang tadi ketiban rumahnya oleh bola, kini kembali lagi dan berdiri di pinggir lapangan, persis di dekat gawang Ichsan. Dan tak tanggung-tanggung, ia dikawal oleh suaminya yang berperawakan tinggi besar dan berkumis tebal melintang. Kedua makhluk seram itu tetap berdiri di situ seraya memelototi setiap pemain KAPUWAS yang hendak menendang bola. Akibat hal tersebut, praktis pemain KAPUWAS tak berani nendang bola keras-keras karena takut bola kembali mengenai rumah si bibi. Apalagi sampai melenceng mengenai si bibi dan suaminya yang berdiri di dekat tiang gawang.
Kehadiran si bibi dan suaminya itu tentu saja menguntungkan pemain KAMBER. Melihat hal itu Gafan cs malah menantang pemain KAPUWAS untuk nendang keras-keras.
“Kalian kurang makan ya ? Koq, tendangannya loyo ?” ujar Gafan mengejek pemain KAPUWAS.
Diejek begitu, para pemain KAPUWAS ubah strategi lagi. Mereka memancing para pemain KAMBER untuk adu kekuatan di tengah lapangan.
“Sekarang ndak usah nyetak gol dululah” ujar kapten KAPUWAS. “Ntar…babak kedua, pindah tempat, rasain lu” lanjutnya.
Akhirnya sejak saat itu pemain KAPUWAS hanya berani berkutak-katik di tengah lapangan saja. Sementara Gafan cs justru punya kesempatan menyerang. Serangan pun mereka lakukan berulang kali.
Lama kelamaan pertandingan semakin seru, bahkan kedua kesebelasan sudah mulai memperagakan permainan khas mereka (permainan ala kampung, tau kan). Walau demikian belum ada seorang pemainpun yang sampai digotong keluar lapangan. Konon masing-masing pemain punya ‘bawaan’ sendiri-sendiri.
Tapi permainan keras tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba wasit membunyikan peluit panjangnya pertanda babak pertama telah usai, tepat pada saat Gafan akan mencetak gol. Gol pun batal. Tak terbayang kecewa dan dongkolnya hati sang kapten.
“Lho pak, rasa-rasanya waktunya belum cukup 45 menit” protes Gafan pada wasit.
“Ssssssttt......perut saya mual nih, pingin buang air besar” jawab wasit sambil setengah berlari menuju ke sungai kecil (telabah) di pinggir lapangan. Telabah tersebut kelihatan ramai oleh pemain kedua kesebelasan yang turun minum (biasa...pemain kampung turun minum ke telabah). Wasit yang sudah tak tahan itu langsung saja nyebur ke telabah dan ‘ngebom’ sepuas-puasnya tanpa menghiraukan para pemain yang mencaci-makinya karena mencemarkan air sungai.
Gafan yang melihat hal tersebut mengurungkan niatnya minum di situ, ia melangkah ke bagian hulu sungai yang belum tercemar. Setelah minum puas-puas, sedianya Gafan mau ‘ngebom’ juga sebentar, perutnya terasa agak mules karena tadi makan es yang diberikan oleh sang menejer. Tapi baru saja Gafan akan melaksanakan niatnya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara sang wasit membentak-bentak garang kepadanya.
“Hey monyet....jangan berak di depan saya ! Pindah sana ke belakang !!” teriaknya geram.
“Lho, ini ‘kan sungai ciptaan Tuhan pak” jawab Gafan tenang dan langsung ambil ancang-ancang mau buang air. Teman-temannyapun pada berdatangan juga hendak buang air. Rupanya mereka mules semua akibat es basi sang menejer.
“E..e..e..awas ya, yang coba-coba melanggar saya kasi kartu kuning” gertaknya sambil merogoh saku celananya dan memperlihatkan kartu kuning yang sudah kecipratan ‘kuning’-nya kotoran sang wasit.
Langsung saja Gafan cs mengurungkan niatnya, geram benar hatinya karena sudah dua kali sang wasit merugikan dirinya.
“Mudah-mudahan wasit kita ini diterkam buaya”
“Amiiiin” jawab yang lain serempak, namun tak membuat wasit bergeming dari tempat ‘pengebomannya’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar