Kamis, 26 Maret 2009

PEMAIN KAMPUNG (7)

Lapangan tempat pertandingan kali ini tidak beda jauh dengan lapangan pada Kambing Cup yang lalu. Mulai dari garis tengahnya yang dari pematang sawah, lapangannya yang bergelombang, hingga kiri kanan gawangnya yang lebar sebelah. Hanya saja pada lapangan ini tidak ada kubangan kerbau.
Tampak di tengah lapangan pemain kedua kesebelasan bertanding dengan serunya. Terutama sekali pemain Macan Kuning terlihat bersemangat betul. Maklum, tim tuan rumah. Tiap mereka dapat bola, langsung mendapat tepuk tangan penonton, padahal tendangan bolanya melenceng. Tapi meski begitu tetap dapat tepuk tangan juga. Konon, itu merupakan salah satu instruksi pak Kepala dusun.
Berbeda dengan pemain lawannya, karena suporternya sangat sedikit maka tak ada terdengar tepuk tangan mereka. Malah sebaliknya mereka mendapatkan sorak-sorai dan caci makian. Setiap pemain musuh ini mendapat bola, kontan saja sorak-sorai dan cacian kotor keluar dari para penonton. Jadi, meskipun tendangan mereka bagus, overan mereka indah dan kerjasama mereka memukau tetap saja disoraki. Konon ini instruksi pak Kepala dusun juga. Dan yang lebih menyedihkan lagi, yakni para suporter tim musuh yang jumlahnya hanya puluhan orang itu dilarang memberikan semangat ataupun tepuk tangan kepada para pemainnya. Kalau tidak, fatal akibatnya. Bisa-bisa mereka dilempari dengan berbagai benda, mulai yang ringan seperti botol aqua hingga yang berat seperti potongan batu bata. Mulai dari yang padat seperti tanah pematang sawah hingga yang lembek seperti tahi sapi basah. Dan konon, ini juga instruksi pak Kepala Dusun. Walhasil suporter ini hanya bisa menganga saja.
Namun demikian para pemain musuh ini tidak gentar sedikitpun. Mereka terus saja berupaya menunjukkan permainan terbaiknya. Beberapa kali serangannya nyaris membobolkan gawang Macan Kuning. Begitu pula dengan kesebelasan Macan Kuning, sering terlihat gantian menyerang dengan sengitnya. Begitulah terus berlangsung hingga akhirnya babak kedua berakhir. Kedudukan masih imbang 0 – 0. Dan seperti biasa kalau kedudukan imbang seperti itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali adu pinalti. Perpanjangan waktu 2 x 15 menit dianggap tidak memungkinkan karena waktunya hampir magrib. Adu pinalti pun kemudian dimulai.
Masing-masing kesebelasan mengeluarkan 5 orang algojonya. Setelah basa-basi sebentar antara wasit, kapten kedua tim dan hakim garis, maka adu pinalti pun dimulai. Para penonton yang tadinya berada di luar garis lapangan kini semua masuk ke lapangan, ingin melihat dari sedekat mungkin. Wasit mengisyaratkan kepada penonton untuk tidak masuk kotak pinalti. Namun hal tersebut tidak digubris. Para penonton memadati hampir seluruh kotak pinalti. Akibatnya para algojo hampir tidak punya ruang gerak untuk menendang, sebab 1 meter di kiri-kanan dan belakang mereka adalah jubelan penonton.
Gafan yang berada di kandang sapi terlihat kesal karena pandangannya terhalang oleh kerumunan para penonton itu. Jadinya ia tidak bisa melihat sama sekali bagaimana aksi dari para algojo tersebut. Gafan pasrah, segera saja ia keluar dari kandang kumpul itu. Ia memutuskan untuk tidak menyaksikan adu pinalti. Biarlah nanti kita dengar beritanya dari teman-teman gumannya dalam hati.
Sambil berjalan Gafan beberapa kali mendengar suara gegap gempita para penonton. Entah siapa yang mencetak gol. Tapi yang jelas yang lebih banyak terdengar adalah suara sumpah serapah. Setidaknya suara sumpah serapah dan cacian terdengar sebanyak 5 kali, sedangkan suara gegap gempita dan tepuk tangan terdengar 4 kali. Gafan memperkirakan bahwa suara gegap gempita dan tepuk tangan itu adalah suara suporter Macan Kuning yang gembira karena pemainnya bisa mencetak gol. Dan suara sumpah serapah tersebut adalah suara suporter Macan Kuning juga yang nampaknya jengkel karena pemain musuh juga bisa mencetak gol.
“Lho, berarti macan kuning kalah dong !” guman Gafan dalam hati, seraya berusaha melongok ke lapangan mencari tahu. Dan benar saja, ternyata macan kuning kalah adu pinalti dengan skor 4 – 5. Kontan saja terjadi kegaduhan. Para penonton nampak mencari gara-gara. Mereka mencoba mendekati pemain musuhnya untuk dipukuli. Namun pemain musuhnya tersebut segera lari menyelamatkan diri pontang panting.
Melihat gelagat tidak baik itu, segera Gafan beranjak dari situ. Ia khawatir dirinya nanti jadi sasaran kemarahan para suporter macan kuning. Segera ia mencari Bakos dan teman yang lainnya. Nampak di kejauhan Bakos cs juga sedang berlarian menyelamatkan diri. Pendeknya suasana jadi kacau. Semua orang asing yang ada di situ dilempari dan dikejar-kejar karena disangka pemain musuh. Konon, itu juga merupakan instruksi pak Kepala dusun. Dan karena Gafan sudah jauh berlari, ia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya di lapangan itu. Yang penting besok giliran kita yang main kata Gafan dalam hati.
Gafan terus berjalan dengan tergesa-gesa sambil sesekali melihat ke belakang. Begitu tiba di pinggir sungai yang merupakan batas kampungnya dengan Kampung Seberang Sungai, Gafan bertemu dengan Bakos dan teman-teman lainnya. Mereka nampak berdiri di pinggir sungai sembari celingak-celinguk seolah-olah ada yang dicari. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres nih. Dan memang benar, Gafan cs tidak bisa nyeberang sungai karena sampan-sampan mendadak hilang. Padahal tadi sewaktu berangkat cukup banyak yang masih tertambat di situ. Sampan kecil-kecil berukuran 2 x 1 meter itu biasanya dipakai untuk angkut pasir yang dikeruk di tengah sungai. Tapi bila sore tiba aktifitas ngeruk pasir terhenti dan sampan itupun di-parkir di pinggiran sungai. Jumlahnya mencapai belasan. Tapi aneh, sekarang sampan-sampan itu pada lenyap, padahal tak ada banjir. “Setan ! Pelit amat si pemilik sampan!” ucap Bakos berang.
“Kita berenang saja,” ajak Bakos yang diiyakan oleh temannya yang lain. Namun secepat kilat Gafan mencegahnya. Sang kapten khawatir kalau semua temannya berenang ke seberang, berarti ia akan tinggal sendirian, karena ia tidak pandai berenang. Apalagi terpikir olehnya bahwa sungai itu kini sudah cukup dalam, tak kurang dari 3 meter. Padahal dulu sungai tersebut tidak begitu dalam, tapi karena tiap hari orang mengeruk pasirnya dengan menggunakan sampan, maka bertambahlah kedalamannya. Sudah dalam dan keruh, airnya tenang pula. Kan kelihatan ngeri, seperti sarang buaya.
“Coba saja cari sampannya, siapa tahu disembunyikan di semak-semak” ujar Gafan seraya memandang ke beberapa bagian pinggiran sungai yang rimbun dipenuhi semak-semak.
Beberapa temannya mencoba mencari sampan di semak belukar. Ada yang ke hulu dan ada pula yang ke hilir. Sementara itu beberapa orang mulai berdatangan. Nampaknya mereka orang-orang kampung Gafan yang juga ikutan nonton bola di Kampung Seberang Sungai.
Cukup lama mereka mencari sampan-sampan tersebut. Saat itu waktu magrib telah tiba. Suasana di sekitar tempat itu tentu jadi menakutkan. Namun demikian pencarian sampan terus dilakukan. Dan akhirnya beberapa sampan berhasil ditemukan. Sampan itu sengaja disembunyikan rapi disemak-semak, ditindih dahan-dahan berat, diberi duri-duri pandan dan diikat satu sama lain. Tak terkira dongkolnya Gafan cs. “Ini perbuatan orang yang dengki” ketusnya seraya berusaha membersihkan berbagai penghalang di atas sampan itu. Kini tinggal tali pengikat itu saja yang masih belum bisa dibuka. Bakos celingak celinguk cari pisau, namun tak ketemu. Tapi untung mereka bertemu dengan seorang yang lagi mancing ikan, nampaknya ia bawa korek api karena sedang merokok. Bakos mendekati orang tersebut yang nampaknya tetap cuek melihat “penderitaannya”.
“Pak, pinjam korek apinya dong” pinta Bakos.
“Wah, isinya tinggal sedikit, nih. Ntar saya ndak bisa bakar rokok dong” jawab si tukang pancing seraya memandangi kailnya.
Bakos jadi jengkel, hampir saja orang itu diceburkannya. Namun ia kemudian putar otak. Dirogohnya kantong celananya dan kemudian mengeluarkan bungkusan rokok yang isinya tinggal dua batang.
“Sudahlah pak, ini saya kasih rokok, pinjam koreknya dong” ujar Bakos seraya menyodorkan rokok tersebut ke tangan si tukang pancing. Ia pun kemudian memberikan koreknya.
Setelah mendapatkan korek tersebut, Bakos dan Gafan menuju ke tempat sampan tadi. Tali yang mengikat sampan-sampan itupun diputus oleh Bakos dengan korek api.
“Siapa sih pak, yang usil begini” tanya Gafan kepada pemilik korek.
“Ya, pemilik-pemilik sampannya dong” jawab si pemilik korek.
“Yang punya sampan siapa, sih ?”
“Orang-orang Kampung Seberang Sungai”
“Kok mereka sembunyikan sampannya begini ?”
“Ya, jelas dong, karena kesebelasan mereka kalah”
“Apa hubungannya dengan sampan-sampan ini” ujar Bakos menimpali.
“Mau berhubungan, mau ndak, terserah. Suka-suka kita dong. Eh…suka-suka mereka dong”
Mendengar kata “kita” tadi, Gafan, Bakos dan teman-temannya saling pandang. Pada pikiran mereka, si tukang pancing ini adalah salah satu dari warga Kampung Seberang Sungai, dan bisa jadi ia ikutserta menyembunyikan sampan-sampan itu.
“Bapak dari mana ?”
“Dari sini”
“Sini mana ?!” tanya Bakos agak keras.
“Ya, dari sini ! Koq ngurus sih, kamu petugas sensus ya, nanya terus” jawab si pemilik korek menjengkelkan. Bakos terdiam sambil kacak pinggang.
Sementara itu sampannya sudah siap. Gafan mengajak Bakos naik sampan. “Kamu saja duluan. Nanti saya pakai yang ini saja” ujar Bakos seraya menarik sebuah sampan. Kemudian Bakos memilih 4 orang yang agak besar-besar ikut dengannya di sampan itu, sedangkan yang lain disuruhnya naik sampan yang satunya lagi.
Jumlah sampan yang dipakai 3 buah. Idealnya masing-masing sampan bisa nampung 5 orang. Tapi hanya sampan Bakos saja yang berisi lima orang, sedangkan yang lain ditumpangi hingga 10 orang. Akibatnya para penumpang yang sampannya kepenuhan ini harus ekstra hati-hati dan tak banyak gerak, sebab bisa-bisa sampan jadi tenggelam. Saat itu pun sebenarnya air sungai mulai masuk sedikit-sedikit karena saat mendayung sampan selalu bergoyang. Dayung yang digunakan adalah potongan bambu sepanjang 5 meter. Cara mendayungnya tidak seperti di laut, melainkan dengan cara menusukkan bambu ke dasar sungai lalu didorong-kuat-kuat. Dengan cara ini sampan pun berjalan. Namun Ini sebenarnya merepotkan Gafan cs. Meskipun teman-teman Gafan adalah nelayan, tapi mereka tidak pernah mendayung sampan dengan menggunakan potongan bambu tersebut.
Akibatnya sampan yang digunakan Gafan cs jadi berputar-putar. Didayung lewat kiri, mutar ke kanan, di dayung lewat kanan mutar kekiri. Di dayung bergiliran lewat kiri dan kanan, tidak bisa jalan. Walhasil, dari awal penyeberangan, sampan tersebut hanya berputar-putar saja hingga mencapai ke seberang.
Melihat hal tersebut, Bakos dan 4 orang temannya yang masih berada di seberang tertawa terbahak-bahak. Mereka nampaknya belum mulai menyeberang. Entah apa penyebabnya, yang jelas kelima remaja tersebut nampak nampak tertawa sambil berbisik-bisik. Si tukang pancing ikan yang ada di dekat Bakos juga terdengar tertawa. Bahagia benar nampaknya ia melihat penderitaan Gafan cs. Bahkan ketika salah seorang kawan Gafan terdengar muntah-muntah karena pusing muter, si tukang pancing ini tambah terpingkal-pingkal sehingga kailnya pun terpingkal-pingkal pula.
Namun tak lama kemudian mendadak tawa si tukang pancing terhenti ketika Bakos dan 4 temannya mendekatinya. Dan tanpa basa basi lagi si tukang pancing itu diangkat beramai-ramai lalu masing-masing memegang tangan dan kakinya, kemudian digoyang-goyang dan setelah aba-aba ketiga dari Bakos, orang tersebut dilemparkan keras-keras sungai. Orang itupun terhempas ke sungai. Kedengarannya seperti papan yang dihempaskan. Nampaknya dadanya yang pertama kali terhempas di air.
Bakos dan ke 4 temannya segera berlarian menuju sampan. Dan dengan segera mereka mendorong sampan ke tengah kemudian menaikinya. Bakos langsung memegang bambu dan mendayungnya sekuat tenaga. Sementara itu orang yang dihempaskan tadi terdengar berteriak-teriak menyumpah-nyumpah sambil mengeluarkan ancaman. Ia berusaha mengejar Bakos dengan cara berenang, tapi begitu akan mendekat, ujung bambu yang dipegang Bakos diayunkan ke arah orang tersebut. Orang itu pun menghindar dengan cara menyelam. Saat muncul lagi ke permukaan air, kepalanya jadi sasaran ujung bambu.
“Adduuuhh…..setan. Awas kalian,” ucapnya seraya balik berenang ke pinggir di tempat kailnya.
Bakos dan teman-temannya yang masih di tengah sungai tak dapat menahan tawanya. Begitu pula dengan Gafan yang berada di seberang.
“Ayo, sini kalau berani !!” tantang Bakos sambil kacak pinggang dan tertawa. Orang yang ditantang tidak memberi respon. Nampak ia memegangi kepalanya yang benjol.
Melihat tak ada reaksi dari lawannya, Bakos kemudian mendayung lagi. Tapi apa yang terjadi, sama seperti sampan-sampan terdahulu, muter-muter. Di dayung dari kiri, muter ke kanan. Di dayung dari kanan muter kekiri. Ke 4 temannya bergiliran unjuk kebolehan mendayung, tapi tetap saja sampan itu muter-muter. Malah muternya lebih parah, muter di tempat. Padahal saat itu mereka tepat berada di tengah sungai. Adegan tersebut tentu saja membuat Gafan cs tak bisa menahan tawa. Kini giliran ia yang mengejek Bakos. Begitu pula dengan si tukang pancing terdengar tertawa terpingkal-pingkal di seberang sungai. Melihat si tukang pancing tertawa, Bakos jadi jengkel.
“Hay setan…ngapain tertawa ?! Pingin dibogem ya ?” gertak Bakos seraya mengacungan tangannya.
Yang ditantang jadi jengkel juga. Mau mengejar bakos dengan cara berenang, takut kena pentung lagi. Akhirnya, setelah merenung sejenak, si tukang pancing ini kelihatan membalikkan badan dan berlalu. Bakos mengira orang tersebut akan pulang.
“Mau pulang ya ?! Atau mau panggil orang sekampung ?! Panggil sana !! Saya ndak akan mundur,” ujar Bakos dengan lantangnya.
Orang tersebut terus saja berjalan lalu hilang di rerimbunan. Namun tak lama kemudian orang tersebut balik lagi. Kali ini langkahnya lebih cepat dan sepertinya ia membawa buntelan kain. Begitu ia tiba di pinggir sungai, buntelan kain dibukanya….dan, Masya Allah, isinya pecahan batu bata.
Detik itu juga pecahan batu bata tersebut melayang bertubi-tubi ke arah sampan Bakos dan empat temannya yang masih di tengah sungai. Tentu saja Bakos jadi kaget. Mendapat serangan seperti itu Bakos tak bisa berbuat banyak, hanya mengelak saja. Sekali mengelak, sekali kena. Masing-masing berusaha mengelak di sampan kecil itu. Akibatnya beberapa kali kepala Bakos dan temannya saling berbenturan karena elak-mengelak tadi. Mau tak mau akhirnya Bakos cs tiarap di lantai sampan. Melihat musuhnya tiarap, si tukang pancing tak kalah akal. Ia melempar batu tidak lagi dengan cara keras-keras, tapi dilempar ala pemain basket yang masukkan bola ke ring. Hanya saja si tukang pancing melempar batunya tinggi-tinggi sehingga saat jatuh di atas sampan bisa lebih keras.
Akibat lemparan ini beberapa kali terdengar suara gedebuk punggung Bakos cs. Dan beberapa kali pula terdengar suara mengaduh-aduh.
Melihat hal tersebut, Gafan cs bereaksi. Segera mereka membalas melempar si tukang pancing dari seberang. Lemparan mereka rupanya bisa menjangkau si tukang pancing. Beberapa kali lemparan tersebut nyaris mengenainya. Akibatnya si tukang pancing segera lari terbirit-birit. Setelah suasana agak aman, Bakos cs yang ada di dalam sampan kembali bergiliran mendayung sampannya sambil meringis-ringis. Perlahan tapi pasti, sampan itupun tiba di pinggiran. Begitu turun, tanpa banyak cakap Bakos langsung mendorong sampan yang telah kosong itu ke tengah sungai. “Biar hanyut ke laut” gerutunya.
Gelap malam mulai menyelimuti kebun-kebun pinggiran sungai. Suara azan di kejauhan mulai terdengar. Dengan langkah gontai para remaja pecandu bola itu berjalan pulang menuju kampungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar