Kamis, 26 Maret 2009

INSYA ALLOH..... NGGAK JANJI DEH

“Insya Alloh-nya mahasiswa sekarang sudah kena polusi. Insya Alloh-nya orang sekarang tak lebih artinya dari nggak janji deh,” ujar Pak Syukri suatu hari ketika ia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan seminar yang berjudul “Insya Alloh”.
“Saya mau ngadain seminar macam ini semata-mata karena keprihatinan saya terhadap penyalahgunaan kata Insya Alloh,” ungkapnya.

“Makanya…, uang kiriman jangan dipakai foya-foya,” tukas Pak Syukri, Dekan Fakultas Sospol Universitas Maju Tak Gentar. “Inilah akibatnya, tidak bisa ikut ujian semester, tapi untung…….,” lanjutnya tanpa melanjutkan kata-katanya.
Kini giliran Gafan kernyitkan dahi. “Iya dah Pak, sekali ini saja, mohon kebijaksanaan Bapak,” jawab Gafan sambil garuk-garuk kepala seraya menyerahkan Surat Pernyataan siap melunasi SPP usai semesteran.
“Lalu, kapan mau ngelunasin es-pe-pe-nya ?” tanya Pak syukri.
“Dua minggu lagi………Insya Alloh.”
“Insya Alloh ?” Pak Syukri kernyitkan dahi seraya memandang wajah Gafan.
“Ya…Insya Alloh, emangnya kenapa ?”
“Maaf, Insya Alloh-nya mahasiswa sekarang tidak bisa dipercaya, sudah tercemar. Saya tidak mau terima surat pernyataanmu kalau pakai kata Insya Alloh.”
“Iya dah Pak, saya janji dua minggu lagi” jawab Gafan dengan cepat.
Mendengar hal tersebut Pak Syukri dengan tenang langsung menandatangani Surat Pernyataan Gafan setelah terlebih dahulu men-tip-ex kata Insya Alloh yang ada di dalamnya.
Insya Alloh adalah kata yang memang seharusnya diucapkan oleh seorang muslim yang akan mengadakan perjanjian, dengan catatan apabila kelak janji tersebut tidak bisa ditunaikan karena memang ada sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan si pembuat janji untuk menepatinya, maka janji itupun bisa dibatalkan tanpa dihitung sebagai sebuah hutang.
Namun bagi Pak Syukri, kata Insya Alloh yang sering didengarnya, kebanyakan diucapkan dengan tujuan agar si pembuat janji dapat leluasa untuk seenaknya mau atau tidak menepati janjinya walau tanpa ada “uzur” sekalipun. Karena begitu banyak telah makan asin garamnya Insya Alloh, maka Pak Syukri tak pernah mau lagi mengadakan perjanjian dengan siapapun termasuk mahasiswanya apabila dalam perjanjian tersebut ada kata-kata Insya Alloh.
“Insya Alloh-nya mahasiswa sekarang sudah kena polusi. Insya Alloh-nya orang sekarang tak lebih artinya dari nggak janji deh,” ujarnya suatu hari ketika ia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan seminar yang berjudul “Insya Alloh”.
“Saya mau ngadain seminar macam ini semata-mata karena keprihatinan saya terhadap penyalahgunaan kata Insya Alloh,” ungkapnya.
“Bukan begitu pak…….” bantah seorang mahasiswa.
“Dengar dulu, saya belum selesai ngomong! Walau apa yang saya utarakan ini memang kelihatannya remeh, namun hal ini saya rasa cukup prinsip. Mengapa demikian? Coba saja saudara bayangkan, arwah seorang manusia sudah meninggal (mana ada yang belum meninggal) akan mengambang jika masih punya hutang. Dan janji itu adalah hutang. Al-wa’du daenun, ingat itu !!” katanya berapi-api menyitir sebuah hadist.
“Tapi kan kita sudah…….. “ bantah seorang mahasiswa.
“Dengar dulu saya belum selesai ngomong! Nanti kalau saya sudah selesai ngomong, baru kalian boleh memberi argumen,” ucap pak Syukri kembali. “Bila kalian mengucap Insya Alloh, saya yakin kalian tak kan merasa mepunyai beban untuk melunasi janji kalian” lanjutnya.
“Bukan begitu Pak………..” bantah Gafan mulai ikut-ikutan.
“Dengar dulu saya belum selesai ngomong! Nanti kalau saya sudah selesai ngomong, baru kalian boleh memberi argumen. Pokoknya jangan banyak celoteh, tak usah mengelak, karena saya telah banyak dikibuli oleh kata-kata Insya Alloh kalian.”
Puluhan mahasiswa yang menghadiri kuliahnya hanya bisa manggut-manggut tanpa komentar karena konon dosen “non-terbang” satu ini terkenal tak mau kalah debat, apalagi debat dengan kusir.
“Sekarang saya sudah selesai ngomong. Silahkan keluarkan argumen kalian!” lanjut Pak Sukri seraya hendak beranjak meninggalkan tempat itu.
“Jangan pergi dulu dong, pak. Kita kan mau memberi argumen,” ujar Gafan.
“Silahkan saja ngomong berargumen! Ndak ada yang larang, kok. Kalian bebas berargumen, sayapun bebas pergi,” kata Pak Syukri sembari langsung ngeloyor pergi dengan cueknya.
Para mahasiswa pada melongo.
“Besok, hari Rabu tanggal sembilan belas November pukul enam belas sore, kalian saya haruskan hadir pada seminar Insya Alloh, mengerti ?!!” teriak pak Syukri dari kejauhan.
“Ngerti……”
“Kalian harus hadir, ya ?!”
“Insya Alloh….”
“???”
* * *

Hari Rabu
19 Nopember pukul 16 sore…………

Sorakan dan tepukan riuh rendah mewarnai berlangsungnya seminar “Insya Alloh” yang dilangsungkan di Aula Universitas Maju Tak Gentar. Pak Syukri yang saat itu bertindak sebagai moderator, pembahas, penyaji, MC sekaligus narasumber, tampak begitu puas melihat jumlah peserta yang hadir melebihi target. Hanya saja seminar itu terlihat janggal karena moderator, pembahas, penyaji, protokol sekaligus narasumber dirangkap sendiri oleh Pak Syukri. Alasannya, ketika para dosen lain diminta kesediaannya untuk berpartisipasi, semua menjawa “Insya Alloh”. Hal ini rupanya yang membuat Pak Syukri tak mau ambil resiko kalau-kalau nanti mereka tidak hadir.
“Insya Allohnya saudara-saudara berarti boleh hadir boleh tidak,” ungkapnya. “Itu berarti meremehkan, dan saya paling tidak suka diremehkan,” lanjutnya yang membuat beberapa dosen saling pandang.
Dan saat seminar berlangsung, tak satupun dosen yang tampak, karena memang tidak diundang. Pak Syukri sudah memutuskan untuk tidak jadi mengundang dosen-dosen yang berjanji dengan kata Insya Alloh. Padahal Pak Syukri sendiri dalam surat undangannya memakai kata Insya Alloh.
“Kata-kata Insya Alloh dalam surat undangan saya ada maksud politisnya, nanti kalian akan tahu sendiri,” ujarnya ketika dikritik sejumlah mahasiswa perihal pencantuman kata Insya Allah pada surat undangan tersebut.
Sementara itu di lain pihak, mahasiswa yang menghadiri undangan itu cukup banyak, nyaris membludak hingga ke emperan kampus. Akibatnya banyak peserta yang tidak kebagian tempat duduk. Padahal seperti yang sudah kita maklumi bersama, bahwa mahasiswa sekarang paling alergi dengan seminar, lokakarnya, sarasehan dan sebangsanya.
Beberapa waktawan amatiran kelihatan duduk dengan serius sambil mencatat tiada henti dari awal acara. Sesekali mereka mengadakan tanya jawab dengan peserta di sebelahnya.
“Apa yang membuat anda tertarik mengikuti acara seminar ini?” tanyanya pada seorang mahasiswa berambut gondrong.
“Bukan apa-apa sih, bung, tapi ini nih,” jawab si gondrong tersebut sambil meunjukkan surat undangan seminar yang di dalamnya ada bacaan NB: DILANJUTKAN DENGAN ACARA MAKAN-MAKAN. Wartawan tersebut manggut-manggut, kembali melanjutkan mencatat.
Sementara itu terdengar salah seorang peserta mendebat Pak Syukri dengan sengitnya. Konon peserta tersebut berasal dari Fakultas Tarbiyah yang memang paling doyan berdebat masalah teologi, perbandingan mazhab dan sejenisnya.
“Saya kurang sependapat dengan Bapak,” jawab mahasiswa itu dengan lantang. “Seseorang yang berjanji dengan mengucapkan Insya Alloh, kemudian dia sengaja tidak menepati janji, saya rasa tidak ada masalah. Sebab dia tidak menepati janji tersebut karena memang hatinya tidak digerakkan oleh Allah untuk menepati janji. Ini kan berarti Allah tidak memberinya ijin. Jadi kita kembalikan ke Allah dong ….yang tidak memberinya ijin. Sedangkan Insya Alloh itu kan artinya atas ijin Allah,” lanjutnya dengan berapi-api sambil mengacung-acungkan tangan seperti juru kampanye.
“Terima kasih,” jawab Pak Syukri tenang. “Dari statemen anda saya berkesimpulan, anda seakan-akan mau menyalahkan Allah yang anda katakan tidak menggerakkan hati orang tersebut untuk menepati janji. Memang hidayah itu datangnya dari Allah, dan yang diberi hidayahpun dipilih oleh Allah, yaitu orang yang mau berusaha, yaitu mau berusaha menepati janji. Segala sesuatu harus dari usaha kita dulu baru kemudian serahkan ke Allah,” ujar Pak Syukri sembari mengutip sebuah ayat Al-qur”an.
Mahasiswa tadi melongo, rupa-rupanya kehabisan perbendaharaan ilmu. Terus diputar otaknya berpikir bagaimana cara menjawab argumen tadi. Pokoknya bisa dibantah, salah atau benar itu urusan belakang. Yang penting baginya bisa menunjukkan keintelektualannya dengan cara mendebat dosen, sebab dengan cara ini biasanya kualitas keilmuan mahasiswa bisa diakui. Masalah di luar mau mengamalkan ilmu atau tidak, sholat atau tidak, itu urusan belakang. Yang penting dosen kalah debat atau setidak-tidaknya berani didebat.
“Begini Pak !!” kata mahasiswa tadi masih dalam posisi berdiri sambil mikir-mikr apa yang akan dikatakannya. Cukup lama juga ia mikir, rupanya benar-benar kehabisan ilmu.
“Udaaaah…. duduk aja lu !!” celetuk mahasiswa di belakangnya diiringi gerutuan mahasiswa lainnya. “Percuma janggut kamu begelantungan, tapi segitu aja keok,” lanjut yang lainnya.
Pak Syukri tersenyum kecil, rada gembira juga dia karena pendebat tadi mati kutu olehnya.
Seorang mahasiswa lain berjanggut agak panjang tampak berdiri, diraihnya mic yang disediakan buat para peserta. Setelah berdehem-dehem sebentar iapun mulai berkata-kata dengan tangan agak sedikit gemetar (biasa…mahasiswa, prinsipnya biar gemeter yang penting sok).
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, sehingga saya dapat menyampaikan tanggapan atas permasalahan yang kita bahas saat ini. Sebelumnya marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan karena atas limpahan ………,” baru sampai di situ si Janggut ngomong, tiba-tiba terdengar teriakan seorang mahasiswa di belakangnya. Kiranya si mahasiswa gondrong coba-coba bikin sensasi.
“Hey Janggut !! To the point saja kenapa, sih!! Pake terima kasih-terima kasih segala. Pake puji syukur segala, emangnya ini pengajian?! Langsung aja biar nih acara cepet kelar !!” gerutunya yang disetujui oleh mahasiswa sejenisnya.
“Maaf saudara gondoruwo….eh… saudara gondrong,” jawab mahasiswa Janggut tadi dengan nada agak jengkel, “Ini etika dalam seminar, saya harap saudara menghormati etika, dahulukan kesopanan daripada keperluan, begitu kata orang bijak.”
“Sudahlah, banyak omong lu. Awas kalau sampai keok berdebat!” jawab si Gondrong dengan sengit. Hampir saja suasana memanas. Kalau saja ada kursi yang kosong, barangkali akan ada acara lempar kursi seperti yang sedang “ngetrend” akhir-akhir ini.
“Silahkan dilanjutkan saja, Nggut !” pinta Pak Syukri kepada si Janggut.
“Begini Pak ! Bapak tadi mengatakan bahwa orang yang mendapatkan hidayah itu adalah orang yang mau berusaha…. berusaha untuk mencari hidayah. Nah, sekarang saya minta Bapak tunjukkan saat ini juga di mana saya harus mencari hidayah,” tanya mahasiswa Janggut dengan agar ngawur.
“Di sono, di belakang kampus ada janda kembang yang namanya Hidayah,” celetuk mahasiswa gondrong kembali. Si Janggut cuek saja.
Pak Syukri ambil ancang-ancang menjawab pertanyaan mahasiswa tadi, terlebih dahulu diminumnya segelas kopi di hadapannya yang sedari tadi dikerubungi lalat.
“Terima kasih atas pertanyaannya. Jadi, mencari hidayah tidak sama dengan mencari capung atau mencari jarum dalam jerami dapat rusa belang kaki….eh…sory. Mencari hidayah sama dengan mencari petunjuk. Caranya ya…itu tadi…dengan berusaha dan berdo”a kepada Alloh agar kita diberi-Nya petunjuk. Petunjuk untuk melaksanakan perintah, termasuk biasa menepati janji dan ………..”
“Interupsi Pak….!! Kalau sudah dicari lalu ndak ketemu bagaimana ?”
“Pasti ketemu asal kita sungguh-sungguh.”
“Saya sering berusaha nyari hidayah tapi ndak pernah ketemu, saya sering berusaha untuk menepati janji, tapi ndak bisa,” lanjut mahasiswa Janggut dengan sengitnya. Sebagian besar mahasiswa lain pada menyetujui, mereka mengangguk-angguk membenarkan seraya mengacung-acungkan tangan mirip unjuk rasa buruh telat digaji, sehingga suara Pak Syukri yang mau menjawab jadi nyaris tak terdengar. Kayaknya, mahasiswa ingin menumpahkan kekesalan hatinya pada Pak Syukri yang terdengar dengan sebutan “Pak omel” karena memang sering ngomel dan tak pernah mau kalah debat dengan siapapun.
Tentunya yang paling bersemangat ingin memojokkan Pak Syukri adalah mahasiswa yang sering kena omel lantaran sering nunggak uang kuliah. Dalam hal ini Gafan ambil inisiatif memimpin rekan-rekan “senasibnya”.
“Sudahlah Pak, sportif saja Bapak kalah,” ujar si janggut.
“Kita di sini bukan mencari kemenangan, tapi kita di sini mau mencari kebenaran,” kilah Pak Syukri.
“Lho, kalau Bapak menganggap pernyataan Bapak tadi benar, maka kamipun menganggap pernyataan kami benar, bukan begitu teman-teman ?”
“Bukaaaaan……”jawab beberapa mahasiswa lain yang ternyata group si gondrong. Mahasiswa Janggut jadi geregetan, namun kembali meneruskan bicaranya.
“Dan perlu diingat, jika ada dua pendapat benar, maka pendapat yang berhak dipakai ialah pendapat yang tentunya memperoleh dukungan suara terbanyak. Sekarang kita lihat pendapat mana yang terbanyak mendapat dukungan? Kami kan? Tak satupun mahasiswa mendukung pendapat Bapak.”
“Saya mendukung pendapat Pak Syukri !” terdengat celetuk keras dari belakang yang ternyata mahasiswa gondrong. Semua peserta menoleh ke arahnya.
“Terima kasih,” ujar Pak Syukri agak ceria, “Coba saudara yang gondrong berikan argumentasi saudara kepada teman-teman mahasiswa yang lain.”
“Saya ndak punya argumen apa-apa, Pak.”
“Lalu, ngapain mendukung saya ?”
“Bukan apa-apa Pak, cuma saya rada sebel sama si Janggut,” tandasnya sambil nyengir yang langsung mendapat cercaan dari “gank” si Janggut.
“Baiklah saudara-saudara mahasisa …eh.. mahasiswa,” ujar Pak Syukri dengan nada agak kalem, seraya menenangkan mahasiswanya yang ribut. “Saya menghargai pendapat kalian. Jadi kesimpulannya menurut pendapat kalian, bila kita berjanji dengan mengucap Insya Alloh, lalu janji itu tidak kita tepati maka bukan salah kita, begitu kan?”
“Yaa…kita tidak salah,” jawab para mahasiswa dengan lantangnya. “Dan Bapak harus sepakat dengan keputusan bersama ini,” lanjutnya.
“Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan, saya terima.”
Maka serentak para mahasiswa bersorak kegirangan karena baru kali ini mereka dapat mengalahkan Pak Syukri berdebat. Sebenarnya mereka mengakui bahwa apa yang disampaikan Pak Syukri adalah benar, namun sayangnya yang sedang dicari mahasiswa saat itu bukan kebenaran, melainkan kemenangan, ya.. kemenangan berdebat dengan Pak Syukri.
“Dengan demikian maka seminar Insya Alloh ini saya nyatakan ditutup saja,” ujar Pak Syukri di tengah riuh rendahnya suara mahasiswa yang saling menyalami. “Dan acara makan-makan yang sedianya akan kita laksanakan setelah ini, saya nyatakan dibatalkan.”
“Lho jangan gitu dong Pak,” protes para mahasiswa, “Janji itu adalah hutang, Al-Wa’du daenun. ‘Kan Bapak sendiri yang berkata demikian.”
“Bukankah ini kesepakatan ?” tukas Pak Syukri membela diri, “Coba baca dengan jelas-jelas surat undangan yang saya berikan pada kalian.”
Semua mahasiswa membuka surat undangan, sambil ngecek barangkali ada kelainan pada surat undangan tersebut. Di bagian paling bawah pada catatan kaki terdapat tulisan NB: INSYA ALLOH DILANJUTKAN DENGAN ACARA MAKAN-MAKAN.
“Sekali lagi sesuai kesepakatan, kita tidak salah jika tidak menepati janji, asal ada kata Insya Alloh. Tok..tok..tok.” palu diketuk, Pak Syukri keluar tanpa menghiraukan gerutu para mahasiswanya, termasuk si gondrong yang saat itu kelihatan paling lapar. Kontan saja diangkatnya sebuah kursi, lalu dilemparkannya ke arah si Janggut yang dianggapnya sebagai biang kerok gagalnya acara makan-makan.
“Kampret lu, janggut. Itu bukan janggut ustad, tapi janggut sinterklas,” ucapnya jengkelnya.
Si Janggut tak mau kalah, balas menimpuk si Gondrong dengan kursi. “Brengsek lu gondrong. Lu mahasiswa apa genderuwo. Tempatmu bukan di kampus, tapi sana…. di pohon beringin,” balas si janggut sambil mengangkat sebuah kursi dan melemparkannya hingga nyangkut di rambut si gondrong. Tak mau kalah, si gondrong pun langsung mengambil sebuah kursi dan langsung melemparkannya ke arah si janggut hingga ujung kaki kursipun nyangkut di janggut si janggut.
Walhasil, terjadilah saling lempar kursi di ruangan tersebut yang dilakukan oleh para mahasiswa yang katanya penuh dengan idealisme. Gank si janggut bertarung melawan gank si gondrong. (##)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar