Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (6)

Meski kompetisi berakhir tragis, namun tak menyurutkan semangat latihan anak-anak Kamber. Mereka tetap berlatih dengan menggunakan lapangan yang kebetulan ada di kampungnya. Di saat itu, karena kebetulan musim kemarau, maka lapangan jadi banyak karena banyak sawah yang tidak bisa ditanami.
Hampir semua generasi ikut main bola tiap sore. Dari anak balita yang masih bergigi empat sampai dengan manula yang giginya tinggal empat. Masing-masing punya lapangan sendiri yang letaknya bersebelahan.
Sementara itu lapangan yang dipakai oleh Gafan tentu paling besar, karena mereka menganggap bahwa tim mereka adalah tim inti. Sedangkan yang agak uzur terpaksa main di sawah yang agak kecil dan tanahnya bergelombang.
Sebenarnya hal ini sempat diprotes oleh bapak-bapak tersebut. Mereka menuntut agar kaum tua dan kaum “agak tua” diberi juga main di “lapangan utama” itu. Protes ini sempat mereka sampaikan kepada Pak kepala dusun. Dan memang Pak Kepala Dusun rupanya tanggap pada protes tersebut karena memang, ia seangkatan dengan kaum tua-tua itu, dan pak Kepala dusun sendiri juga suka ikutan main bola. Oleh karenanya sesegera mungkin pak kepala dusun membuat SK yang berisi izin penggunaan lapangan.
Atas dasar SK tersebut dengan agak terpaksa Gafan cs menampung aspirasi mereka. Yang bapak-bapak diikutkan main di lapangan. Permainan pun praktis terganggu karena setiap latih tanding, beliau-beliau yang tua-tua sering duduk di tengah lapangan karena kelelahan, padahal permainan sedang berlangsung. Ini membuat “para pemain inti” jadi gregetan. Tapi itu hanya berlangsung hanya beberapa hari, setelah itu beliau-beliau dengan sendirinya kembali ke lapangan bergelombangnya. Selidik punya selidik, ternyata itu adalah ulah Alie.
Ali mengistruksikan pemain-pemainnya agar sesering mungkin menembakkan bola ke arah para pemain uzur tersebut, lebih-lebih yang suka duduk di tengah lapangan kalau kelelahan. Memang instruksi sang menejer ini dijalankan. Setiap latihan, Gafan cs memisahkan diri dengan para pemain tua itu. Akhirnya tiap hari terjadi pertandingan antara remaja dengan generasi tua. Dan setiap hari pula ada saja pemain uzur yang dibuat keblinger karena kepalanya terkena bola yang sengaja ditendang keras-keras ke arahnya. Ini yang ternyata membuat bapak-bapak tersebut enggan lagi main bersama dengan Gafan cs. Mereka terpaksa pindah ke lapangan lama, lapangan bergelombangnya. Di lapangan tersebut mereka bisa sesuka hati untuk duduk semau gue di tengah lapangan tatkala kelelahan.
Sebulan setelah berakhirnya kompetisi Kambing Cup sial itu, kembali kesebelasan Kamber mendapat undangan untuk ikut kompetisi. Kompetisi tersebut diadakan di Kampung Seberang Sungai. Hadiahnya tak tanggung-tanggung, seekor sapi untuk juara pertama. Juara kedua mendapat kambing, dan juara ketiga mendapat hadiah seekor………….bebek. Hanya saja dalam kompetisi kali dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 50 ribu.
“Wah, ini nih yang bikin repot” ujar Gafan sambil garuk kepala saat membaca prihal jumlah uang pendaftaran tersebut. Sebab selama ini di kampungnya untuk nagih urunan beli bola atau untuk uang pendaftaran semacam ini sulitnya minta ampun. Ada saja alasan yang dibuat-buat agar tidak keluar uang. Tapi giliran akan bertanding, hampir semua pemain menuntut harus diturunkan.
“Tapi bertandingnya ‘kan masih dua minggu lagi” ujar Ali. “Berarti masih ada waktu untuk kumpulkan urunan” lanjutnya.
Gafan menganggukkan kepala. “Kalau begitu kita bentuk saja seksi-seksi” ujarnya.
“Boleh” jawab Ali.
“Kamu di seksi penagihan. Bakos kita serahkan untuk urus kostum. Mohdan di seksi air minum dan pengerahan suporter. Itu saja cukup kan ?” tanya Gafan.
“Masih kurang satu lagi. Seksi bebadong (magic). Ini perlu lho. Soalnya tim lain pasti pakai bebadong juga.”
Kembali Gafan terdiam. Dalam hatinya ia antara percaya dan tidak dengan hal yang satu ini. Tapi demi menampung aspirasi teman-temannya ia setuju juga.
“Siapa yang kita tunjuk di seksi bebadong ?”
“Si Ichan saja. Dia punya banyak kenalan tukang santet. Tapi dalam pertandingan nanti dia tidak mau jadi kiper lagi.”
“Lantas, siapa dong yang jadi kiper ?”
“Si Gedah”
“Boleh”
Akhirnya sejak saat itu Gafan dan Ali memulai aktifitasnya untuk mempersiapkan timnya. Anak buah mereka makin bersemangat latihan. Demikian juga dengan uang urunan, tumben saat itu bisa agak lancar. Dalam tempo seminggu uang terkumpul semua walaupun ada beberapa pemain yang nunggak dan membayarnya dengan cara mencicil.
Pertandingan tinggal seminggu lagi. Semua persiapan sudah hampir kelar, termasuk ‘bebadong’ segala. Segala taktik sudah pula dipersiapkan. Pokoknya, kesebelasan Kamber optimis bakal menang. Dan hari bertanding mereka adalah hari kamis. “Ini hari baik bagi kita, begitu kata mbah dukun” ujar Ichan yang katanya baru pulang menjalankan tugas me-loby dukun.
“Dukun yang mana ? Yang dulu lagi ya ?!” tanya Ali dengan nada khawatir.
“Bukan. Ada dukun yang lain lagi, lebih paten. Dia bisa bikin bola jadi melenceng. Pokoknya dijamin dah. Asal saja bebadong yang dia tanam di gawang kita nanti tidak sampai dikencingi”
Kembali Gafan mengangguk. Lagi-lagi antara percaya dan tidak.
Sehari menjelang pertandingan, tepatnya hari rabu, Gafan meliburkan anak buahnya untuk latihan.
“Kita harus refresing karena besok akan bertanding” pesannya. “Dan kalau bisa sore ini kita nonton pertandingan, hitung-hitung melihat kondisi lapangan” lanjutnya.
Saran tersebut dituruti. Dan sore itu hampir semua pemain Kamber pergi ke Kampung Seberang Sungai untuk melihat pertandingan yang sedang berlangsung. Lokasi pertandinganya adalah di sebuah tanah sawah pecatu kampung setempat. Lapangannya cukup luas namun agak bergelombang.
Yang bertanding sore itu adalah kesebelasan tuan rumah. Nama kesebelasannya cukup menyeramkan, PS. Macan Kuning. Penontonnya benar-benar berjubel. Ya, namanya juga tuan rumah. Dari jarak 100 meter saja sudah terdengar suara gegap gempita sorak-sorai. Hampir seisi kampung keluar untuk memberi dukungan pada tim kesayangannya. Bahkan konon kepala kampungnya menginstrukskan agar semua aktifitas dihentikan dulu pada sore hari itu demi mendukung tim mereka. Luar biasa.
Gafan dan teman-temannya tiba di lapangan tersebut pada pertengahan babak kedua. Kedudukan sementara masih 0-0. Rupanya lawan tim tuan rumah tanguh juga. Gafan tidak bisa melihat dengan jelas pertandingan tersebut karena berjubelnya penonton. Beberapa kali ia coba menyeruak, tapi selalu terpental kembali ke belakang. Tampak di kejauhan Bakos mencoba menyeruak di kumpulan cewek-cewek suporter. Rupanya keusilan Bakos kumat lagi. Tangan dan sikut kiri-kanannya benar-benar dimainkan saat itu. Bagian-bagian “tertentu” tubuh si cewek jadi sasaran. Tentu saja hal tersebut membuat cewek-cewek suporter ini pada marah. Langsung saja Bakos dijambak bertubi-tubi bergiliran. Dan akhirnya Bakos terpental ke belakang.
Gagal nonton lewat bawah, Bakos tidak kehabisan akal. Segera ia mengajak Gafan dan teman-teman lainnya untuk memanjat pohon jambu coklat yang ada di dekat situ. Kebetulan jambu tersebut sedang berbuah lebat.
“Kita naik di sini saja. Ini tempat yang strategis. Apalagi buah jambunya lebat, hehehe” ajak Bakos.
Bakos dan beberapa temannya langsung saja memanjat pohon jambu tersebut. Hanya Gafan saja yang tidak mengikuti jejak langkah Bakos itu. Dari atas pohon jambu itu mereka nonton pertandingan. Dan tentu saja sambil nonton, tak henti-hentinya mulut mereka mengunyah jambu yang ranum-ranum. Akibatnya, sisa-sisa sampah jambu berserakan di bawah.
“Bodoh sekali orang-orang itu. Koq ndak mau nonton lewat sini. Kan bisa sambil makan jambu” ujar Bakos seraya menunjuk ke arah penonton lainnya yang naik di pepohonan yang tak berbuah. Bahkan ada penonton lain yang naik di pohon pisang, sebentar-sebentar melorot ke bawah, setelah itu naik lagi.
Sebenarnya hati Gafan agak kurang enak melihat aksi Bakos itu. Apalagi setelah ia melihat sejumlah penonton memberi “kode” kepada bakos cs untuk turun dari jambu itu. Tapi dasar Bakos, dia cuek saja. Beberapa kali Gafan minta Bakos cs untuk turun, tapi ditolak mentah-mentah, bahkan dilempar dengan jambu mentah. Akhirnya Gafan segera menjauh dari tempat itu. Ia tak mau kena getah dari perbuatan Bakos. Gafan berjalan menuju arah timur lapangan. Di situ ada kandang kumpul yang letaknya agak tinggi. Anehnya kandang tersebut tak tersentuh sedikitpun oleh penonton, dengan kata lain tak seorangpun penonton yang nonton lewat situ, padahal kalau mau berdiri di bawah kandang tersebut, kita bisa melihat lapangan dengan leluasa. Selidik punya selidik ternyata si pengelola kandang kumpul itu tidak mengijinkan siapa pun masuk kesitu. Alasannya, dikhawatirkan nantinya orang yang masuk tersebut adalah mata-mata maling yang mau men-survey keadaan kandang itu. Maklum saat itu musim maling ternak.
Namun demikian Gafan langsung saja nyelonong masuk. Ia pura-pura melihat-lihat sapi-sapi yang ada. Si penjaga kandang terlihat mulai pasang wajah sangar. Ia terlihat beberapa kali melirik-lirik. Malah parangnya yang mengkilap beberapa kali digosok-gosokkan ke batu. Melihat gejalan tidak enak itu langsung saja Gafan putar otak. Sengaja ia berdecak kagum melihat sapi-sapi yang ada di situ yang gemuk-gemuk.
“Sapi bapak montok-montok ya ?! pasti harganya mahal” ujar Gafan. “Apalagi yang belang ini” lanjutnya seraya mengelus-elus punggung sapi tersebut. Rupanya sapi belang itu adalah sapi milik si penjaga kandang itu. Dipuji begitu, si penjaga kandang terpedaya juga. Segera wajah sangarnya dirubah sedemikian rupa. Dan iapun kemudian menerangkan berbagai hal tentang sapi yang dimilikinya, mulai dari makanan, sampai dengan kiat-kiat memandikan sapi. Pokoknya komplit, dah. Gafan pura-pura berdecak kagum lagi, tapi matanya mulai mengikuti pertandingan yang sedang berlangsung di lapangan. Si penjaga kandang terus saja memberi “penyuluhan terpadu”. Dan Gafan sesekali menengok juga ke arah panjaga kandang itu. Lama-lama si “penyuluh” kelelahan sendiri sehingga menghentikan penyuluhannya. Hal ini tentunya membuat Gafan bisa berkonsentrasi penuh mengikuti jalannya pertandingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar