Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (11)

“Tunggu dulu….pak dukun kok menghilang” kata Ihsan. Semua terkejut. Mereka baru sadar bahwa pak dukun saat itu tak muncul-muncul setelah menyelam tadi. Namun demikian sebagian dari mereka tidak begitu peduli dan langsung saja beranjak pulang.
“Sudah hampir magrib nih” ujarnya seraya berjalan pulang. Beberapa orang di antara mereka terlihat saling berbisik-bisik. Entah apa yang dibisikinya tak ada yang peduli juga.
Sementara itu sebagian yang lainnya ikut berusaha mencari pak dukun. Jumlah mereka kini sekitar 20 orang. Mereka melihat-lihat sepanjang sungai, tapi pak dukun tak nongol-nongol. Para pemain dan suporter KAMBER kemudian mencoba berjalan mencari-cari ke arah hilir, siapa tahu pak dukun hanyut. Pinggiran-pinggiran sungai yang lebat ditumbuhi pohon waru itu mereka telusuri. Tiap ada tumpukan sampah di pinggir sungai, mereka obok-obok. Siapa tahu pak dukun nyangkut di sana. Begitu pula kalau ada tumpukan sampah di tengah sungai, segera saja dilempari oleh Bakos dengan batu-bata. “Siapa tahu pak dukun nyangkut di sana” ujarnya.
Lama kelamaan hari mulai gelap. Matahari sedikit sedikit mulai tenggelam. Tempat pinggiran sungai itu terlihat mulai remang-remang menyeramkan. Mereka nampak putus asa. Mereka mengira bahwa pak dukun telah tenggelam dan hilang dibawa oleh makhluk angker di sungai tersebut. Akhirnya Gafan cs mengajak teman-temannya untuk pulang.
“Nanti kita beritahu orang kampung” ujarnya yang disetujui oleh teman-temannya. Mereka pun mulai bergegas untuk pulang. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba terdengar seperti suara air sungai diobok-obok. Mereka terhenti sejenak sambil melihat kearah datangnya suara. Ternyata suara tersebut datang dari arah bagian sungai yang paling seram, di bawah rumpun bambu. Di pinggiran sungai agak ke tengah terlihat sosok tubuh menggapai-gapai. Gafan dan teman-temannya segera berlarian ke pinggiran sungai di dekat rumpun bambu.
“Tolooong……..” ucap pak dukun dengan lemas.
“Ayo cepat tolong sana !” perintah Gafan kepada Ihsan. Namun Ihsan rupanya takut untuk terjun karena hari sudah gelap apalagi daerah itu adalah daerah paling serem. Bakos pun demikian, takut juga, apalagi Gafan. Begitu pula dengan hampir seratusan suporter tersebut tak ada yang berani terjun. Masing-masing saling memaksa temannya untuk terjun membantu pak dukun, tapi tetap tak ada yang berani.
“Byuurrrrr……..” tiba-tiba terdengar suara orang terjun. Orang yang terjun ini terlihat celingukan sejenak di air dan kemudian langsung mendekati tubuh pak dukun.
“Siapa yang terjun itu ?” tanya Gafan.
“Alie…..” jawab temannya yang lain.
Betapa lega hati Gafan. Begitu pula teman-temannya yang lain. Mereka terlihat begitu bangga kepada Alie yang menunjukkan ke-heroikannya. Apalagi saat itu terlihat Alie dengan tenang berenang seraya menggeret tubuh pak dukun yang lagi ngos-ngosan.
Begitu sampai di pinggir langsung saja semua teman-temannya membantu mengangkat tubuh pak dukun. Beberapa orang terlihat menarik tangan Alie untuk naik. Pak dukun langsung tidur tengadah di pinggir sungai dikelilingi oleh Gafan, Bakos dan yang lainnya. Nafas pak dukun terdengar tersengal-sengal. Beberapa kali terdengar ia terbatuk-batuk seraya memuntahkan air dari mulutnya.
“Wah…benar-benar zial zaya” gerutunya sambil mencoba bangkit. “Terima kazikh,” lanjut pak dukun seraya menyalami Alie yang tadi menyelamatkanya. Sambil sedikit tersenyum kecut Alie menyambut uluran tangan pak dukun. Teman-temannya yang lain pun terlihat ikutan menyalaminya, tapi segera ditolak oleh Alie. Setiap tangan yang diulurkan langsung ia tepis dengan agak kesal.
“Selamat ya” kata seorang temannya seraya mengulurkan tangan kanannya.
“Selamat batok kepalamu. Siapa yang ngedorong saya tadi, hah?!!” ketus Alie sambil berjalan ngeloyor seraya menggerundel. Semua teman-temannya jadi heran. Selidik punya selidik, ternyata Alie jadi jengkel karena harus nyebur untuk menyelamatkan pak dukun. Sebenarnya Alie sama sekali tidak berniat menyelamatkan pak dukun karena ia sendiri takut nyebur di sekitar situ. Lalu, kenapa ia sampai rela terjun ke sungai ? Itu karena terpaksa saja. Sebab tadi itu tubuhnya di………dorong. Entah siapa yang melakukannya, tak seorang pun mau mengaku. Nah, inilah yang membuat Alie kesal tapi tak tahu harus kesal kepada siapa.
Perjalanan pulang menuju kampung Gafan kembali mereka tempuh melalui jalan setapak di kebun-kebun yang masih cukup lebat. Pohon-pohon kayu besar yang lebat membuat suasana di sekitar tempat itu lebih cepat gelap daripada tempat lainnya. Apalagi rumah-rumah penduduk masih agak jauh dari tempat itu. Makin lama makin gelap saja kebun-kebun yang mereka lalui karena memang saat itu sudah lewat magrib. Di kejauhan terdengar suara orang berzikir melalui louds speaker masjid. Ini pertanda bahwa shalat magrib baru saja usai.
Gafan cs berjalan dengan ekstra hati-hati karena takut terbentur akar kayu yang menonjol ke tengah jalan setapak. Beberapa orang terdengar menghentak-hentakkan kakinya berulang-ulang dengan keras. “Untuk menakut-nakuti ular” dalihnya.
Bermacam-macam polah tingkat mereka. Ada yang sambil bernyanyi, ada yang sambil bicara keras-keras dan lain sebagainya. Pokoknya suasana dibikin seramai mungkin. Gafan tersenyum kecil melihat ulah tingkat teman-temannya itu. Ia tahu betul, teman-temannya bikin keramaian di sekitar tempat itu tak lain untuk menghilangkan rasa takut. Lho, kok takut ? Bagaimana ndak takut. Lha, orang-orang kampung Gafan sangat percaya bahwa di sekitar tempat itu banyak makhluk halusnya. Dari makhluk halus yang paling halus sampai yang paling kasar. Dari lelembut yang paling lembut sampai yang lelembut yang sama tidak punya kelembutan.
“Katanya di sekitar sini bapak saya dulu pernah ketemu orang tanpa kepala” kata Alie menakut-nakuti, padahal ia sendiri sedang ketakutan.
Mendengar hal itu kontan saja teman-temannya yang berada di belakang bergegas jalan ingin di tengah rombongan. Semua berebutan ingin di tengah sampai-sampai pak dukun yang berada di tengah jadi sesak nafas. Meski jumlah mereka 20 orang lebih tapi kalau sudah lewat di tempat itu ciut juga nyali mereka. Karena memang, sejak kecil orang tua mereka selalu memperdengarkan cerita yang serem-serem tentang kawasan perkebunan itu. Ada cerita wanita yang selalu menangis di bawah pohon, ada cerita tentang pocong, ada sapi putih, ada cerita manusia setinggi pohon kelapa yang selalu menghadang dan sebagainya. Pokoknya bermacam-macam dah.
Tak heran bila Gafan cs benar-benar tegang lewat di tempat itu. Apalagi saat itu gelapnya bukan main. Yang terlihat hanya jalan setapak saja. Praktis mata mereka hanya tertuju ke bawah, ke jalan setapak. Tak ada yang berani celingak-celinguk kiri kanan karena kiri kanan mereka adalah semak-semak menyeramkan. Beberapa kali terdengar suara burung hantu dan satwa lain yang aneh-aneh. Ini menambah kemerindingan mereka. Suasana perjalanan Gafan cs benar-benar jadi sunyi. Tak ada lagi yang bernyanyi-nyanyi. Termasuk Alie, tidak lagi memperdengarkan ceritanya yang serem-serem, karena ia juga ketakutan membayangkan ceritanya sendiri. Ia terus memepetkan tubuhnya di dekat teman-temannya. Begitu pula sebaliknya dengan teman-temannya termasuk Gafan, pak dukun, Bakos dan sebelas orang pesilat anak buah Mohdan. Mereka berjalan dengan agak tergesa-gesa tanpa basa-basi. Beberapa kali terdengar suara mendesis yang keluar dari mulut teman-teman Gafan. Suara itu terdengar agak gemetar. Rupanya mereka membaca-baca mantera dan doa-doa yang didapat dari kakeknya.
Tiba-tiba langkah mereka tertahan. Mohdan yang berjalan paling depan mendadak berhenti. Temannya yang lain juga begitu. Beberapa orang terdengar mengaduh karena kepalanya terantuk dengan kepala temannya yang di depan. Lalu, apa yang terjadi ? Belum sempat mereka bertanya tiba-tiba Mohdan yang jago silat itu menjerit ketakutan seraya melompat lari ke belakang.
“Pocooooongg…..” teriaknya histeris seraya berlari terus ke arah semak-semak.
Teman-temannya yang lain pada kaget. Dan memang, nampak di depan mereka sesuatu berwarna putih melintang terbujur di tengah jalan setapak. Ukurannya sepanjang badan manusia dan dibungkus kain warna putih. Melihat hal itu sontak mereka pada berlarian ke belakang ke berbagai penjuru. Mereka terpencar ke berbagai arah. Ada yang ke utara, selatan dan timur. Bahkan Alie berlari ke arah sungai. Niatnya mau kembali ke Kampung Seberang Sungai dan nginap di rumah pacarnya. Pendeknya semua berhamburan termasuk para pesilat anak buah Mohdan. Hanya pak dukun saja yang terlihat diam di tempat. Rupanya ia tidak takut sama sekali.
Tak lama setelah mereka pada berhamburan kesana kemari, akhirnya mereka terlihat berhamburan juga kembali ke tempat pocong tadi. Rupanya ketika mereka berlari tadi, arah yang mereka tuju tidak jelas. Mereka malah menuju ke semak-semak yang menyeramkan. Itu sebabnya mereka sontak pada kembali sambil tetap menjerit-jerit. Tak lama kemudian mereka pun kumpul seperti sediakala. Pak dukun memerintahkan mereka untuk tidak menjerit-jerit.
“Jangan gaduh ! Biar zaya yang khadapi focong ini !” ucapnya penuh percaya diri. Gafan dan teman-temannya langsung terdiam. Mereka berdiri berhimpit-himpitan satu sama lain sekitar lima meter dari pak dukun. Sementara pak dukun sendiri saat itu berdiri sekitar 3 meter dari pocong tersebut.
Terlihat dengan jelas pak dukun duduk bersila. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Kemudian tangan kirinya diturunkan perlahan lalu didorongkan ke depan. Setelah itu giliran tangan kanannya diturunkan lalu didorongkan ke depan. Begitu terjadi berulang-ulang. Namun tak menunjukkan hasil sedikitpun. Pocong itu tetap tak bergeming. Lama kelamaan pak dukun agak kelelahan juga turun naikkan tangannya. Beberapa kali desah nafas tuanya terdengar. Bahkan kali ini bukan nafasnya saja yang terdengar melainkan suara mantera-manteranya.
“Zinar bumi zinar langit zinar bulan zinar zeminar berzinar-zinar” ucapnya bermantera. “ZZZZZaahhh… huh… huh …” lanjutnya kelelahan. Pocong itu tetap tak bergeming. Pak dukun jadi heran. Padahal untuk ukuran pocong begini ia cukup berpengalaman mengatasinya.
Kembali pak dukun mengucapkan mantera serupa, tetap juga tak bergeming. Dengan mantera yang lain juga tak bergeming sedikitpun. Pak dukun jadi frustasi. Beberapa kali mulutnya mengeluarkan suara mendesah seperti mengeluarkan tenaga dalam, namun tetap tak mempan. “Wah, khalah nikh, ilmu zaya. Namfaknya ini adalakh mbahnya focong” katanya dalam hati seraya terus mencoba ilmunya dari tingkat yang rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Setelah yang paling tinggi tidak bisa, kembali lagi ke yang paling rendah. Begitu seterusnya. Lama-lama ilmu yang dipakai tidak beraturan lagi tingkat-tingkatannya. Dari tingkat satu lompat ke tingkat tujuh, kemudian turun ke tingkat tiga lalu naik lagi ke tingkat sembilan. Setelah itu turun lagi ke tingkat enam. Pokoknya kacau dah.
Pak dukun benar-benar frustasi. Keringat dalamnya keluar. Ia mulai menggigil. Nampaknya ia mulai ketakutan juga. Mau terus melawan pocong itu, ia sudah mengaku kalah dalam hati. Tapi mau lari, tentu tidak mungkin. Sebab itu nantinya akan membuat kredibilitasnya di mata Gafan cs akan anjlok.
Akhirnya di tengah kefrustasiannya itu muncullah kenekadannya. Dengan serta merta pocong yang melintang itu didekatinya dan seketika itu juga ditendang sekeras-kerasnya. Dan apa yang terjadi ? Pak dukun berteriak-teriak kesakitan seraya bersimpuh terduduk di dekat pocong itu. Gafan dan teman-temannya terkejut mendengar jerit melengking pak dukun. Iba juga hati mereka. Mendadak keberanian mereka muncul. Lebih-lebih sebelas orang pesilat itu, tiba-tiba saja jadi geram. Tanpa basa-basi para pesilat itu maju serentak seraya berteriak geram mirip di film laga India. Detik itu juga dari semua penjuru mereka menerjang si pocong. Dan dengan sekuat tenaga mereka membantainya. Ada yang memakai teknik tendangan, ada yang jambakan dan ada pula yang menggunakan pukulan.
Tapi apa lagi yang terjadi ? Mendadak mereka juga kesakitan dan mengaduh-aduh seperti pak dukun sebelumnya. Hanya yang menggunakan teknik jambakan saja yang tidak mengaduh-aduh. Ia terlihat terus menjambak kain putih tersebut hingga robek. Dan begitu robek, betapa terkejutnya mereka karena ternyata isi kain putih itu bukan mayat, melainkan……kayu balok. Kontan saja mereka pada tertawa terbahak-bahak melihat kekonyolan yang mereka lakukan itu. Mereka tertawa sambil menggerutu kesal kepada si pembuat ulah tersebut. Mereka semua tahu siapa yang punya perbuatan usil, ya, itu tadi, rombongan suporter yang sudah jalan terdahulu.
“Pantas mereka tadi berbisik-bisik,” ujar Alie dengan nada malu-malu plus kesal.
Akhirnya perjalanan pun mereka lanjutkan kembali. Kampung mereka sudah tak jauh lagi. Lampu-lampu rumah penduduk nampak sudah kelihatan dari tempat mereka. Mereka-terus berjalan dengan senda gurau kembali. Pada perasaan mereka sebenarnya ada rasa malu juga bila ketemu orang di kampung, karena kesebelasan mereka gagal bertanding. Apalagi kalau ketemu Abah Halil, tentu akan lebih malu lagi. Karena sudah pasti berita ini akan dijadikannya laporan utama gosip di setiap acara kumpul-kumpul kaum tua.
Dan memang, begitu sampai di kampung, yang pertama kali terlihat adalah rumah Abah Halil yang nampak ramai. Ternyata malam itu juga Abah Halil langsung mengadakan syukuran besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukur atas kekalahan yang diderita Gafan cs. Lagi-lagi Siaaall.

2 komentar: