Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (9)

Gafan cs sedang “briefing” dengan anak buahnya di dalam kamarnya yang sempit dan rada pengap. Semua duduk bersila sangat rapat, mirip pengajian pak Ustads. Antara satu dengan lainnya duduk berjejalan.
Gafan menurunkan papan whiteboard untuk menulis posisi-posisi pemain dalam pertandingan nanti. Teman-temannya yang lain hanya melongo melihat Gafan menjelaskan taktik dan strategi. Apalagi tatkala Alie yang menjelaskan tentang berbagai taktik dengan menggunakan bahasa ilmiah populer, makin berkernyit-kernyitlah dahi teman-temannya. Namun saat seru-serunya briefing, tiba-tiba datang Ihsan. Ia langsung saja masuk nyelonong menyeruak seenaknya. Terdengar umpatan Bakos yang terinjak pahanya. Ikhsan terus saja menyeruak teman-temannya yang duduk. Langkahnya sempat tertahan oleh Mohdan yang lagi duduk tepekur.
“Minggir !!” bentaknya seraya dengkulnya menohok kepala Mohdan. Beberapa temannya yang lain juga ikutan terkena dengkul Ikhsan yang rada-rada tajam.
Sementara itu Gafan hanya bisa melongo, menanti apa yang akan diperbuat Ikhsan selanjutnya. Ternyata Ikhsan saat itu mendekatinya. Rupanya ada sesuatu hal penting yang akan disampaikan. Begitu sampai di dekat Gafan, langsung saja Ikhsan membisikkan sesuatu sambil nunjuk-nunjuk keluar. Gafan kemudian melongokkan kepala ke arah halaman rumahnya. Teman-temannya yang lain pada ikutan menoleh mengikuti arah pandangan Gafan. Tampak di halaman rumah Gafan berdiri lelaki berusia sekitar 50 tahun menggunakan pakaian serba hitam-hitam, mirip tokoh aliran kebathinan. Baju hitam, celana hitam dan ikat kepala berwarna hitam dari kain batik yang dililit. Pendeknya semuanya hitam, termasuk kulitnya juga hitam. Hanya giginya yang agak coklat. Kedua tangan “orang hitam” itu bersedekap di dada. Orang itu juga kebetulan sedang melihat aktifitas Gafan dan kawan-kawannya. Begitu tahu dirinya diperhatikan, langsung saja ia menghadap ke arah lain. Kepalanya tengadah menghadap ke atas pohon kelapa sambil matanya terpejam. Beberapa kali mulutnya terlihat komat-kamit.
“Siapa itu ?” tanya Bakos pada Ikhsan.
“Dia dukun kita yang baru” jawab Ikhsan. “Pokoknya dijamin top. Dijamin gawang akan tetap aman” lanjutnya sembari menoleh ke arah Gafan. Gafan hanya diam saja, tak berkomentar. Ikhsan terus saja berceloteh menjelaskan keahlian dukun pilihannya itu. Katanya, dukun tersebut sudah berpengalaman “menangani” tim-tim yang bertanding di even-even besar.
“Lalu, berapa bayarannya ?” tanya Mohdan.
“Jangan khawatir, tarifnya bisa miring. Cuma syaratnya sekarang harus sediakan kemenyan Arab, beras, sirih, kapas dan jarum.”
“Jarum ? Maksudnya rokok jarum ?” tanya Bakos.
“Jarum jahit, goblok !!” bentak Ikhsan.
“Untuk apa ?”
“Yaa…, untuk syarat-syarat !! Udah, jangan banyak tanya, carikan saja,” ucap Ikhsan jengkel.
“Suruh masuk dong, dukunnya,” pinta Gafan.
Ikhsan pun kemudian memanggil dukun tersebut dan mengajaknya masuk. Dengan malu-malu pak dukun masuk ke kamar Gafan.
Pak dukun menganggukkan kepala kepada Gafan dan teman-temannya. Gafan balas menganggukkan kepala, begitu pula yang lain. Hanya Bakos saja yang menganggukkan dengkul karena kepalanya masih kesakitan ditonjok dengkul Ihsan tadi.
“Mari masuk pak” kata Gafan. “Duduk di sini” ajak Gafan sambil menyediakan tempat di dekatnya.
“Terima kazikh ” jawabnya.
Bahasa wak dukun terbilang aneh. Ia tidak fasih menyebut huruf s, k dan p. Huruf s diucapkan dengan z, huruf k diucapkan dengan kh, dan p dengan f. Konon menurut Ihsan, semua itu karena pak dukun kelewat sering baca jampi-jampi yang berasal dari berbagai bahasa, baik bahasa Arab maupun Sansekerta.
“Rufanya kekhadiran zaya mengganggu khalian” ujarnya basa-basi.
“Tidakh afa-afa fak dukhun” celetuk Bakos meniru lafaz pak dukun yang membuat seisi ruangan cekikikan, termasuk pak dukun sendiri.
“Kafan khalian akhan bertanding ?”
“Mungkhin nanti zore di zeberang zungai” jawab Bakos lagi. Kembali seisi ruangan pada tertawa termasuk pak dukun sendiri. Tertawa pak dukun terdengar aneh.
“Khi…khi…khi….khalian memang lucu. Zama zeferti khefonakhan zaya. Bezarnya fun zama zeferti khalian. Wazahnya mirif zama khamu” ujarnya sambil menunjuk Bakos.
“Ziafa nama khamu ?” tanyanya pada Bakos.
“Bakooozzz…” jawab Bakos dengan nada mengolok.
“Ooo… Bakoz. Kefalamu botakh mirif fonakhan zaya. Ferutnya juga gemukh zeferti khamu. Wajahnya tamfan zeferti khamu”
Dikatakan tampan begitu hidung Bakos kembang kempis. Diusap-usapnya kepala botaknya. Ia celingak-celinguk kiri kanan minta persetujuan teman-temannya mengenai prihal ketampanan tersebut.
“Hanya zaja…” lanjut pak dukun yang membuat Bakos kaget. “Zekarang dia zudah mati. Dia mati kharena ferutnya khegemukhan”
Kontan saja Bakos jadi jengkel mendengar hal itu. “Zudahlah, zangan bizara zaja. Nanti zaya tuzuk ferut fak dukhun dengan fizau lifat” ujar Bakos geram.
Melihat suasana agak memanas, langsung Gafan menengahi, meski sambil tertawa. “Sekarang Pak Dukun perlu apa saja untuk syarat-syaratnya”
“Zaya ferlu kafur baruz, beraz, kain futih, khemenyan araf, zirih dan jarum fentul” jawab pak dukun.
Gafan melongo sesaat. Dia menoleh pada Ihsan. Rupanya Ihsan mengerti maksud Gafan. Segera saja ia beranjak meninggalkan teman-temannya untuk mencari keperluan pak dukun.
Sementara menunggu Ihsan, Gafan kembali mengajak teman-temannya memperhatikan papan whiteboard yang berisi posisi-posisi para pemain. Semua pemain memperhatikan dengan serius, entah mengerti entah tidak.
“Ada pertanyaan ?” tanya Gafan ketika hendak mengakhiri “presentasinya”. Tak satupun temannya yang menjawab. Semua diam membisu. Gafan jadi bingung, karena ini bisa berarti mereka sudah mengerti, atau bisa juga sebaliknya sama sekali tidak ngerti. “Yang bego’ saya atau mereka ?” kata Gafan dalam hati.
“Zaya ada uzul dan zaran” kata pak dukun tiba-tiba. Semua mata menoleh kepadanya.
“Silahkan !” jawab Gafan.
“Khalau nanti khalian mazuk lafangan, haruz lewat zelatan. Lalu filih gawang di zebelah timur. Khemudian zalan berfutar khelilingi gawang zembilan khali.”
“Wah, kayak mau tawaf saja, pakai berputar-putar segala” jawab Bakos.
“Khamu zangan banyakh bazot, nanti zaya temfiling” jawab pak dukun geram. “Dan khalau biza, Bakoz zangan ikhut main, dia fembawa zial” lanjutnya.
Mendengar hal itu tentu saja Bakos jadi jengkel bukan kepalang. Hampir saja Bakos mendekati pak dukun untuk mencekiknya. Tapi segera tangannya ditarik oleh Mohdan. Begitu pula Gafan merasa tidak enak dengan ulah Bakos. Akhirnya Gafan menyuruh Bakos untuk keluar saja.
“Mandi dulu sana, kamu kan habis cukur !” kata Gafan. Bakos pun menurutinya. Tapi sambil berjalan keluar terdengar beberapa kali ia menggerundel. “Dazar…dukhun falzu. Dukhun Zetan”.
Tak lama berselang datanglah Ihsan membawa sebuah baskom kecil ditutupi kain putih. “Mari Pak dukun, di kamar sini saja” kata Ihsan mengajak pak dukun menuju kamar sebelah.
Pak dukun beranjak dari tempat duduknya. “Zaya finjam khamarnya zebentar. Untukh zamfi-zamfi” ujarnya kepada Gafan. Gafan pun mempersilahkannya. Setelah itu tak diketahui lagi apa aktifitas selanjutnya antara pak dukun dengan Ihsan di dalam kamar. Hanya saja yang mulai terasa adalah aroma dupa yang dibakar.

Usai Shalat Ashar……………
Semua pemain saat itu sudah berkumpul di posko kesebelasan, di rumah Gafan. Sebentar lagi mereka segera berangkat. Segala sesuatu sudah dipersiapkan dengan matang. Bakos terlihat membagi-bagikan kostum kepada para pemainnya yang kemudian langsung mereka pakai. Kostum dari kaos golkar yang di-wantex itu kelihatan sudah mulai memudar warna wantex-nya. Malah ada yang sudah terlihat jelas lambang Golkarnya. Namun hal itu disiasati oleh Bakos dengan mengganti lambang golkar dengan gambar rumah lumbung, ciri NTB. Hampir tiga buah spidol besar dihabiskan hanya untuk menutupi lambang tersebut.
Sementara itu Mohdan tampak terlihat sedang menyiapkan air minum. Sebuah galon Aqua besar terlihat di dekat kakinya. Ia tampak juga terlihat memberi penjelasan kepada beberapa anak buahnya. Para anak buah Mohdan ini jumlahnya sebelas orang, semuanya berpakaian silat, hitam-hitam dengan ikat kepala hitam juga. Mereka rupanya diinstruksikan untuk “berjaga-jaga” di lapangan, siapa tahu ada keributan. “Bila perlu kalau tidak ada keributan, silahkan kalian yang bikin ribut” ujar Mohdan. “Tapi ingat, kalau kita kalah, baru kalian boleh bikin keributan” lanjutnya yang disetujui oleh jawara-jawara tersebut.
Di sebelah jawara-jawara itu nampak si Gedah, calon kiper baru kesebelasan KAMBER. Si Gedah ini dulunya sebenarnya adalah pemain penyerang sayap kiri. Larinya terbilang kenceng, betisnya pun kuat pula. Hampir setara dengan kekuatan betis Bakos. Hanya saja kelemahannya kalau sedang lari kenceng membawa bola, maka larinya benar-benar kenceng dan lurus. Dia juga punya hoby nunggu bola tepat di garis pinggir lapangan. Kemudian bila bola datang, maka bola itu akan digiring dengan kecepatan tinggi mengikuti garis pinggir itu tanpa bengkok-bengkok dan tanpa mau ngover. Si Gedah ini kalau giring bola sering sambil menunduk memperhatikan bola. Akibatnya seringkali ia hampir menabrak hakim garis. Dan ujung-ujungnya ia baru sadar ketika bola sudah sampai di sudut korner. Saat itulah ia biasanya mulai berinisiatif ngover bola. Tapi sayangnya bola keburu out.
Hal itulah yang membuat teman-temannya yang lain jadi jengkel, terutama sekali teman-temannya yang jadi penyerang. Akhirnya mereka beramai-ramai mengusulkan agar Gedah jangan dijadikan penyerang lagi, melainkan sebagai kiper saja. Sebab dulunya si Gedah adalah mantan kiper juga, tapi karena ia suka urak-urakan saat bertugas, maka diberhentikan jadi kiper. Model urak-urakannya begini, saat ia dapat menangkap bola maka seketika ia menjatuhkan dirinya berguling-guling bagai kiper piala dunia. Padahal bola yang ditangkapnya tidak begitu sulit. Pokoknya setiap menangkap bola pasti dilanjutkan dengan adegan berguling-guling. Setelah itu dengan serta merta ia melemparkan bola ke depan. Pokoknya, lagaknya seperti kiper piala dunia.
Pernah suatu ketika saat menangkap bola ia langsung berguling-guling lima kali sampai-sampai gulingannya tidak tentu arah. Dan seperti biasa dengan serta merta ia melemparkan bola keras-keras ke depan. Si Gedah tidak sadar bahwa akibat berguling-gulingnya tadi posisinya jadi terbalik sehingga begitu bangun maka yang di hadapannya adalah gawang sendiri. Seketika itu juga ia melemparkan bola keras-keras dan tentu saja langsung masuk ke gawang sendiri. Si Gedah sendiri sebenarnya heran dengan hal tersebut. “Kok bisa gawangku ada di sebelah sini” ujarnya saat itu. Rupanya akibat berguling-guling itu Gedah sempat pusing sehingga pandangannya berputar-putar. Namun yang jelas ia akhirnya jadi sasaran sumpah serapah teman-temannya maupun suporter lainnya. Ia pun dipecat dengan tidak hormat menjadi kiper KAMBER.
Namun demikian karena makin lama di tim KAMBER terjadi kelangkaan kiper plus Ihsan mengundurkan diri, maka Gedah pun akhirnya dipanggil lagi oleh Alie untuk mengikuti TC. Dan hari itu, beberapa jam menjelang pertandingan dengan kesebelasan Kampung Seberang Sungai si Gedah kelihatan benar-benar siap. Pakaian kiper kebesarannya (yang memang kebesaran) sejak tadi siang sudah dipakainya. Begitu pula sarung tangannya sudah dipakai pula. Beberapa temannya bertanya prihal asal muasal sarung tangan tersebut yang dijawab oleh Gedah bahwa sarung tangan tersebut kiriman salah seorang kiper AC Milan. Selidik punya selidik, ternyata sarung tangan itu adalah sarung tangan milik ibu Gafan yang dipakai saat naik haji dua tahun lalu.
Di antara kerumunan belasan pemain KAMBER itu tampak terlihat Alie berada di tengah-tengah. Ia terlihat menggunakan jaket biru bertuliskan Honda. Di tangannya tergenggam sebuah map kuning kumal tergulung. Beberapa kali ia terlihat bersitegang dengan para pemainnya. Bahkan terlihat pula ia menjitak kepala salah seorang pemainnya. Gafan jadi penasaran, kemudian ia mendekati Alie dan memperhatikan saja ulah tingkat sang menejer. Ternyata menejer Alie saat itu sedang menagih tunggakan uang iuran pendaftaran kepada beberapa pemain. Beberapa di antara pemain yang nunggak tersebut tidak bersedia melunasi tunggakannya dengan alasan tidak punya uang. Sedangkan beberapa orang lagi berjanji akan melunasi tunggakan itu apabila dalam pertandingan nanti tidak dijadikan sebagai pemain cadangan. Pendeknya, para penunggak yang jumlahnya lebih dari separoh pemain itu minta dijadikan pemain inti. Hal inilah yang membuat Alie jadi jengkel hingga sampai bersitegang.
“Iuran apa lagi ? Kok banyak sekali. Apa saja sih yang mau dibayar ?” tanya salah seorang pemain.
Dengan nada jengkel Alie langsung merincikan semua pengeluarannya dari biaya pendaftaran, beli air minum dan segala tetek bengek. “Itu belum termasuk uang untuk bayar dukun” ucap Alie dengan lantang. Semua pandangan mengarah kepada Pak dukun. Pak dukun sendiri kelihatan malu dan kesal, lalu ia pun terdengar berdehem-dehem. Alie jadi tersipu-sipu.
“Ayo kita berangkat !” ajak Bakos.
“Tunggu dulu !” sergah pak dukun. “Zebelum berangkhat, khalian haruz minum air zamfi-zamfi ini dulu” lanjutnya seraya mengeluarkan sebuah botol aqua penuh air.
“Supaya kenapa ?”
“Zufaya khalian tidakh khena fengaruh zihir dan zantet dukhun muzuh khalian” ujarnya.
Akhirnya satu persatu para pemain KAMBER meminum air “zamfi-zamfi” dari pak dukun tersebut, termasuk Gafan juga. Rupanya ia terpengaruh juga oleh kata-kata pak dukun yang menakut-nakuti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar